BAGIAN 3

122 10 0
                                    

Telaga kecil di kaki Gunung Karimun kelihatan tenang. Suasananya indah sejuk dan damai, jauh dari keramaian manusia. Tempatnya pun agak menjorok ke bawah, seperti sebuah lembah yang dipenuhi pohon-pohon berdaun rimbun. Bila dilihat dari kejauhan, maka tempat itu laksana sebuah rimba yang jarang dimasuki manusia, hingga berkesan angker!
"Pruuuaaah...!"
Mendadak ketenangan telaga itu terusik oleh munculnya sebentuk kepala dari dalamnya. Lalu diikuti sesosok tubuh yang bergerak cepat. Lincah sekali tubuhnya berputaran beberapa kali di udara, kemudian mencelat ke tepi telaga. Dan ringan sekali kakinya mendarat di tepian telaga.
Sosok yang baru mendarat ini dari ujung rambut sampai ke kaki bawah kuyup. Pakaiannya yang berukuran besar menempel ketat, membentuk tubuhnya yang indah. Sesosok tubuh ramping itu memang milik seorang gadis jelita. Tatapan matanya sayu. Bibirnya yang indah terkatup rapat.
"Eyang. Aku menghaturkan sembah padamu...!" Bibir sosok ini membuka suara dengan nada datar. Tubuhnya membungkuk ke satu arah.
Entah dari mana asalnya, mendadak angin lembut bertiup yang diiringi berkelebatnya satu sosok bayangan gelap ke arah gadis cantik ini. Dan tahu-tahu, disitu telah berdiri tegak seorang laki-laki tua pada jarak dua langkah di depan gadis ini. Usianya sekitar delapan puluh tahun. Pakaiannya agak kelabu dan lusuh. Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan tumbuh liar sampai punggung.
"Kau telah menyelesaikan semadimu dengan baik, Cucuku. Pakailah pakaian ini!" kata laki-laki tua ini seraya melempar seperangkat pakaian yang dibawa.
"Terima kasih, Eyang!" Cepat gadis ini mengambil pakaian yang teronggok di tanah. Dan sebentar saja, kakinya telah beranjak ke balik semak-semak.
Sementara gadis itu memakai pakaian yang diterima, kakek ini menatap tajam ke permukaan air telaga yang bergelembung tenang tertiup angin sepoi-sepoi. Sepertinya ada sesuatu yang ingin didapatkannya dari situ.
Laki-laki tua ini baru menoleh ketika terdengar suara langkah halus dari belakangnya. Rupanya gadis tadi telah berubah lain dengan pakaian sederhana yang melekat di tubuhnya. Bibirnya tersenyum manis melihat laki-laki tua yang takjub memandanginya.
"Bagaimana aku sekarang, Eyang?" tanya gadis itu seraya berputar sebentar, seperti hendak menunjukkan pakaian yang diberikan.
"Begini lebih baik. Bagaimana keadaanmu sekarang, Suti?" orang tua itu malah balik bertanya sambil beranjak pelan ke sebuah batu besar yang beijarak sepuluh tombak di depannya.
"Baik, Eyang...," sahut gadis yang dipanggil Suti, langsung merendengi langkah orang tua itu.
"Perasaan-perasaan aneh itu?" tanya laki-laki tua ini lagi.
"Kurasa masih ada, Eyang. Hanya saja aku bisa menindasnya," jelas Suti.
"Syukurlah. Memang mestinya begitu. Dalam setiap kesempatan, kau harus melatih pernapasan seperti yang kuajarkan."
"Baik, Eyang...."
Sesaat kedua orang itu terdiam sambil sama-sama duduk dibatu sebesar kerbau.
"Eyang...," panggil Suti, seraya berpaling ke arah laki-laki tua itu.
"Hm..., apa?"
"Telah beberapa waktu Eyang membawaku ke sini. Apakah..., apakah aku akan mendapat hukuman?" tanya gadis itu dengan suara bergetar penuh ketakutan.
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Kelihatan sikapnya begitu tenang. Padahal sebenarnya dia tengah berusaha menahan sesuatu yang cukup berat di hatinya.
"Mestinya aku menghukummu karena kelancanganmu, Suti Raswati," desah laki-laki tua ini, menyebut nama lengkap gadis itu.
Mendadak Suti menjatuhkan diri dan berlutut di depan orang tua itu. Memang gadis ini tak lain dari Suti Rasawati yang dijuluki orang-orang persilatan sebagai Bidadari Penakluk karena tindakannya. Setelah bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti, gadis ini menderita luka dalam yang cukup parah. Untunglah seorang tokoh berjuluk Resi Jayadwipa yang juga guru gadis itu cepat menolongnya.
"Eyang, bunuhlah aku sekarang! Aku terima semua hukuman yang Eyang berikan!" ratap Suti Raswati.
"Berdirilah kau!" ujar Resi Jayadwipa, seraya bangkit dari duduknya.
"Tapi Eyang...."
"Berdiri kataku!"
Gadis itu tak bisa membantah lagi. Kini mereka berdiri saling berhadapan. Namun Suti tidak berani memandang orang tua di depannya.
"Lihat ke arahku, Suti!" perintah Resi Jayadwipa.
"Eyang...." Lirih terdengar suara gadis itu, ketika mengangkat kepala. Jantungnya berdetak lebih cepat tatkala matanya melihat tatapan tajam laki-laki tua ini laksana sembilu yang mengiris jantung dan hatinya.
"Aku tidak menyalahkanmu...," desah Resi Jayadwipa lirih.
"Apa..., apa maksudmu, Eyang? Aku jelas-jelas bersalah. Hukumlah aku dengan hukuman yang paling berat, Eyang!" ratap Suti Raswati.
"Dengarlah kata-kataku," tegas Resi Jayadwipa.
"Baiklah, Eyang...."
Suti Raswati menunggu Resi Jayadwipa melanjutkan kata-katanya. Namun untuk beberapa waktu tak terlihat kalau orang tua itu akan melanjutkan kata-katanya.
"Eyang...," panggil Suti Raswati, mengingatkan.
"Ya, aku tahu. Kejadian ini tidak terlepas dari tanggung jawab. Mestinya aku tidak menyibukkan diri mencari Kitab 'Jagad Welung' yang hilang itu...," desah Resi Jayadwipa.
"Maksud, Eyang?"
"Mestinya aku melarangmu untuk mendekati ruang perpustakaan, dan juga melarangmu untuk membaca buku-buku yang tak patut. Apalagi dipelajari. Dan ternyata hal itu menjadi kenyataan. Kau membaca Kitab 'Serat Biru'. Bahkan malah mempelajarinya. Akibatnya sungguh buruk bagimu, seperti yang kau alami beberapa waktu lalu...."
Resi Jayadwipa tidak langsung melanjutkan kata-katanya. Agaknya dia perlu melihat perubahan raut wajah gadis yang diajaknya bicara. Tapi wajah Suti Raswati belum menunjukkan perubahan berarti.
"Tahukah kau, Suti. Kau telah berurusan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ini berarti, kau waktu itu berusaha mengeterapkan ilmu 'Serat Biru' pada pemuda itu. Untung saja aku cepat datang dan menolongmu.... Dan yang lebih buruk lagi adalah, kau bermaksud menerapkan ilmu 'Serat Biru' kepadaku!" lanjut Resi Jayadwipa, membuat Suti Raswati tersentak.
"Eyang, ampuni salahku! Aku tahu, itu amat memalukan sekali" ratap gadis itu hendak kembali berlutut, namun sempat dicegah orang tua ini.
"Sudahlah. Itu hal yang telah lalu. Namun yang amat menyakitkan bagiku adalah...."
"Adakah sesuatu rahasia yang hendak Eyang katakan padaku?" selak Suti Raswati, ketika melihat Resi Jayadwipa kembali memutus kata-katanya.
"Ya...."
"Apa gerangan itu, Eyang?"
"Kau adalah cucuku, Suti."
"Bukankah itu bukan rahasia? Eyang telah menganggapku cucu sejak pertama kali memungutku ketika bayi!"
"Cerita itu tidak benar, Suti. Aku mengarang-ngarangnya saja, agar kau tidak bertanya-tanya tentang orangtuamu."
"Maksud, Eyang?!"
Kali ini baru mulai terlihat perubahan berarti pada paras Suti Raswati. Bola matanya memandang tajam kepada laki-laki tua ini. Dan dia berharap, Resi Jayadwipa mau melanjutkan ceritanya buru-buru.
"Ya! Kau adalah cucu kandungku sendiri!" jelas Resi Jayadwipa menegaskan.
"Eyang, berarti...?" Suara gadis itu tercekat, karena laki-laki tua itu langsung memeluknya dengan wajah haru, seperti hendak menumpahkan kesedihan karena tak mampu menjaga cucunya dengan baik. Suti Raswati terdiam. Untuk beberapa saat, dia tak tahu mesti berkata apa dan bersikap bagaimana.
"Eyang.... Mengapa kau menyembunyikan semua ini dariku?" tanya Suti Raswati ketika orang tua itu melepaskan pelukannya.
"Aku terpaksa berbuat begitu, agar kau tidak menanyakan orangtuamu. Maka kukatakan saja kau kupungut sejak bayi. Serta kukatakan bahwa kedua orangtuamu telah tiada," jelas Resi Jayadwipa.
"Kenapa Eyang menyembunyikan aku? Apakah kedua orangtuaku masih ada?" desak Suti Raswati.
"Beberapa tahun berselang, mereka masih hidup. Namun belakangan kudengar kabar bahwa mereka telah tiada...," jelas laki-laki tua ini dengan wajah keruh penuh kedukaan.
"Oh...!" seru Suti Raswati kaget. Wajahnya seketika tertunduk sedih.
"Inilah yang menjadi pangkal persoalan...," lanjut orang tua itu, setelah kesedihan cucunya berkurang.
"Apa maksud, Eyang?"
"Pada waktu itu ayahmu membawa seorang saudaranya ke padepokan. Sejak itu, suasana yang tenteram perlahan berubah. Aku tahu saudara ayahmu berhati culas. Lagi pula dia suka menggoda ibumu. Namun aku tidak enak hati mengusirnya pergi. Segala isyarat yang kuberikan padanya agar meninggalkan padepokan, seperti tak digubrisnya. Dan ternyata saudara ayahmu itu bermuka tembok. Dan untuk menekan perasaan karena kelakuannya, aku akhirnya sering bepergian. Namun tidak disangka kalau pada akhirnya, dia menghasut ayahmu untuk melanggar aturan...," tutur Resi Jayadwipa.
"Melanggar aturan bagaimana, Eyang?" tanya Suti.
"Aku melarang mereka masuk ruang perpustakaan. Namun saudara ayahmu itu terus membujuknya. Sampai akhirnya, mereka nekat masuk ke sana. Beberapa waktu kemudian ketika aku pulang, ayahmu memberitahukan persoalan yang menimpa padepokan. Beberapa buah kitab pusaka hilang dibawa kabur saudara ayahmu. Aku marah besar dan tak dapat mengendalikan diri. Meski saat itu ibumu baru saja melahirkanmu, mereka kuusir. Dan mereka tidak kuperbolehkan membawamu!" lanjut orang tua itu.
"Eyang sungguh kejam! Hehhh...! Bisa kurasakan kesedihan mereka kala itu...," desis Suti Raswati, seraya mendesah.
"Ya, aku memang kejam!" cetus orang tua itu.
"Bahkan mereka tidak kuizinkan menginjakkan kaki ke padepokan, dan kularang menjengukmu!"
"Mengapa? Mengapa Eyang bertindak begitu kejam kepada mereka?" tanya Suti.
"Jangan kau tanyakan hal itu."
"Aku patut mengetahui karena mereka orangtuaku!" tukas gadis itu cepat.
Resi Jayadwipa kelihatan bergetar entah karena apa. Namun bias wajahnya tidak menunjukkan apa-apa. Sepertinya, dia memang pandai menyembunyikan perasaan. Tidak peduli cucunya mulai menitikkan airmata sambil menangis terisak. Lirih.
"Kenakan topeng ini. Dan pergilah dari sini!"
Aneh! Bukannya menjawab, Resi Jayadwipa malah menyerahkan topeng kayu yang sejak tadi dipegangnya kepada gadis itu. Kemudian tubuhnya berbalik, meninggalkan tempat ini.
"Eyang mengusirku?" tanya gadis itu lirih.
"Kalau memang kau tak suka padaku, apa yang bisa kukatakan? Pergilah. Dalam pengembaraan, kuharap kau bisa berpikir dewasa dan mengerti keadaan. Setelah kau menguasai dirimu, maka carilah pembunuh orangtuamu!" lanjut orang tua itu, setelah menghentikan langkah. Namun begitu dia tetap membelakangi cucunya.
"Apa maksud, Eyang? Siapa pembunuh kedua orangtuaku?" ujar Suti.
"Saudara ayahmu itu!"
"Siapa namanya?!" seru gadis ini bersemangat. Terasa ada bibit dendam di hatinya.
"Kau hendak membalas dendam kedua orangtuamu?" Resi Jayadwipa malah balik bertanya.
"Ya!" sahut gadis ini dengan mantap.
"Dia memiliki kepandaian tinggi. Dan kau akan menemui kesulitan."
"Aku tidak peduli! Katakan padaku Eyang, siapa orang itu?!"
"Orang itu bernama Bernawa."
"Terima kasih, Eyang. Akan kucari dia meski bersembunyi ke ujung langit sekali pun!" desis Suti.
"Kalau niatmu sudah keras, maka aku hanya bisa berpesan agar hati-hati. Gunakanlah topeng itu bila berada di keramaian. Dan bila bertemu Pendekar Rajawali Sakti, usahakan bersikap wajar-wajar saja. Satu hal lagi, jangan menarik perhatian orang seperti dulu. Nah, Cucuku. Selamat bertugas."
Setelah berkata begitu, Resi Jayadwipa berkelebat cepat bagai sapuan angin kencang. Gadis itu sendiri tidak tahu, ke mana kakeknya berkelebat.
Untuk sesaat Suti Raswati terpaku merenungi pembicaraannya dengan kakeknya. Terasa ada sesuatu yang menyentak-nyentak di hati. Perasaan kesal, geram, lalu dendam, dan entah apa lagi. Kenapa dia baru tahu sekarang setelah selama ini tersembunyi? Kenapa pada saat dia tahu justru kedua orangtuanya telah tiada?
Suti Raswati memandang sayu pada topeng yang tadi diberikan kakeknya. Kenapa kakek memberikan topeng ini? Namun kemudian otaknya cepat berpikir, bahwa kehidupannya beberapa waktu lalu begitu banyak menimbulkan kebencian sebagian orang. Topeng kayu itu pasti sedikit banyak bisa menyembunyikan wajahnya di mata orang-orang yang ingin berurusan dengannya.

***

177. Pendekar Rajawali Sakti : Siluman Pemburu PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang