P U K U L dua pagi. Aku masih belum bisa banyak bergerak. Jangankan bergerak, tiap batuk, bersin, tertawa, luka operasi terasa nyeri. Catheter juga masih tersambung plus aku nggak bisa tidur. Gimana mungkin bisa tidur kalau masih harus puasa paskaoperasi.
Puasa dalam kondisi seperti ini, siksanya lebih menggila dari proses operasi itu sendiri. Eyang nggak mau kompromi. Puasa 24 jam, titik. Perawat bilang, untuk aturan puasa paskaoperasi, ada dokter kandungan di sini yang membolehkan makan minum sedikit-sedikit setelah empat jam, ada yang setelah terdengar bising usus (via stetoskop), dan ada Eyang yang memang ekstrim sendiri sejak purbakala.
"Adek belum bobok?" Tukang Balon bertanya dari sofa, dia terbangun. Sofa itu adjustable, bisa dibuka dan jadi ranjang. Sejak jam sebelas dia sudah tidur nyaman di situ. Bikin iri.
"Haus banget."
"24 jam masih lama, Sayang."
Ya, makanya!
"Minum, Bang, please. Dikiiit aja." Aku membasahi bibirku, membayangkan betapa nikmatnya air mineral botol punya dia di atas kulkas itu. "Dua kali sedot, deh."
"Nanti perutnya bermasalah, loooh."
"Kenapa Abang ngomongnya kayak Eyang, sih! Adek haus banget, gilak!"
Dia bangun dan berdiri.
"Jangan deket-deket. Minum darah Abang pun sanggup sekarang nih!"
"Mau ngambilin minum, Deeek .... Ya ampun."
Big grin. Hehe. "Matatiii."
Dia berjalan gontai menuju kulkas dan mengambil botol di atasnya.
Kasihan, diomelin melulu.
Dia datang dan duduk di tepi ranjang. Usai membuka botol, dia lebih dulu menyodorkan leher dan mengetuk-ngetukkan dua jarinya di situ. Betulan, aku dianggap drakula haus darah. Menjawab kekonyolan, aku mencium lehernya tepat di titik itu. "Nih, dua kali sedot," katanya sambil mengarahkan sedotan.
Sluuurp! Aaah minuman paling enak di duniaaa. Sluuu---
"Oi, oi," dia menarik botol dan sedotan, "nyedotnya nggak membabi buta gitu juga, kalik."
Aku mendengus, menahan tawa. Kalau nggak ditahan, airnya muncrat. Tekor.
"Sekarang bobok." Dia kembali menutup botol dan mengembalikannya ke tempat semula, di atas kulkas.
"Maaf, ya, Bang." Ucapan ini menjadi yang pertama kulontarkan dengan tulus dan tenang. "Adek rese selama hamil." Sampai barusan, sih.
"Nggak apa-apa."
"Boong, deh. Bukannya Abang sering kesal?"
Dia kembali duduk di tepi ranjangku. "Abang bingung, khawatir, dan lain-lain, kecuali kesal."
"Abang, sih ... belakangan nyebelin banget. Begonya nggak nahan, absurdnya nggak nahan." Padahal baru aja minta maaf.
"Abang bingung kenapa semua-semua Adek hadapi pakai emosi. Abang gini, salah. Gitu, salah. Dibujuk, salah. Didiamkan, tambah salah. Dipeluk, cuek. Sedih, deh. Coba kalau Adek tenang. Ngomong, maunya gimana. Masa Abang nggak ngerti?"
Aku menelan ludah. Malu. "Maaf, ya."
Pipiku dicium. Hehe.
"Habis ... semua prosesnya benar-benar nggak enak. Puncaknya pas operasi. Andai Abang lihat Adek dipegang tangan orang-orang; laki perempuan, kayak udah nggak ada harganya."
Dia tersenyum. Senyum yang menjadi alarm peringatan betapa indah wajah laki-laki yang menghamiliku ini, hohoho!
"Termasuk setelah itu suster ngajarin cara nyusuin. Abang lihat sendiri, kan, ujungnya ditarik-tarik," aku menunjuk dadaku, "kayak perah sapi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Medium Rare Mom [Elex Media]
General FictionBehind the story of A Man Who Loves You