Happy reading, all!
Votenya jangan lupa, yah 🤍•••
Ali
Gak ada yang bisa gue lakukan kecuali diam. Beberapa saat yang lalu setelah Kak Diva mengambil Bima karena harus makan, hal itu membuat gue dan Prilly akhirnya cuma berdua disini. Berdiri di bibir pantai, dan sesekali kaki kami tergulung ombak yang datang. Apalagi setelah mendengar kalimat Prilly yang mengatakan bahwa dirinya menyukai pantai, dengan alasan sebagai tempat self healing yang tepat. Hal itu tentu saja membuat gue penasaran akan apa yang pernah terjadi dengan perempuan cerewet disamping gue ini namun tidak untuk saat ini.
"Mataharinya udah mulai terik, gak bagus lagi buat kulit," serunya tiba tiba dan Prilly pun berjalan ke area teduh yang disana disediakan batu yang menyerupai kursi. Gue pun tentu mengikutinya, ikut duduk di sampingnya pula. "Aku gak nyangka kalau ternyata kamu itu penyayang sama anak kecil," sambungnya lagi dan itu berhasil bikin gue terkekeh.
"Suka aja lihat anak kecil pada ketawa seneng."
Kami menikmati semilir angin menenangkan, meskipun hening tetap saja berhasil menyelimuti. Jujur gue pun memang tipe orang yang sulit buat membangun komunikasi, utamanya sama lawan jenis. Susah aja rasanya.
"Tapi kalau sama orang dewasa harus di dinginin emang? Apalagi orang dewasanya perempuan." Eh, apa kata dia barusan? "Bercanda kali. Ngomong ngomong, kamu sudah yakin.. atas pertunangan kita Li?" Sambungnya setelah tadi tertawa pelan karena melihat ekspresi gue yang kaget.
Gue sendiri tergagap karena Prilly tiba tiba lagi menciptakan topik pembicaraan yang memang penting ini. Karena jujur, kami pun belum sepakat atas penentuan tanggalnya. Terakhir kemarin, Prilly hanya bilang memberi ancang ancang diakhir bulan. Sudah itu saja.
Gue pun mengangguk. "Datang kesini, bukannya artinya kita mau dan sudah setuju?"
"Tapi setuju datang kesini bukan berarti aku sudah yakin atas hubungan kita nanti." Prilly tertawa sumbang. "God, kita baru kenal dan sudah akan bertunangan. Kedengerannya terlalu gila buat aku fikirin itu semua. Kamu gak takut kecewa kalau nanti tahu sifat sifat burukku lainnya?"
Ya gue tahu pasti hubungan kami akan sulit kedepannya, tapi kami sudah terlanjur disini. Akan sangat tidak mungkin jika nanti malam saat kami harus membicarakan tanggal pertunangan kami, kami justru harus berdebat menolak atau menerima satu sama lain.
"Katanya kecewa terhadap manusia itu hal yang wajar, dan pasti gak akan bertahan lama. So, I'm fine with it."
"Gimana kalau nanti malam keluarga kita juga menuntut tanggal kita nikahnya kapan juga?" Diakhir kalimatnya Prilly menoleh menatap ke arah gue.
"Kita bisa bilang soal itu akan menyusul untuk difikirkan. Mereka pasti mau mengerti, Pril. Lagian, soal perkara nikah aku rasa kita harus punya alasan lain untuk itu, yang lebih dari sekedar untuk berbakti sama orang tua."
Karena gue juga gak mau hidup selamanya buat memperjuangkan sesuatu yang belum pasti. Paling tidak, gue hanya perlu berjuang meyakinkan dia buat hidup bersama selama sebelum kami menikah. Karena ketika nanti kami menikah, perjuangan gue bukan lagi soal meyakinkan seseorang, namun untuk berjuang mempertahankan apa telah kita punya. Sudag beda konteksnya memang. Karena jikalau sudah menikahpun, gue masih harus berjuang buat meyakinkan saja, itu pasti bakal banyak menguras tenaga dan fikiran pula.
"Berarti dengan kata lain, kalau selama aku sama kamu belum sama sama yakin kita tidak akan menikah meskipun kita sudah bertunangan, begitu?"
"Belum akan menikah, bukan tidak Pril," Ujar gue meralat perkataanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
We're Engaged [COMPLETED]
Romansa(Follow dulu sebelum membaca, adalah salah satu sikap dari pembaca yang cerdas 👌) Pertemuan pertama antara dua orang asing, namun keduanya sudah diharuskan menentukan tanggal pertunangan hingga memikirkan konsep rancangan pernikahan. Nyatanya kala...