Umurku 14 tahun, pecinta buku yang lumayan terobsesi pada benda langit. Dan, aku tidak terima, kenapa harus mendapat panggilan sehina itu?
"Duda Miskin," ejek Miller sepupuku.
Ya betul, ini kesalahanku. Semua dimulai saat malam, ketika Bella tiba-ti...
Kubalas senyum saat melihat ekspresinya. Barangkali, aku sudah menemukan teman yang benar-benar satu frekuensi--sesama pecinta buku. Ini menjadi hari yang menyenangkan. Ya, walaupun aku tidak boleh langsung mengambil kesimpulan. Bisa saja, satu minggu ke depan Luna baru akan menunjukkan perangai aslinya. Bisa saja Luna orangnya sering mengupil kemudian memakan kotoran hidungnya sendiri.
Kami membereskan buku yang berserakan. Meletakkan sebagian besar di tasku dan sisanya di tas Luna. Kami sudah amat siap. Tinggal pensilku yang entah ke mana.
"Aku punya banyak. Jangan khawatir," kata Luna mengangkat kotak pensilnya.
Aku tidak menjawab dan langsung menutup resleting tas. Bersunggut-sunggut berusaha menenteng bawaan dengan benar.
"Jangan maksa. Sini minta lagi bukunya."
Malas berdebat. Aku pun duduk kembali. Mengeluarkan beberapa buku dan memberikannya kepada Luna.
Luna menjangkau buku yang kuberikan sambil tersenyum. Tidak tahu apa artinya. Bisa jadi senyum mengejek.
Usai menambahkan dua buku ke dalam tas miliknya. Luna pun bersuara, "Sudah, ayok."
Aku mengiyakan dan berjalan di depan. Sesampai di teras langsung memasang sendal. Lalu, duduk. Iya, soalnya harus menunggu Luna mengikat tali sepatu. Lama sekali.
Setelah selesai. Luna berdiri dengan cepat. Berjalan lebih dulu seolah tahu di mana arah perpustakaan. "Eggy, bisa lebih cepat, kan? Panas banget soalnya. Ini jam berapa? Bentar lagi Kak Lina selesai ngajar les."
"Perpustakaan tidak jauh, kok," begitu jawabku. Secara konsisten mempercepat langkah. Karena sudah berapa kali harga diriku sebagai laki-laki dihina tanpa sadar.
"Memangnya di mana? Bagaimana kalau pinjam motor Kak Lina aja? Kamu bisa bawa motor gak?"
Aku menggeleng.
Respons aneh dari Luna. Dia tertawa kecil. "Mau SMA aja tapi belum bisa bawa motor."
Aku mengangkat sebelah alis. "Memangnya kamu bisa?"
"Enggak bisa juga. Tapi, aku, kan cewek."
Perasaan yang hanya tertahan di dada berkecamuk ramai. Mempertanyakan arti keseteraan gender. Memangnya cowok harus bisa bawa motor? Memangnya cowok harus kuat? Atau memegangnya cowok harus bisa jalan cepat? Tidak ada yang memerhatikan itu. Seolah kesetaraan gender hanya boleh disuarakan perempuan.
"Kesetaraan gender," kataku keceplosan.
"Apa?"
"Oh, bukan-bukan. Lupain aja," jawabku cepat sembari melambai tangan. "Perpustakaanya tidak jauh dari SD. Kalau kita sudah sampai di belokan yang dekat warung itu. Perpustakaan sudah bisa kelihatan."
Luna tidak menjawab. Tampak lebih suka memandang sekitaran. Kebetulan rumahnya jauh dari sini. Dia tinggal di kota kecamatan. Kalau aku jadi dia, lebih baik fokus di jalan saja. Tidak ada guna menatap ke sekeliling. Di desa ini tidak ada istilahnya pemandangan sejuk khas pedesaan. Yang ada hanya sapi dan gumpalan lembek bau.
Kami tiba di belokan. Ibu pemilik warung menjadi fokus kali ini. Orang tua setengah bayah itu menatapku lama. "Eggy, itu siapa kamu?"
Aku berhenti. Begitu juga Luna.
Aku berpikir sejenak. "Sepupu."
Sontak Luna menoleh ke arahku, memasang dahi terlipat. Tetapi aku memilih untuk biasa-biasa saja. Untunglah Luna sama sekali tidak membantah. Dia diam.
"Kalian mau ke mana?"
"Perpustakaan."
Ibu warung mengangguk. Hal itu kutanggapi dengan senyum singkat, disusul melanjutkan perjalanan secepat mungkin.
Luna mendorong bahuku. "Ayo kenapa tadi bilang kalau kita sepupuan? Kenapa gak bilang aja kalau kita temenan."
"Tidak ada apa-apa, kok."
Luna memutar bola matanya tajam. Dari gerak tubuh, sepertinya dia menaruh kecurigaan besar. "Jangan-jangan kamu malu, ya kalau nanti dikira pacaran?"
"Nah, kita sudah sampai." Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada puas. Aku menatap Luna sambil tersenyum.
Dia sedikit memiringkan bibirnya. Tanpa kata-kata, segera berjalan ke arah perpustakaan. Aku curiga dia sangat kesal.
Dan sedikit salah tingkah mendengar pertanyaan-pertanyaan Luna barusan. Sebenarnya aku punya alasan. Takut orang-orang bisa berpikiran aneh jika aku dekat dengan anak perempuan. Singkatnya begini, 'sudah menghamili anak orang masih tidak tahu malu dekatin anak perempuan lain'. Kubilang saja kalau Luna hanya sepupu. Untuk sementara masalah selesai.
Akhirnya. Aku pun duduk di samping Luna setelah baru saja melewati penjaga perpustakaan. Penjaga perpustakaan hari ini beda orangnya. Dia perempuan dewasa dengan sedikit kerut di sekitar mata.
Aku mengambil kacamata di saku baju. Baru saja selesai mengenakannya. Langsung saja Luna menyerahkan ponsel yang dia ambil sendiri dari tasku.
"Eggy, kamu belajar sendiri dulu. Aku mau keliling sebentar."
"Oh, oke." Sambil menjemput ponsel yang disodorkan olehnya.
Dengan keantusian, Luna sudah berpindah tempat. Buru-buru mendekati rak yang paling dekat dengan meja penjaga perpustakaan.
Selesai memandangi Luna. Aku pun memerhatikan sekitar. Sudah ada beberapa perubahan di sini. Aku tidak sulit lagi mencari bangku, juga rak-rak yang nyaris penuh semua.
Tak lama, aku pun tersadar dan cepat-cepat kembali fokus. Dimulai dari menyalakan ponsel yang tidak ada kata sandinya. Kemudian menuju aplikasi belajar, melanjutkan video materi yang hampir berjalan di akhir.
"Mau, gak?" Luna mengayunkan lengannya yang sedang menggenggam keripik. Aku tidak tahu dia dapat camilan itu dari mana.
Kulirik sekilas karena penasaran. Kemudian berpaling, memilih fokus belajar. Terkesan tidak sopan, padahal aku meminjam ponselnya. Ya sudah, anggap saja sedang benar-benar menghargai apa yang dia pinjamkan padaku.
"Eggy, Eggy. Buka mulutnya. Aa ...."
Polosnya, aku hanya menurut. Se per sekian detik merasakan renyahnya keripik kentang di sekitar mulut.
"Sok romantis kalian. Di perpustakaan tidak boleh makan."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.