Prolog

9 1 1
                                    

"Udah sore aja"

Matahari di hari minggu, kini mulai tenggelam, kembali ke habitatnya di ujung Barat. Mataku mengarah intens ke arah matahari yang semburat oranyenya perlahan meredup, menyipitkan mata perlahan karena terasa silau.

Aku menyandarkan tubuhku di balkon kamar, melihat sekeliling komplek perumahanku yang letak rumahnya tertata begitu rapih nan dinamis. Menikmati pemandangan kala matahari mulai tenggelam hingga menimbulkan percikan oranye di langit. Percikan indah yang meningkatkanku akan almarhum eyang kakungku. Kakek, ayah kandung dari ibuku.

Sosok yang entah mengapa dulu, kala aku berusia 7 tahun, selalu gemar dan paling semangat ketika menceritakan hal yang agaknya sulit untuk kupahami. Menceritakan hal yang rasanya tidak mungkin nyata. Tapi tiap ceritanya selalu menarik untuk kudengar di setiap pertemuan.

Suatu hari dimana aku memiliki kesempatan berkunjung ke rumah eyang, aku melihatnya tengah sibuk melukis di teras rumah. Memang eyangku terkenal gemar melukis, lukisannya bahkan sangat indah sekali dan realistis. Melihat hal menarik itu, diriku versi kecil segera berlari menghampiri beliau dengan penuh rasa penasaran.

"Eyang lagi lukis apa?" tanyaku penasaran dengan sorot mata langsung tertuju pada buku gambar yang berada di pangkuannya. "Eyang tumben gambar di buku gambar kecil, biasanya di buku gambar besar itu" buku gambar besar yang kumaksud kala itu adalah kanvas lukis. Di usiaku yang masih belum tau banyak hal, aku hanya bisa menyebutkan nama benda berdasarkan bentuknya saja.

Eyang tersenyum begitu teduh padaku saat mendengar pertanyaan yang kulontarkan penuh rasa penasaran, fokusnya kini beralih padaku. "Ini eyang gambar buat Rere nanti bawa pulang. Bagus gak?" tentu saja aku mengangguk penuh antusias.

Coretan abu-abu kehitaman yang ada pada media putih itu sangat realistik. Meski usiaku masih muda, tapi aku memiliki dugaan kuat jika lukisan itu dibuatnya dengan contoh nyata. Tidak berdasarkan imajinasinya. Tapi siapa yang ia jadikan model itu?

Kertas gambar itu berisi penggambaran seorang laki-laki yang tengah tersenyum penuh kebahagiaan, senyum yang terlihat penuh lepas tanpa beban. Di belakang lelaki itu, berdiri seekor harimau berukuran besar yang eyangku lukiskan bermata putih. Meski hanya menggunakan pensil tanpa warna yang lain, hasil gambaran eyang benar-benar sangat menarik minat setiap mata untuk melihat, seperti biasa.

Tapi, lukisan beliau kali ini benar-benar menarik minatku.

"Eyang, dia siapa? Kenapa ada singa? Dia mau dimakan singa itu, kan? Kenapa eyang gambarin dia ketawa kalau mau dimakan?" pertanyaan yang kulontarkan kala itu benar-benar bodoh, tapi kembali kutegaskan, aku masih berusia sangat muda. Dulu, aku bahkan tidak bisa membedakan mana singa, mana harimau, dan mana macan. Semua kupukul rata menjadi bernama singa.

Eyang tertawa mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi kuucapkan. Ia memegangi pucuk kepalaku, "Ini bukan singa Re, ini namanya harimau. Eyang gambar dia dengan ekspresi tertawa, karena dia memang doyan ketawa. Dia gak sedang akan dimakan sama harimau kok" aku menganggukan kepalaku, bertingkah seolah aku paham betul ucapan eyang.

"Jadi ini siapa?"

"Ini adalah orang yang akan selalu ada di samping kamu nanti ketika usia kamu genap 18 tahun. Dia akan selalu ikutin dan jagain Rere"

Aku versi kecil, termenung di tempat menatap eyang tidak mengerti. Hal yang ada di benakku saat itu adalah bahwa orang di lukisan eyang tersebut akan terus menghantuiku, menggentayangiku seperti wanita berbaju putih lusuh dengan wajah seram yang dulu sering kutonton di TV malam-malam.

"Serem eyang, Arella takut bayangin kalau dia ikutin Arella terus"

Eyang kembali tertawa, kali ini lebih kencang lagi. Ia meletakkan sejenak pensil dan kertas gambarnya di atas meja yang letaknya bersebelahan dengan kursi yang tengah eyang duduki.

"Arella ingat soal cerita manusia super yang bisa masuk ke pikiran orang lain?" aku mengangguk semangat. Tentu aku ingat akan cerita yang selalu eyang ceritakan tiap kami bertemu. Cerita yang menjadi cerita favoritku.

"Seorang manusia super itu perlu penjaga. Orang yang ketawa tadi di lukisan eyang, itulah orangnya" mataku berbinar-binar kala mendengar ucapan eyang yang menyebutkan kata 'super' kata yang sangat suka tuk kudengar. Meski tak sepenuhnya aku paham maksud ucapan eyang, setidaknya aku tahu jika orang itu nyata.

"Arella ngerti maksud eyang, kan?"

"Enggak sih eyang, Arella tambah bingung. Tapi tenang aja, Arella bakal ingat terus ucapan eyang sampai satu hari nanti Arella paham"

Tbc...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AbilityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang