dua belas

505 98 20
                                    


"Ini boleh udahan nggak sih? Otak gue panas banget."

"Wah, iya! Yana, kepala lo mengepul tuh!"

"Gue potong anu lo ya, Jov!"

"Please, bisa diem nggak? Yana bantuin Nana nulis aja sana!"

"Iya anjir bener tuh kata Rena. Sekretaris ada dua tapi gue kok ngebabu sendirian."

"Ca, lo bisa ulangin lagi nggak? Itungan lo salah nih!"

"Bukan gue yang ngerjain, Sat! Jovan itu!"

Rapat OSIS ala anggota OSIS SMA 127 memang begini. Banyak keluh dan banyak misuh.

Suatu keajaiban jika pada suatu hari mereka bisa rapat dalam keadaan adem ayem tentram sejahtera.

Selalu ada saja yang diperdebatkan.

Jovan dan Satria yang biasanya jadi korban. Mengingat mereka kaum minoritas di sini.

Bahkan bapak pembina OSIS memilih angkat kaki.

Sudah tua, beban mengajar banyak, bisa-bisa semakin stress kalau harus mendengarkan mereka berdebat.

Hari sudah mulai sore. Bahkan anak-anak ekskul tak tampak batang hidungnya.

Hanya mereka berenam yang masih betah bergelimpangan di ruang OSIS.

"Ini jam berapa, sih? Kok gelap?" celetuk Jovan sembari sibuk mengoperasikan kalkulator.

Yana mengintip lewat jendela, "Gue belom ngerasa denger adzan maghrib, sih."

"Ya kalo nggak ada orang ya nggak ada yang adzan," sahut Nessa, "Iya, kan?"

Pertanyaan barusan menjadi kode bagi Satria untuk keluar dan mengecek. Memang sudah gelap, pos satpam juga sudah sepi.

Jangankan adzan, suara angin sepoi-sepoi pun hanya terdengar samar.

Jadilah ia kembali lagi, menepuk pundak wakilnya yang masih berfokus ke laptop, "Rena."

"Hmm?"

"Lo udah ngabarin orang rumah kalo lo sama Caca bakal nginep?"

"Hah?"

"Ini udah lewat maghrib."

"HAH?!"

Marsha otomatis mengecek jam di ponselnya.

18.35

15 missed call from Papaku

10 missed call from Mbak Galak

Mampus.

"Rena! Cek hp lo coba!"

Rena ikut melotot terkejut. Keadaan ponselnya tak jauh berbeda. Begitu pula ponsel si kembar yang lainnya.

Keempat perempuan di sana sontak panik. Kelabakan berusaha menghubungi orangtua mereka.

"Kenapa sih panik banget?" tanya Jovan.

"Iya," timpal Satria yang kini duduk di sofa di pojok ruangan, "Panik amat?"

Yana memutar bola matanya. Lama-lama kesal karena dua orang itu membuat masalah ini terdengar sepele.

"Lo tau nggak? Gue sama Nana pernah kerkom di luar tapi lupa ngabarin kan."

"Terus?"

"Bapak gue lapor polisi," sahut Nessa. Diam-diam menggeleng sendiri kalau ingat kejadian itu.

"Bapak lo....agak aneh, ya?"

"Iya. Emang aneh. Pake banget."

Kepada Pak Sandhi mohon bersabar ini cobaan.
































Setelah lama misuh-misuh tentang acara reuni akbar seluruh angkatan yang akan diadakan besok, mereka akhirnya mulai merapikan segala pernak-pernik.

Ruang OSIS yang tadinya diisi meja, kini lapang bak halaman monas.

Tikar yang memang sengaja disimpan, digelar lebar-lebar untuk para perempuan.

Jovan dan Satria sudah sepakat untuk tidur di tempat duduk mereka saja.

Sukses buat jantung Nessa dan Rena tak tenang.

Seragam yang kusut dan bau diganti dengan kaus dan celana training. Yana terkikik kala Malka di seberang sana mendadak terkena serangan jantung ketika ia mengirimkan selfie.

"Ketawa sendiri. Lo gila?"

Alisnya otomatis menukik, "Na, cowok lo nih! Ngeselin banget mulutnya!"

Nessa, seperti biasanya, akan menyahut kalem, "Jovan, jangan gitu sama Yana. Lo mau digampar Kak Malka?"

Begitu saja sudah cukup.

Jovan akan jadi anjing yang patuh. Angguk-angguk lucu lalu berkedip minta usapan di kepala.

"Kayak Hush Puppies lo, Jov."

"Itu merek, Yana! Merek!"

"Hah?" giliran Marsha yang ikut melongokkan kepala, "Emang ada merek Hush Puppies?"

"Ca, udah, Ca. Lo jangan malu-maluin gue kenapa sih?"

"Ya, maaf, Ren. Gue kan nggak suka belanja."

Satria, berusaha jadi yang paling normal di antara mereka semua, bangkit berdiri.

Perutnya sudah memberontak lapar dan untungnya ada persediaan bahan makanan di pantry.

Sekarang masalahnya tersisa satu.

"Di antara lo semua, yang jago masak mie siapa?"

Semua jari otomatis menunjuk ke satu arah. Yang ditunjuk mengerang malas. Mengumpulkan niat.

Niat untuk membuat mie?

Ya bukan lah.

Niat untung menjitak kepala teman-temannya satu per satu.

"Udah ayo, Ca. Gue temenin," tawa Satria meluncur mudah.

Marsha pasrah. Ia mengekori ketua OSIS mereka menuju pantry. Sesekali berjengit karena angin malam menyapa tengkuknya.

Yang lebih tinggi akan terkekeh, menarik gadis itu supaya berjalan di depannya.

Suasana sunyi selama Marsha sibuk memasak mie rebus. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan panci.

Satria diam enggan mengganggu. Sibuk memperhatikan gerak gerik sang bendahara.

Jaga-jaga kalau ada trik yang bisa ia terapkan saat masak mie di rumah.

15 menit kemudian, keduanya beriringan berjalan kembali ke ruang OSIS. Marsha bersenandung riang sementara Satria gemetar hebat.

Panci berisi mie ini cukup berat.

"Mau dibantuin, Sat?"

"Nggak. Gue bisa."

"Tangan lo geter-geter gitu udah kayak....uhm...alat pijet?"

"Otak gue sempet berkenala anjir."

"Satria!"

"Lo takut ya, Ca? Nempel gini."

"Gue nggak takut, kok!"

Tawa lagi-lagi mereka tukar. Satria terbahak, melirik lengannya yang dipegang erat-erat oleh Marsha.

Jelas sekali gadis ini ketakutan.

"Santai. Lo aman selama ada gue."

"Soalnya setannya takut sama lo ya?"

"Sialan."







Tanpa mereka sadari, sepasang manik sendu menatap mereka dari kejauhan.

"Satria nggak pernah ketawa begitu kalo sama gue..."

Rena menunduk. Dadanya sesak.

Ah, Rena....

Cerita Kita!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang