PERKEMBANGANKU sesuai harapan. Kamis dibelek, Sabtu pagi sudah bisa mobile tanpa infus, tanpa catheter. By the way, pas catheter dicabut, ngilunya sampai ke ubun-ubun. Karena itu aku nggak akan menyebut dia Tukang Balon lagi. Kata balon bikin ngilunya autoreplay. Kalau tahu prinsip kerja catheter, akan tahu hubungan balon dan ngilu. Thus, aku sudah boleh pulang Minggu siang.
Eh iya, Dedek sudah punya nama.
Tamallea
Tukang ... ck, Ardo yang setting. Dia bilang, Tama diambil dari nama Bang Mikha, sebagai orang yang paling berjasa (baca: paling banyak terbeban) atas hidupku. Llea, anagram namaku. Dan berhubung Ardo narsis nggak sembuh-sembuh, Tamallea langsung disusul Gevariel, nama dia.
"Itu, kan, bukan marga," kataku.
"Memang, makanya cuma satu. Sinaga yang marga, dan banyak."
Nggak, dia nggak membahas Sinaga yang banyak, tapi Sinaga yang satu itu, mantanku. Dasar.
"Lumayanlah, Ma," kataku ke Mama. "Itu lebih baik ketimbang dia kasih nama kayak pemain sepak bola; Messila, Zidania, atau malah Eto'olina."
Mama terkekeh, anehnya juga meneteskan air mata. "Nama yang bagus...," Mama mengangguk-angguk, "bagus."
Kejadian langka. Karena kurasa Mama satu-satunya oma di dunia yang menangis haru justru pas cucunya dikasih nama, bukan pas pertama kali melihatnya. Lebih aneh lagi, sehabis itu Mama memeluk Ardo dan makin menangis. Aku garuk-garuk perut ajalah.
Setelah dua hari di rumah bersama Mama Papa, perkembangan Ardo dua level di bawah sesuai harapan. Means, dia sudah bisa mengangkat, menggendong, dan betah menjaga anaknya selama yang aku dan Mama butuhkan. Tapi giliran eek, sih, tetap jadi urusan bundo kanduang.
"Deeek, Deeek," teriaknya dari kamar. "Allea rese, nih."
Aku dan Papa yang sedang main othello di meja makan, saling pandang.
"Pasti eek," kata Mama yang duduk di lantai dekat kaki Papa, sedang menguleni donat pesanan Ardo.
"Memang," kataku. "Heran. Berani punya anak, tapi keok berhadapan sama eeknya." Aku mengedik malas pada Papa.
"Dulu saya bisa mengganti popok Mikha, lalu kau. Zaman itu tidak ada popok sekali buang macam sekarang. Saya pula yang mencucinya," kata Papa. "Tapi saya tidak bisa mencukupi Mama seperti Ardo mencukupi kau, separuhnya pun tidak."
Dengan kalimat yang lebih lugas, tidak ada manusia serbabisa. Papaku memang begitu. Kalau normal, gaya ngomongnya sering pakai banyak majas perbandingan. Ya alegori, metafora, metonimia, litotes, hiperbola, eufimisme, pars pro toto, totem pro parte. Pensiunan guru Bahasa Indonesia, sih. Kalau nggak normal alias marah, cuma satu: sarkasme.
"Cuma Bang Mikha yang bisa semua-semua," kataku sembari berdiri.
"Termasuk bisa bikin istrinya masuk UGD."
"Hahah!"
Ya, ya. Memang mungkin cuma Bang Mikha yang bisa bikin istrinya menyembunyikan muka di balik masker dan dibawa ke UGD. Umumnya orang cabut IUD a.k.a spiral, istrinya cabut kondom yang ketinggalan.
Insiden ini sudah lama, tapi hingga barusan masih disebut-sebut. Salah siapa? Ya, Bang Mikha. Pas aku dan Papa menelepon dia pakai group call untuk membicarakan urusan tanah, mereka masih di mobil sehabis dari UGD itu. Papa tanya, "Sakit apa?" Lah, malah Abang dengan santai plus tertawa-tawa, menceritakan apa adanya. Fyi, hal beginian nggak bisa diceritakan ke keluarga yang semua anggotanya jago ngenyek alias mencela. Sebagai yang paling jago, kutanya lagi, "Apa karena perabot kau cuma sebesar pentol rawit, Bang?" Jawabnya, "Size nggak penting. Yang penting, lain kali jangan sambil main catur." Kalau kenal abangku, pasti tahu jawaban itu bercanda atau serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medium Rare Mom [Elex Media]
General FictionBehind the story of A Man Who Loves You