Aku menetap di kamar milik Angkasa saat tahlilan dimulai. Rasanya gak kuat, membayangkan Angkasa yang dulu selalu denganku, sekarang mungkin sedang sendirian di alam sana.
Tubuhku terasa sangat lemas sekali, bahkan Komandan kecilpun hari ini tidak melakukan pergerakan sama sekali. Mungkin ia mengerti, ada yang telah hilang dari hidupnya.
Kami berdua kehilangan sosoknya, sosok Angkasa yang sangat berarti.
"Li, jangan nangis lagi dong gue gak tega," ucap Tita dengan suara bergetar. Perempuan itu menemaniku bersama Gigi di sini. Agar jika aku butuh apa-apa, tinggal menyuruh mereka. Harusnya Angkasa yang aku suruh, bukan Tita atau Gigi.
Harusnya aku menjemput kepulangan Angkasa dengan senyum gembira seperti ibu-ibu lainnya. Seharusnya Angkasa kembali dengan segenap jiwa raganya, segenap nyawa yang masih melekat, bukan hilang dan hanya membawa kemenangan seperti kata-katanya.
"Gue gak bisa." Aku menggeleng lemah. "Gue harus gimana tanpa Mas Angkasa?" Air mataku menetes.
Gigi memelukku disusul dengan Tita. Mereka berdua ikut menangis ikut merasakan apa yang kualami.
"Lo pasti bisa Li, lo perempuan yang kuat. Mas Angkasa udah tenang di sana," ucap Gigi menyemangatiku.
"Iya Li, walaupun gue gak terlalu kenal sama Mas Angkasa, tapi gue tahu betapa baiknya dia. Meski galak, tapi sayangnya Mas Angkasa pasti gak main-main, dia mungkin gak bisa pulang sesuai dengan apa yang lo mau, tapi, mau gimana lagi? Mas Angkasa juga mungkin gak menginginkan ini terjadi. Pasti suami lo pengin ngerasain tendangan anak lo secara langsung, nemenin lo lahiran, bahkan adzanin anaknya. Tapi, inilah takdir. Sekuat apapun kita berjuang, kalau Tuhan sudah menggariskan seperti ini, gak ada yang bisa ngelak."
Aku terisak mendengar ucapan panjang dari Tita. Benar, Angkasa juga mungkin tidak menginginkan perpisahan ini terjadi. Lantas, aku harus bagaimana? Menyalahkan takdir? Marah, karena tidak sesuai dengan apa yang kuharap?
Rasanya tidak mungkin. Sekalipun aku memberontak, itu tak akan mampu mengembalikan Angkasa yang telah hilang.
"Lo itu perempuan spesial, Tuhan tahu kalau lo kuat dan bisa jalani ini semua. Kalau gue sama Tita, gak mungkin Li bisa kayak lo," ujar Gigi.
"Sekuat-kuatnya gue, tetep aja, rasa kehilangan itu selalu ada. Gue baru kemarin Gi telpon sama Mas Angkasa. Dia udah janji mau pulang, mau temenin gue lahiran. Demi apapun gue seneng banget waktu itu, sampai pengin gue kasih kejutan di hari kepulangannya, tapi kenapa malah dia yang kasih gue kejutan seburuk ini, kenapa?"
"Hey, Lia, denger gue." Tita melepas pelukannya dan memegang kedua pipiku. "Lihat diri lo. Tuhan mungkin udah ambil Mas Angkasa, tapi jangan lupain, kalau dia juga udah kasih lo sesuatu yang setimpal. Yaitu sosok anak dari Mas Angkasa, suatu saat lo bakal ngerasain sendiri hikmah dibalik setiap kejadian ini. Trust me."
Gigi juga melepas pelukannya dan tersenyum ke arahku. "Gue sama Tita mungkin belum pernah jadi Ibu, tapi kita berdua siap kok jadi aunty yang baik buat anak lo. Aunty online juga mau kan?"
Aku terharu di satu sisi, dan tetap juga merasa sedih di sisi lain. Bayang-bayang Angkasa rasanya tak pernah lepas sedikitpun dalam pikiranku.
"Sekarang, mending lo mandi, habis itu kita ke bawah. Mau ya?" ujar Tita.
"Ayo, gue bantu." Gigi turun dari kasur dan mengulurkan tangannya.
Setelah mengusap wajahku yang basah oleh air mata, aku menerima uluran Gigi untuk membantuku berdiri. Sementara Tita menyiapkan baju untukku.
Setelah sampai kamar mandi, aku langsung menahan Gigi.
"Gue bisa sendiri kok, kalian tunggu di luar aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lapor, Komandan! [END]
General FictionBagi orang-orang, dijodohkan dengan sosok tentara yang tampan, macho, mungkin suatu keberuntungan. Tapi tidak bagi Lia, menurutnya ini sangat membosankan, kehidupannya yang ceria berubah menjadi kaku saat ia harus tinggal seatap dengan pria berwajah...