Takaoka Ryuzaki (Side Story') II

1.5K 337 13
                                    

Beliau kembali mengangkat sebelah tangannya, disaat kami berdua sudah berjalan menjauhi ruangan tadi. “Ke mana lagi kau ingin membawaku?” kata-kata tersebut dengan tiba-tiba terselip begitu saja di kepalaku.

“Nenek sudah mengatakan hal ini sebelumnya, kan? Kita akan pergi menemui laki-laki yang menjadi tunangan dari Kakak Perempuanmu, Sachi,” ungkapnya sambil melangkah kembali melewati gerbang yang telah ia buat lagi.

Aku mengikuti genggaman tangannya yang menarikku … Lagi-lagi, sepintas cahaya kembali melintasi pandangan, ketika kami berdua telah berhasil melewatinya. “Seharusnya, aku sudah melakukan hal ini sejak lama. Seharusnya, aku tidak hanya mengawasi kalian semua dari kejauhan … Putriku, Ardella, jika saja dia masih hidup, hatinya sudah pasti hancur saat mengetahui apa yang terjadi kepada anak-anaknya,” gumamnya pelan, yang hampir sulit untuk didengar.

Wajahnya kembali terangkat menatapku, bibirnya tersenyum gemetar dengan tangannya yang terangkat menyentuh pipiku, “Nenek akan memberikan kehidupan baru untuk kalian. Jadi, berbahagialah! Berbahagialah dan lupakan semua rasa sakit yang pernah kalian rasakan di kehidupan sekarang,” sambungnya, sambil berjalan hingga rambutnya yang hitam sedikit perak itu, melambai melewatiku kala angin meniupnya.

Dia terus saja berjalan, tanpa memedulikan aku yang berjalan di belakangnya. Langkahnya berhenti, sebelum dia berbelok lalu mendorong sebuah penghalang dengan akar yang ia tumbuhkan. “Siapa yang akan mengira, jika harta yang dulu pernah aku berikan pada seorang manusia, bisa berada di sini … Sebuah kebetulan, yang tak pernah aku perkirakan,” ucapnya lagi sambil berjalan mendekati sebuah benda yang ada di tengah-tengah ruangan tersebut.

Aku kembali mengikutinya yang telah duduk di depan benda tadi. “Aku membawa benda ini, dari sebuah tempat asing. Aku mengalirkan sihir waktu pada piano ini, agar dia tidak bisa hancur … Lalu memberikannya, pada seorang anak manusia yang dahulu pernah aku selamatkan-”

“Siapa yang tahu, jikalau benda ini akan berada di tempat yang sama seperti tempat di mana pasangan dari cucuku tinggal. Apakah ini kebetulan? Ataukah ini takdir?” lanjutnya menyambung gumaman yang ia lakukan, sambil mengangkat penutup yang melindungi benda tersebut.

Alunan indah, membuatku terpaku menatapi jari-jemari Nenek yang menari di benda tadi. “Kau, bisa memainkannya?” ucapku tanpa sadar kepadanya.

Dia berhenti, dengan wajah yang berpaling kepadaku, “tentu saja, karena benda ini … Merupakan benda di mana seharusnya aku berasal. Aku harus memperbaiki semua kesalahan yang dulu pernah aku perbuat karena sikap egoisku … Walau itu berarti, hidupku yang panjang harus berakhir di sini,” jawabnya, seraya kembali mengulangi permainannya.

“Siapa kalian?”

Aku dengan cepat berbalik ke belakang, ke arah suara laki-laki yang tiba-tiba mengheningkan suasana. Tanganku mengepal kuat, tatkala kedua mataku tadi terjatuh ke arah semak-semak berduri yang tumbuh di depan laki-laki tadi. “Jangan lakukan hal itu, Cucuku! Kau, akan menakutinya,” ucap perempuan yang menjadi nenekku itu, disaat Beliau beranjak lalu meraih dan menggenggam tanganku.

Apa maksudnya? Aku bahkan tidak melakukan apa pun.

“Apa kau, tunangan dari Putri Takaoka Sachi?” Nenek kembali bersuara diikuti langkahnya yang berdiri membelakangiku saat semua semak-semak berduri tadi menghilang.

“Keluarga dari tunangan cucuku memiliki alat musik milikku yang aku buang ke dunia manusia. Menarik sekali-”

“Apa kau, muak dengan hidupmu yang sekarang? Apa kau, berkeinginan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sekarang? Atau, apa kau, ingin merasakan kebahagiaan?” Satu per satu pertanyaan, Beliau lontarkan setelah sebelumnya sempat terdiam beberapa saat.

“Hanya jawab iya atau tidak. Lalu aku, akan membawakanmu semua itu!”

“Bawa jiwa dari seorang perempuan yang benang merahnya menyatu denganmu. Kau bisa membunuhnya untuk membawa jiwanya itu, setelah kau melakukannya … Hidupmu akan berubah, jauh lebih baik dari yang sekarang,” sambung Nenek sambil berjalan kembali mendekati kotak hitam yang ia sebut sebagai Piano.

Disaat Nenek kembali duduk, dan disaat lantunan demi lantunan kembali terdengar. Di saat itu juga, akar kembali tumbuh mengelilingi laki-laki tadi. Nenek lagi-lagi beranjak, meninggalkan piano tadi setelah bercak kemerahan … Mengalir keluar dari gulungan akar berduri yang ia buat untuk laki-laki sebelumnya. “Hanya tinggal tugas terakhir, dan setelah itu … Aku bisa tidur dengan tenang,” bisiknya, seraya berjalan meninggalkan ruangan itu kembali.

Aku berlari, mengikutinya yang telah berdiri di hadapan salah satu pohon yang tumbuh di sana. “Apa yang kau lakukan? Apa kau membunuhnya?”

“Sebuah kehidupan menggantikan kehidupan yang lain. Di saat dia berhasil melakukan apa yang aku pinta, kehidupan kalian akan berubah … Jauh lebih baik dibanding sekarang-”

“Omong kosong! Apa kau tidak melihat bagaimana dia menatapmu? Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa dia akan mendatangkan kebahagiaan untuk kami?!”

“Aku hanya melihat sebuah luka di matanya. Sebuah luka, yang terlihat sama di setiap mata cucu-cucuku. Aku yakin, Manusia sepertinya tidak akan mendengarkan perintahku … Kalaupun dia membawa kembali sebuah kehidupan, dia pasti membawa kehidupan yang lain. Dia hanya seorang anak manusia, yang membutuhkan seseorang untuk menyembuhkan lukanya. Jika saja, kehidupan baru yang dia bawa ini bisa menyembuhkan semua lukanya … Luka yang sama, yang cucu-cucuku rasakan, bisa ikut terhapus olehnya,” ucapnya lagi, sebelum dia kembali berjalan melewati celah dari batang pohon  di depan kami yang entah sejak kapan kenapa sudah terbelah menjadi dua.

Lagi dan lagi, kami kembali berhenti di sebuah tempat asing yang baru kali ini aku lihat. Suasana di sekitar sangatlah cerah, pohon-pohon yang tumbuh mengelilingi kami terlihat cukup disinari Matahari … Tapi kenapa? Kenapa aku justru merasakan, hawa yang sangat-sangat dingin menyelimuti tubuh. “Dia tidak membiarkan siapa pun untuk masuk kecuali Tuannya,” ucapan Nenek, membuat lirikanku beralih padanya yang terlihat sedang mengetuk udara kosong di hadapannya.

“Hewan Agung yang keras kepala! Padahal aku tidak ingin berniat jahat kepadanya,” sambungnya lagi, yang kali ini menggerakan tangannya lebih kuat memukul-mukul sesuatu yang entah aku pun tidak tahu apa itu.

Nenek menghela napas, lalu memajukan kepalanya … Lebih tepatnya, dia seperti menyandarkan kening dan kedua tangannya pada sebuah dinding yang tak bisa aku lihat. “Jadilah satu dengannya, saat Tuanmu datang untuk menjemputmu. Kumohon … Kumohon, selamatkan Bunga yang sudah aku besarkan ….”

Aku beberapa kali mengedipkan mata, hanya untuk mengusir pandanganku yang kian mengabur. Aku dengan cepat memejamkan mata, saat suara dengingan … Menusuk kuat ke telinga. Aku jatuh begitu saja menubruk tanah, keringatku ikut mengalir deras saat rasa sakit tiba-tiba muncul menggerogoti setiap jengkal tubuhku.

Napasku yang tak beraturan itu, terasa sulit sekali untuk menopang kedua mataku agar tetap terjaga. “Cucuku, aku merasakan sihir yang sama … Tumbuh di dalam dirimu, dan itu berartikan … Kesempatanku untuk mengulang kembali waktu sudah usai. Jika kau menyayangi seseorang tersebut, kau akan bisa memutar sebanyak apa pun waktu agar bisa menyelamatkannya-”

“Aku kemungkinan tidak akan bisa bertahan hidup sampai kalian dewasa di kehidupan selanjutnya … Jadi, raihlah kebahagiaan sebanyak mungkin yang kalian inginkan. Maafkan kesalahan Nenek, yang membuat kalian semua harus menderita,” sambungnya, diikuti telapak tangannya yang menutup pelan kedua mataku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang