Seminggu sudah Pedro tinggal serumah bersama Puspita dan neneknya. Membuat para tetangga berkasak-kusuk untuk mencari tahu.
Wajar jika hidup dalam pemukiman yang padat penduduk. Sedikit berita saja membuat para tetangga untuk mencari tahu. Di pemukiman ini tidak ada yang tahu siapa Pedro. Karena Puspita dan neneknya sering berpindah-pindah rumah, karena tak bisa membayar kontrak yang seharusnya mereka bayar setiap bulannya.
Apa lagi mereka mendengar bahwa Puspita mendadak bisa membayar biaya pengobatan nenek Gracia. Membuat mereka saling menduga. Mengira-ngira bahwa uang yang didapat Puspita secara mendadak dari hasil menjual harga dirinya, hingga tak sedikit dari mereka mencibirnya dan memandangnya dengan sinis.
Bahkan pemuda-pemudi di sekitar pemukiman itu pun menganggapnya sebagai perempuan murahan yang kaya mendadak, sehingga tak jarang di antara mereka banyak yang mencemoohnya.
“Puspita, bagaimana kabarnya Nenek? Apakah dia sudah sehat?” sapa bu Maria ketika melihat Puspita keluar dari rumahnya. Sudah menjadi suatu kebiasaan, pada pagi seperti ini bu Maria selalu bersama tetangga yang lain berkumpul di warung Betty sambil menunggu tukang sayur yang lewat.
“Alhamdulillah, Bu Maria. Nenek sudah sehat,” jawab Puspita dengan ramah. Tak sedikit pun dalam pikirannya untuk mencurigai para tetangga yang mencoba mengorek untuk mencari tahu tentang kehidupannya. Dia hanya berpikir bahwa mereka peduli.
“Duh, rapi banget sih. Nggak biasanya pakai baju bagus seperti ini. Mau ke mana?” Bibik Valery ikut menyapa Puspita dari teras rumahnya yang berada di seberang rumah Puspita. Dia berjalan menuju ibu-ibu yang sedang menunggu tukang sayur untuk bergabung.
Hari ini Puspita tampak berpenampilan berbeda dari kebiasaannya. Menggunakan atasan putih berbahan sifon. Dipadu dengan rok span sebatas lutut berwarna merah muda. Rambut panjang sebahunya dibiarkan terurai, dengan sisiran rapi namun tak menghilangkan ciri rambut ikalnya. Terlihat begitu manis dari penampilan sebelumnya walau tanpa polesan make up yang mencolok.
Dia membeli baju itu dari uang upah pemberian tuan muda Andreas beberapa minggu yang lalu. Tak mahal. Namun, dapat dia gunakan untuk mencari kerja di toko atau pun di tempat-tempat di mana dia harus menggunakan baju yang rapi seperti ini.
“Eh, iya, Bik. Puspita mau coba cari kerja. Biar tiap bulan dapat uang gaji. Dengan dandan rapi seperti ini, siapa tahu nanti Puspita bisa di terima di toko atau di tempat-tempat yang gajinya lumayan dari pada Puspita harus nguli di pasar atau cuci mobil,” jawab Puspita polos.
“Oh, begitu. Ya, mudah-mudahan diterima. Eh, tapi Ngomong-ngomong, nih. Kemarin nenek masuk rumah sakit, siapa yang bayarin? Terus, laki-laki yang sekarang tinggal di rumah Puspita itu siapa?” tanya bibik Valery yang semakin ingin tahu. Sedangkan ibu-ibu yang lain menyambut dengan anggukan bahkan ada beberapa yang mencibir.
“Ah, iya. Maaf. Puspita belum sempat memperkenalkan ke tetangga-tetangga. Dia itu Ayah aku. Kami baru saja bertemu kembali setelah sekian tahun Ayah meninggalkan kami,” jawab Puspita seadanya.
“Sedangkan biaya rumah sakit Nenek, Puspita yang bayar. Kebetulan waktu itu Puspita bekerja di rumah orang kaya di kavling sebelah pemukiman ini. Dia membayar Puspita dengan upah yang sangat besar, padahal Puspita baru sehari bekerja di sana,” lanjut Puspita tanpa menutup-nutupi.
“Hah! Rumah kavling sebelah pemukiman ini? Bukan kah itu rumah Tuan Muda Andreas yang terkenal suka tidur dengan wanita-wanita bayaran?” sahut salah seorang ibu yang ikut hadir dalam kerumunan itu.
“Hai! Hati-hati kalau bicara. Jangan sampai terdengar dengan salah satu pekerja di sana. Kalau sampai terdengar, habis lah kita. Dia kan terkenal sebagai Tuan Muda yang kejam juga,” imbuh salah satu ibu yang lain.
“Ya, betul. Apa lagi kita nggak pernah tahu, siapa saja orang-orang yang setia bekerja di sana.” Ibu yang lain pun ikut menambahkan.
“Aaahhh! Sudah, sudah. Kalian ini, senangnya kok membicarakan keburukan orang. Iya kalau benar. Kalau salah? Jadi fitnah, dosa itu.” Bu Maria mencoba untuk menegur ibu-ibu rumah tangga yang sedang menunggu tukang sayur di depan warung Betty.
“Tidak papa, Ibu Maria. Memang Tuan Muda Andreas seperti itu adanya.” Puspita menyimpulkan senyum manisnya. Dia tak peduli dengan anggapan ibu-ibu itu. Toh, dia pun sependapat dengan mereka bahwa kesimpulannya, tuan muda Andreas penjahat kelamin yang keji dan tak bermoral.
“Tuh, kan. Puspita sendiri saja bilang memang begitu orangnya. Apa Bu Maria masih menganggap kita sedang memfitnah?” tukas bibik Valeri tak terima.
“Sudahlah Puspita. Nggak perlu kamu menanggapi mereka. Cepat, kamu pergi saja mencari kerja. Sebelum ayam-ayam tetangga membawa kabur rezekimu. Lagi pula nggak ada habisnya mendengarkan mereka yang mempunyai hobi bergosip.”
Bu Maria menarik tangan Puspita agar gadis itu secepatnya menjauh dari kerumunan ibu-ibu itu dan segera pergi meninggalkan mereka yang selalu saja mempunyai bahan untuk digosipkan.
Puspita tersenyum lebar melihat tingkah pola bu Maria yang menurutnya jenaka dan tak ada maksud jahat karena dia tahu bahwa bu Maria orang yang baik dan perhatian.
“Baiklah, Bu Maria. Ibu-ibu, saya pamit dulu, ya. Takut rezeki saya nanti dibawa kabur ayam, seperti yang Bu Maria bilang tadi,” gurau Puspita yang disambut gelak tawa mereka.
Puspita pun pamit untuk meninggalkan kerumunan ibu-ibu tetangganya. Dia tak menghiraukan cibiran dari mereka tadi.
“Hai, tahu nggak sih. Jangan-jangan Puspita salah satu perempuan bayaran Tuan Muda Andreas. Lihat saja sekarang, penampilannya berubah drastis. Apa lagi dia bisa membayar biaya rumah sakit perawatan neneknya. Pada hal kan biasanya buat bayar kontrakan saja sering menunggak, sampai-sampai diusir sama yang punya kontrakan karena dia dan Neneknya nggak bisa bayar.” Bibik Valery memulai aksinya untuk informasi yang selalu dibumbui ketika Puspita sudah berjalan jauh dari mereka berkumpul. Sedangkan yang lain mengangguk-angguk menyetujui pendapat bibik Valery.
“Iya, benar. Buat makan saja hampir tiap hari dia berhutang. Tuh, warung saya yang selalu jadi incarannya. Beli mi instan uangnya selalu kurang, dan ujung-ujungnya ngutang.” Sahut Betty dengan mimik yang serius. Bibirnya pun ikut menari khas orang bergosip. Penakanan suara yang tajam agar yang mendengar percaya dengan ceritanya.
“Kalian, ya. Sukanya bergosip saja. Bukannya Puspita tadi sudah cerita kalau dia mendapat upah dari hasil bekerjanya di rumah Tuan Muda Andreas. Jadi kalian jangan suka mengarang cerita.” Ibu Maria mencoba membela Puspita.
“Kamu juga, Betty. Kalau tak mau memberi hutang pada Puspita, nggak perlu lah kamu menceritakan aibnya. Namanya manusia, tidak semuanya bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari karena kondisi keuangan mereka yang benar-benar minim. Kalau mau menolong, yang ikhlas. Siapa tahu suatu saat kita juga butuh pertolongannya,” imbuh bu Maria.
“Hai, Bu Maria. Benar sih tadi dia cerita kalau dia bekerja di rumah Tuan Muda Andreas. Tapi, apakah masuk akal kalau bekerja Cuma sehari saja bisa mendapatkan upah yang banyak. Kita saja musti mengumpulkan uang berbulan-bulan, baru bisa membeli baju bagus. Apalagi untuk biaya rumah sakit yang sudah pasti jumlahnya tidak sedikit,” bantah bibik Valery.
“Betul itu, betul,” sahut mereka hampir bersamaan.
“Aaah! Nggak tahu lah. Lebih baik saya pulang saja mengurus kerjaan rumah yang masih banyak. Dari pada harus ikut kalian membicara tentang aib orang lain. Saya nggak mau ikut-ikutan kalian mencampuri urusan orang lain. Dosa!” elak bu Maria sambil mengibaskan kedua tangannya. Dia pergi meninggalkan ibu-ibu penunggu tukang sayur yang berkumpul di depan warung Betty.
Bersambung ...!
KAMU SEDANG MEMBACA
PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)
RomancePuspita, seorang gadis yang mempunyai mimpi-mimpi indah. Dia ingin mencari cinta sejatinya. Cinta dari seorang pria yang tulus mencintainya, apa adanya. Namun mimpi itu hancur dalam sekejap di saat seorang pria hadir dalam kehidupannya. Tanpa peduli...