8. dia yang tidak peduli

44 12 28
                                    


“Sekian materi dari saya, sampai bertemu di pertemuan minggu depan.”

Bel pulang baru saja di bunyikan. Bu Risa-- guru bahasa Inggris yang mengajar di kelas 11 IPA Unggulan 3 itu pun mulai beranjak keluar kelas. Semua murid berseru riang. Lantas memasukkan alat tulis menulis mereka yang berserak di atas meja ke dalam tas masing-masing.

“Masih ada pengayaan.”

Para murid yang hendak keluar kelas sontak menghentikan langkah, seruan dari ketua kelas itu hanya bisa mereka balas dengan keluhan. Walau begitu tetap saja mereka memilih masuk lagi terus duduk di bangku masing-masing dengan perasaan dongkol. Nggak usah heran, biarpun sudah berada di kelas ini selama setahun. Masih aja tuh beberapa dari mereka belum terbiasa dengan sistem kelas unggulan yang ada di sekolah ini.

Shea menghembuskan napas berat, menaruh kembali tasnya di atas meja. Dia melirik Lia yang juga melakukan hal yang sama sepertinya.

“Gimana, nih?”

Lia mengedikkan bahu sesaat. “Kelasnya Cakra udah pulang. Kita masih harus nunggu 2 jam lagi sampai bel bunyi." kata Lia seraya mengerucutkan bibirnya ke depan.

“Hm, yaudah deh. Mau gimana lagi?” Shea menidurkan kepalanya di meja. “Lo pada udah ngerjain pr kan?”

Yoga menoleh, mengangguk singkat. “Udah lah. Kenapa lo mau nyontek?”

“Gue udah ya!” Shea langsung ketus. “Lagipula pelajaran Pak Surya, takut gue."

“Eh iya, itu guru udah balik ya dari luar kota?” tanya Lia.

“He'em.” Shea mengangguk. “Gila nggak sih kita di kasih pr dari tiga minggu lalu di periksa nya nanti sekarang. Malah tu guru masih ingat lagi udah ngasih tugas ke kita."

Yoga mengangguk mengiyakan. Memang benar, Pak Surya itu salah satu guru yang setiap pertemuannya selalu memberikan tugas rumah. Meskipun, dia masuknya sebulan sekali tapi herannya Pak Surya masih mengingat setiap tugas yang sudah dia berikan selama ini. “Heran gue. Padahal udah kepala empat tapi ingatannya beuhh masih mantap.”

“Setuju. Nggak kayak Shea masih muda udah pikunan.”

Shea melemparkan tatapan tajam. Memilih untuk tidak menanggapi ucapan Lia. Yoga melihat itu hanya geleng-geleng kepala. Entah kenapa merasa capek melihat sikap dua gadis itu padahal hampir setiap hari bertemu.

“Eh, Pak Surya, Pak Surya!" Seruan dari ketua kelas lagi-lagi membuat satu kelas mengeluh dalam hati. Akhirnya, keadaan yang tadinya ricuh mendadak senyap kala Pak Surya sudah memunculkan batang hidungnya dari balik pintu kelas.





•••

Tepat saat bel pulang (untuk kelas reguler) berbunyi, Jeje langsung mengemas semua barangnya berniat untuk pergi keluar kelas. Tidak peduli dengan Pak Andre yang nanti masuk mengajar di jam pengayaan. Raja melirik itu, diam saja seolah sudah terbiasa dengan kelakuan Jeje. Namun, begitu Jeje hendak keluar, seseorang tiba-tiba saja menghentikan langkahnya.

“Mau kemana, Je? mau bolos lagi?”

Jeje mendengus saat tau siapa yang baru saja bertanya. Dia melemparkan tatapan dingin. “Bukan urusan lo.”

Namun, gadis berambut panjang itu tak gentar. Masih berdiri di depan pintu kelas, berniat untuk mencegat Jeje pergi dari sana. “Jelas ini jadi urusan gue. Lo nggak boleh pergi.”

Jeje berdecak, jadi berbalik badan menghadap kearah Raja yang duduk tenang di bangkunya. “Ja! lihat nih anggota lo berulah lagi!”

extracurrikiller Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang