17. Bittersweet

12.9K 2.2K 211
                                    

Rahmat kembali berurusan dengan Rebecca van Houten, untuk memperganteng diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rahmat kembali berurusan dengan Rebecca van Houten, untuk memperganteng diri. Kali ini Rebecca lebih berani dan akrab bagai teman lama. Sambil membersihkan rambutnya, Rebecca menceritakan secara sukarela (menggosip lebih tepatnya) soal warna rambut kesukaan Maia, kuteks favoritnya, dan hal-hal remeh yang hanya diketahui sesama penghuni salon.

Contohnya anekdot tak jelas seperti ini;

"Sis Maia tuh sukanya Sushi, demeeen banget! Tahu kan, tempat Sushi yang sekali makan bisa lima jutaan tuh, di GI? Udah tutup sekarang tempatnya. Tahu nggak sih, mewek dese pas resto itu tutup!" oceh Rebecca.

Rahmat sampai lupa menutup mulutnya dan kemasukan air sabun, karena terheran-heran ada nasi ikan harga lima juta. Bisa untuk jajan warteg berapa bulan, coba? Sudahlah, Rahmat semakin yakin dia beda alam dengan Maia.

Daripada mendengarkan ocehan Rebecca, Rahmat lebih baik menghafalkan dalam hati skenario yang sudah mereka atur sejak minggu lalu. Tentang pertanyaan-pertanyaan standar, di mana mereka bertemu, dan pekerjaan utama Rahmat. Maia bahkan sudah membuatkan kartu nama untuknya, mana tahu Wisnu memintanya. Maia sudah memperingatkannya, bahwa Sally tipikal yang akan mengajak ngobrol duluan, dan Rahmat tidak perlu menjawab sendiri, selama Sally tidak mengajukan pertanyaan khusus untuknya. Maia akan handle semuanya.

Rahmat kadang terheran-heran karena Maia begitu pandai menghafalkan semua hal yang begitu rumit, dan juga mempersiapkan yang tidak terpikirkan oleh Rahmat sebelumnya. Bisa dibilang, Rahmat hanya tinggal bermain peran saja, akan sangat mengecewakan kalau ia masih juga membuat malu Maia. Setidaknya ia harus berusaha. Sesulit apa pun, ia tidak boleh menyerah duluan. Toh semuanya sudah sejauh ini.

Sampai nanti Wisnu dan Sally naik ke pelaminan, tugas Rahmat benar-benar usai. Begitukah?

Harusnya sih begitu, Maia bilang. Ia berjanji tidak akan menuntut lebih banyak, kalau semua tugasnya selesai dengan baik.

Rahmat bergumam-gumam sambil menatap langit-langit. Kebiasaannya kalau tidak terlalu nyaman pada sekitarnya. Ia mencoba lagi gaya bicara yang diinginkan Maia. Paling sulit mengubah cara bicara, Rahmat tiba-tiba merasa hormat pada aktor-aktor sinetron yang bisa jadi apa saja. Akting itu ternyata bukan pekerjaan mudah. Dikira modal cantik ganteng saja cukup, tahunya modal otak juga untuk menghafalkan semua naskah.


***


Seperti biasa, Rahmat selesai duluan, dan menunggu di sofa. Baginya itu justru beruntung karena ia bisa menghafal lebih lama, dan menenangkan diri. Karena ini rasanya jauh lebih tegang daripada interview kerja. Seumur hidupnya, ia tidak pernah capek-capek untuk berpura-pura.

Ia melirik pintu ruangan yang mulai terbuka, dan mendapati Maia melangkah keluar dengan dress sabrina merah. Bahunya, batin Rahmat— bahunya yang putih bersih itu bisa dilihat semua orang. Rahmat merasa sesak napas tanpa sebab. Ia mengalihkan pandang buru-buru.

ElevateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang