BAGIAN 8

117 11 0
                                    

"Nenek, tahan!" seru Gardika, ketika melihat Nyai Warengket siap turun tangan menghabisi Katmani.
"Apa maumu?!" dengus perempuan itu.
"Benarkah ceritanya itu...?" tuntut Gardika dengan suara semakin lirih.
"Cerita busuk apa yang kau dengar darinya?!" bentak Nyai Warengket.
"Perempuan keparat! Berterus teranglah kepadanya!" bentak Katmani.
"Kau telah menculiknya dari kami ketika dia masih bayi!"
"Huh! Siapa kau? Lancang betul mengarang cerita palsu itu?!"
"Dukun keparat! Kalau kepada orang lain kau bisa mungkir, tapi tidak kepadaku! Dia anakku. Katakan padanya!" sahut Katmani dengan suara tetap garang.
Untuk sesaat Nyai Warengket tidak menjawab. Melainkan memandang laki-laki itu denga sinar mata penuh kebencian.
"Nenek! Benarkah kata-katanya?" tanya Gardika semakin lemah.
"Apa untungmu mengakuinya sebagai ayahmu kalau ternyata dulu dia sempat mengingkarimu?" tanya perempuan tua itu, dingin.
"Apa maksudmu? Oh! Berarti benar aku anaknya?" tanya Gardika, bingung.
"Kau memang benar anaknya. Tapi tanyakan pula padanya kalau dia mengingkarimu ketika melihat keadaanmu seperti ini!" tuding Nyai Warengket.
Katmani tidak berani menjawab ketika melihat Gardika memandangnya penuh rasa ingin tahu.
"Benarkah semua itu. Ayah?" tuntut Gardika.
"Memang, pada mulanya aku belum bisa menerima keadaanmu karena amat mengagetkan. Tapi belakangan aku sadar walau bagaimanapun wujudmu, kau adalah anakku. Dan itu akibat kutukan Nyai Warengket itu sendiri. Tapi sebelum segala sesuatunya beres, perempuan tua ini telah menculikmu...," sahut Katmani lirih, setelah menghela napas sesak.
Mendengar itu, Gardika mengeluh panjang. Dan rasa sakit yang dideritanya semakin menghentak-hentak, mengejutkan Nyai Warengket yang belum sempat memeriksa lukanya.
"Astaga! Siapa yang telah melakukan hal ini padamu, Gardika?!" sentak perempuan tua itu.
"Ohh.... Itu tidak perlu, Nek..," tolak Gardika.
"Katakan padaku, siapa yang telah berbuat begini kepadamu?! Orang itu harus menerima pembalasan dariku!" dengus Nyai Warengket.
"Sudahlah, Nek. Dosaku memang telah kelewat banyak. Dan sudah sepatutnya aku mendapat ganjaran...."
"Tidak! Aku tidak akan tenang sebelum orang itu mendapat balasan setimpal dariku. Katakan padaku, siapa dia?!"
"Ohh...!" Gardika mengeluh pendek. Dan wajahnya yang pucat pasi seperti mayat berkerut menahan rasa sakit hebat.
"Katakan padaku, Gardika! Siapa yang melakukan ini padamu?! Ayo, katakan! Siapa?!" desak perempuan tua ini sambil mengguncang-guncang cucu angkatnya yang tengah sekarat.
"Jangan kau ganggu lagi! Dia tengah sekarat!" teriak Katmani mencegah perbuatan Nyai Warengket.
Dengan geram Nyai Warengket mengayunkan, tangan menampar laki-laki itu.
Plak!
"Aaakh...!" Katmani kontan bergulingan sambil mengeluh kesakitan menerima tamparan yang keras bukan main.
"Jangan ikut campur urusanku. Atau kepalamu akan kupecahkan?!" ancam nenek ini.
Mendengar ancaman itu mengkeret juga nyali Katmani. Dia diam memperhatikan mereka berdua. Juga tidak berani mencegah lagi ketika Nyai Warengket mendesak Gardika.
"Ayo katakan padaku, siapa yang telah membuatmu jadi begini?! Katakan, Gardika! Ayo katakan! Biar kubalaskan dendammu!"
"Tidak perlu. Nek..."
"Terkutuk kau! Tidak kuanggap kau sebagai cucu dan muridku, jika tidak mengatakan siapa yang telah membuatmu jadi begini!" ancam Nyai Warengket.
Selain takut, Gardika juga sayang pada perempuan tua ini. Karena dia tahu perempuan tua itulah orang yang telah membesarkannya dan sekaligus gurunya. Maka ancamannya untuk tidak diakui sebagai cucu dan murid, sempat menggugah hatinya.
"Ayo, katakan! Siapa dia?!" bentak Nyai Warengket lagi.
"Dia..., seorang pemuda yang mengenakan rompi putih...," jelas Gardika terbata-bata.
"Apa?! Pendekar terkutuk itu?!" semprot Nyai Warengket dengan mata melotot lebar.
"Dia hebat sekali. Nek..."
"Keparat! Di mana dia sekarang?!"
"Kutemui dia di Desa Bamban, Nek..."
"Pendekar Rajawali Sakti! Tunggulah pembalasanku. Kau akan menerima kematianmu!" dengus Nyai Warengket sambil mengepalkan buku-buku jarinya.
"Kurasa kau tak perlu repot-repot mencarinya. Dia telah berada di sini Nyai Warengket!"
"Hei?!" Perempuan tua ini cepat berpaling. Dan dia melihat sosok pemuda tampan berbaju rompi putih dengan pedang tersandang di punggung.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Rupanya aku tidak susah-susah lagi mencarimu di sini, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Nyai Warengket.
"Begitu juga aku! Kaulah biang kerusuhan di balik semua ini!" dengus Pendekar Rajawali Sakti.
"Keparat!" Nyai Warengket membentak marah. Dan bersamaan dengan itu, tongkatnya menyapu deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Uts!" Rangga mencelat ke atas, tapi tongkat perempuan tua itu terus mengejarnya. Bahkan ketika pemuda itu mencelat ke belakang, ujung tongkat terus mengikuti dan mengancam keselamatannya.
"Kupecahan kepalamu, Bocah!"
"Jangan sombong, Nek!"
"Yeaaa...!" Nyai Warengket tidak mempedulikan ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Dia terus mengebutkan tongkat hingga bergulung-gulung menimbulkan pusaran angin kencang. Dan di lain saat, tiba-tiba saja tongkat itu menghujam secepat kilat ke perut dan dada Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Rangga pun tidak mau dijadikan sasaran empuk senjata perempuan tua ini. Tubuhnya bergerak cepat dengan mengerahkan segenap kelincahan dalam jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Bet! Wut!
"Yeaaa...!"
Meski tongkat di tangan Nyai Warengket bergerak secepat kilat, namun Pendekar Rajawali Sakti pun tidak kalah gesit menghindar. Bahkan sekali waktu tiba-tiba menyerang dengan cara tak terduga. Hal itu membuat perempuan tua itu gemas bukan main.
"Terimalah jurus 'Angin Puyuh Mengamuk' milikku. Yeaaa...!"
Karena jengkel, Nyai Warengket sudah langsung menyerang Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus andalannya. Seketika kedua tangannya menghentak.
Wusss...!
"Aaah...!" Rangga mengeluh tertahan. Meski pukulan itu tidak mengenainya, tapi desir anginnya saja cukup membuat tubuhnya bergeser ke belakang. Pemuda itu jungkir balik beberapa kali, lalu mencelat ke samping menjauhi.
"Mampus kau!" Nyai Warengket menggeram. Lalu tubuhnya meluruk sambil menyapukan tongkatnya. Namun Rangga yang berdiri tegak telah mengangkat tangannya ke arah pedang. Lalu....
Sring!
"Kita lihat, apakah tongkat bututmu itu mampu mengalahkan pedangku ini!" desis Rangga ketika telah mencabut pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilauan. Langsung dipapakinya serangan tongkat itu.
"Hei?!" Nyai Warengket sedikit terkejut melihat pamor pedang yang bercahaya biru. Tenaga dalamnya segera dikerahkan sepenuhnya dan dialirkan ke tongkatnya.
Tak!
"Uhhh...!" Nyai Warengket terbelalak kaget. Serangannya seperti membentur benda kuat lagi tajam. Tongkatnya berderak patah, meski tidak langsung putus. Dan bersamaan dengan itu, pedang Rangga terus meluncur deras menyambar leher.
Masih untung perempuan tua itu mampu ber-gerak cepat ke belakang. Namun angin sambaran Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang tajam terasa mengiris-iris kulit tubuhnya.
"Hiyaaa...!" Rangga membentak keras. Dan tubuhnya terus meluruk mengejar.
"Bajingan terkutuk! Pedang bocah itu ternyata tidak bisa dibuat main-main!" dengus perempuan tua itu.
Bet!
"Siluman Membakar Diri...! Hihhh...!" Dalam keadaan terdesak begitu, Nyai Warengket mengeluarkan pukulan terampuhnya. Kedua tangannya cepat menghentak.
Wusss...!
Seketika dari kedua telapaknya mencelat cahaya kuning kemerahan laksana kilatan petir menyambar Pendekar Rajawali Sakti.
Bruesss...!
"Uh, sial!" umpat Rangga seraya menjatuhkan diri dan bergulingan ketika pukulan Nyai Warengket nyaris menyapu tubuhnya.
Akibat yang ditimbulkan pukulan itu luar biasa hebat. Sinar kuning kemerahan itu menerabas apa saja yang menghalanginya. Hangus terbakar dan ambruk seketika.
"Yeaaa...!" Kembali Nyai Warengket membentak keras seraya melancarkan pukulan mautnya.
Siuuut! Bruesss!
"Hm.... Tidak bisa didiamkan!" gumam Pendekar Rajawali Sakti ketika hampir saja sinar kuning kemerahan itu meremukkan tubuhnya. Tubuh Rangga bergulingan beberapa kali, kemudian mencelat keatas dengan telapak tangan kiri mengusap batang pedang.
"Yeaaa...!" Pada saat yang sama Nyai Warengket melihat kesempatan baik. Segera digunakannya sebaik-baiknya. Dalam keadaan mengapung begitu, akan sulit bagi lawan untuk menghindar dari hajarannya. Maka dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki dihantamnya Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan maut untuk yang ketiga kalinya.
Wusss...!
Tapi pada saat itu pula justru Rangga tengah mempersiapkan diri untuk membalas serangan. Maka begitu melihat Nyai Warengket telah melepas serangan, Pendekar Rajawali Sakti segera memasukkan pedangnya ke warangka. Sementara kedua tangannya telah terselubung sinar biru berkilau sebesar kepala bayi. Lalu.....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaa...!" Sambil membentak keras, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan tenaga dalam amat tinggi.
Siuttt! Jderrr...!
Kedua pukulan bertenaga dalam tinggi itu saling beradu, menimbulkan ledakan keras menggelegar. Bunga api dan asap hitam tampak menyembul di tengah, tepat terjadinya benturan.
Wusss...!
Namun cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti terus menerobos. Bahkan....
Blarrr...!

"Aaa...!" Tubuh Nyai Warengket kontan terpental, tatkala cahaya biru itu menggulung dirinya. Terdengar pekikan panjang yang keluar dari mulutnya. Beberapa buah pohon yang dilanda tubuhnya hancur berantakan, dan hangus terbakar terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Nyai Warengket diam tak berkutik ketika tubuhnya membentur pohon yang terakhir. Tamat sudah riwayatnya.
Pendekar Rajawali Sakti menghela napas panjang sambil tetap memandang tubuh perempuan tua itu yang telah gosong. Lalu perlahan-lahan perhatiannya dialihkan pada Gardika yang tengah dipangku Katmani.
Untuk sesaat Pendekar Rajawali Sakti tak tahu harus berkata apa. Laki-laki di depannya itu adalah ayah Gardika, orang yang tewas karena perbuatannya. Apa yang bisa dilakukannya selain berdiri mematung memandangi ayah dan anak itu?
"Maaf.... Kau mungkin tidak suka melihatku...." Akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Pendekar Rajawali Sakti.
"Hatiku tidak seperti yang kau duga, Anak Muda. Aku telah menerima semua ini dengan lapang dada...," desah Katmani lirih. Rangga terdiam sejenak.
"Ini telah menjadi takdirku yang tidak bisa dielakkan. Meski aku sedih, karena kematian anakku yang sejak bayi,... sekali ini lagi kutemui. Tapi aku tidak menyalahkanmu...," lanjut Katmani lesu.
"Telah banyak korban yang ditimbulkannya. Dia haus darah...," ucap Rangga hati-hati.
Katmani mengangguk.
"Sebelum ajalnya dia akui hal itu...."
"Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa mengampuni segala kesalahannya...."
"Terima kasih, Anak Muda."
Keduanya kembali terdiam untuk beberapa saat.
"Dia telah tiada. Maukah kau kalau aku membantumu menguburkannya?" kata Rangga menawarkan diri.
"Terimakasih.... Biar kulakukan sendiri," sahut Katmani.
"Akan kau bawa ke mana?" tanya Rangga.
"Akan kumakamkan di samping makam ibunya...," sahut Katmani getir.
"Di mana makam ibunya? Di desa ini juga?"
Katmani mengangguk. Rangga menghela napas sesak, dan belum beranjak dari tempatnya.
"Aku tahu perasaanmu, Anak Muda. Tapi tidak usah merasa bersalah. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ikhlas menerima semua ini?"
"Ya, aku mengerti. Tapi izinkan aku melihat upacara pemakamannya...."
"Aku tidak menguburkan anakku dengan upacara segala...." Rangga terdiam.
"Dan kalau kau tidak keberatan, bisakah kau meninggalkan kami berdua di sini?" usir Katmani, halus.
Rangga kembali tak menjawab. Kepalanya menoleh kesamping, melihat kuda hitam yang berjalan pelan mendekati. Kemudian dengan langkah berat dihampirinya Dewa Bayu.
"Kisanak...," panggil Pendekar Rajawali Sakti setelah melompat ke punggung kuda. Dan Katmani menoleh. "Bagaimanapun bencinya kau padaku, aku ingin agar kau sudi memaafkanku. Kubunuh dia bukan karena imbalan atau dendam pribadi. Karena jika tidak begitu, ketenangan orang banyak akan terancam olehnya," jelas Rangga, seperti kurang yakin dengan keikhlasan Katmani.
"Aku mengerti..."
"Terima kasih. Aku pergi dulu!" Setelah berkata begitu, Rangga memutar kudanya, berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Ketika jaraknya cukup jauh, kudanya digebah dengan kencang.
"Heaaa...!"
Dalam waktu singkat Pendekar Rajawali Sakti telah hilang dari pandangan. Padahal saat itu Katmani masih memandang bayangannya yang telah menghilang dengan tatapan kosong dan wajah hampa.

***

TAMAT

183. Pendekar Rajawali Sakti : Jahanam Bermuka DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang