1|. Masalah Pagi Hari

2.4K 163 9
                                    

•••

Pagi hari yang seharusnya tenang, seperti biasa pasti diisi dengan suara teriakkan dari seorang gadis. Namanya Eliana, biasa dipanggil Lia asal jangan Eli. Siapapun orang yang memanggilnya seperti itu, bisa dipastikan akan langsung dimusuhi seperti Echan, Kakak lelaki yang menurutnya sangat menyebalkan.

"ECHANNN LO APAIN BUKU MATEMATIKA GUE?!"

Lia yang sudah siap untuk pergi ke sekolah, malah harus menahan amarah saat tahu buku pr matematika yang seharusnya dia bawa ke sekolah hari ini sudah penuh dengan coretan spidol. Lia sudah pasti tahu si pelaku. Untuk itu, cepat-cepat dia turun ke bawah tanpa memperdulikan Kakak keduanya yang juga baru keluar kamar.

Sesampainya di dapur, Lia langsung melemparkan bukunya tepat ke wajah Echan yang akan duduk di meja makan. Di sana sudah ada Nayaka alias Nana, Kakak kesayangan Lia yang sedang membuatkan sarapan.

"Kenapa lagi, Li?" tanya Nana setelah menyiapkan sarapan di meja. Lia langsung menunjuk Echan marah. Jika saja di film kartun, mungkin kepalanya sudah mengeluarkan tanduk merah.

"Dia corat-coret buku pr aku, Kak. Hari ini harus dikumpulin, kalau enggak bakal dihukum," adu Lia dengan mata sudah berkaca-kaca menahan tangis.

Si pelaku yang dituduh langsung berdecih, menatap malas adiknya. "Gak usah asal nuduh, deh! Ada bukti, gak?"

"SIAPA LAGI KALO BUKAN LO, CHANDRA BANGSAT!"

Sontak saja mata Echan melotot kaget, bisa-bisanya Lia berkata kasar pada yang lebih tua.

"Lia, jangan ngomong kasar!"

Nana justru memijat pelipisnya yang terasa pusing. Pasti setiap pagi dirinya tidak bisa merasa tenang. Echan dan Lia selalu rusuh, mendebatkan hal yang penting. Bahkan Jeje saja selaku anak kedua angkat tangan menghadapi kedua makhluk itu.

"Makan dulu, nanti telat," suruh Jeje yang baru saja datang ke dapur. Lelaki itu langsung mengambil duduk di sebelah Nana.

"Lo ada dendam apa, sih sampe corat-coret buku pr gue?"

Echan malah menggaruk rambut dengan tampang watados, tidak menyangka jika adiknya akan benar-benar marah. Padahal dia melakukan itu hanya sekedar bercanda.

Amarah Lia saat ini sudah memuncak, membuat dia tanpa segan langsung menarik kerah seragam Echan. Sontak ketiga lelaki di sana melotot kaget.

"Lepasin, Lia!"

Mendengar seruan bernada tegas dari Nana, membuat Lia terpaksa melepaskan cengkraman di seragam Echan.

"Kalau gak ada Kak Nana, lo udah gue abisin!" gertaknya galak.

"Bercanda doang, Li. Gak usah baperan jadi orang," cibir Echan.

"MASALAHNYA LO RUSAKIN BUKU TUGAS GUE! EMANGNYA LO MAU GANTIIN KALAU GUE DIJEMUR DI LAPANGAN?! PERCUMA JUGA BELAJAR SAMPE MALEM KALAU TETEP AJA DIHUKUM."

Ketiga lelaki di sana serentak menutup kuping karena teriakkan terdengar Lia sangat nyaring.

"Lia udah, makan dulu." Nana langsung menghampiri mereka berdua untuk menjadi penengah, sebelum terjadinya adegan baku hantam.

Jeje tidak mau ikutan karena sudah terbiasa dengan kelakuan Echan yang suka menjahili Lia. Mereka berdua layaknya musuh, tidak pernah bisa akur. Beruntung pagi ini Ajun sudah berangkat, jika tidak bisa habis mereka semua diceramahi.

"Nanti gue ganti," kata Echan pada akhirnya.

Lia tidak mempedulikan Nana yang mengajaknya untuk duduk. Dia malah mengambil buku yang tadi di lemparkan, kemudian melemparkan lebih keras lagi ke muka Echan.

"MAKAN TUH GANTI!"

Echan meringis, mengusap mukanya yang terasa sakit. "Sakit anjir!"

"Mau ke mana?" tanya Nana menahan tangan Lia yang hendak pergi.

"Berangkat."

"Makan dulu, Li. Lagian kamu gak bisa pergi sendiri."

Nana dan Jeje tentunya tidak akan pernah mengijinkan adik perempuannya itu untuk berangkat sendiri.

"Kamu udah biasa sarapan, nanti sakit," sahut Jeje tidak setuju.

"Terserah, aku pergi."

Lia langsung melepaskan tangan Nana. Sebelum pergi dia masih sempat menatap tajam si penyebab masalah.

Dengan terpaksa, hari ini Lia harus menaikki angkutan umum, walaupun sebenarnya tidak berani. Ingin memesan ojol, namun dia tahu cara memesannya karena tidak pernah.

Bahkan setiap hari gadis itu selalu berangkat dengan Ajun dan Nana, tidak pernah sekali pun berangkat sendiri, apalagi jarak ke sekolah lumayan jauh. Kalau Ajun sudah berangkat, pasti pilihannya dengan Jeje. Kecuali Nana, dia selalu ikut siapa saja karena tidak mempunyai kendaraan sendiri. Sedangkan Echan mempunyai motor. Hanya saja lelaki itu pelit, tidak memperbolehkan siapapun ikut menumpang.

•••

Nana menghelas nafas, kemudian menatap kembarannya dengan raut wajah lelah. Memang Nana dan Echan itu kembar, namun tidak identik jadinya tidak mirip sama sekali. Yang lebih dulu lahir justru Echan, mereka hanya selisih lima belas menit.

"Gak ngerti lagi gue sama lo." Nana kembali duduk di samping Jeje, walaupun selera makannya sudah menghilang.

"Gue susul," jawab Echan hendak pergi.

"Biar Lia bareng sama gue, palingan masih di depan." Jeje yang sudah selesai makan langsung mendekati Echan.

"Lain kali tau situasi kalo bercanda. Udah gede masih aja kaya bocah," cibir Jeje menyentil kening adiknya.

"Kenapa belum berangkat?" tanya Echan setelah Jeje pergi.

"Nungguin Luki jemput," jawab Nana.

"Kirain mau bareng gue," ujar Echan wa-was. Pasalnya dia sangat anti memberikan tumpangan, karena jok belakang motornya seolah haram untuk dinaikki orang lain. Termasuk saudaranya sendiri.

"Cepetan makan, bentar lagi gue mau berangkat."

"Lo marah sama gue?" tanya Echan karena Nana berbicara dengan nada ketus.

Nana hanya menatap kembarannya malas. "Rubah sikap lo. Kasian Lia kalo terus lo jahilin."

"Biasanya juga terima. Lagian dianya aja yang baperan.

Sontak saja Nana memukul kepala Echan dengan sendok. Dia tidak mengerti dengan sikap absurd kembarannya itu, sangat berbeda jauh dengan dirinya.

"Baper pala lo! Nanti minta maaf."

"Iya bacot!" kesal Echan sambil mengusap kepalanya.

"Lo sayang gak, sih sama Lia?"

Pertanyaan Nana memang terbilang sangat klise, namun bisa membuat Echan tersenyum tipis.

"Gak ada Kakak yang gak sayang sama adeknya."

•••

Because, Only Brother'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang