•••
Setelah sampai, Lia langsung masuk ke dalam rumah disusul Ajun di belakangnya. Hari ini dia merasa senang dan mungkin sedikit sedih. Entah sedih karena apa, yang jelas ia sudah terbiasa dengan perasaannya yang sering berubah-ubah tidak jelas.
"Jangan lupa mandi, ganti baju, abis itu makan."
"Masih kenyang, Bang. Nanti aja malem sama kalian. Mas Jeje juga belum pulang," jawab Lia.
"Malam ini Jeje nginep di rumah temennya."
Sontak mata Lia melotot karena sebelumnya tidak tahu hal itu.
"Tadi Kak Nana kerja kelompok, sekarang Mas Jeje. Kenapa, sih kalian pada pergi?"
"Abang juga harus pergi, ada urusan."
Lia semakin cemberut kesal. Kenapa semua orang malah pergi, padahal dia sangat ingin bersama mereka.
"Masih ada Echan. Gak usah kaya anak kecil, di rumah sendirian gak bakal ada apa-apa."
"Sekarang aja dia belum pulang. Abang, kan tau aku gak bisa sendirian," ujar Lia sedih.
Ajun menghela nafas, lalu mengusap rambut Lia. "Nanti Abang berangkatnya kalau dia udah pulang."
Lia terpaksa mengangguk, berusaha untuk tidak bersikap egois. Apalagi dia juga tidak berhak menyuruh mereka selalu ada di rumah.
"Yaudah, jangan cemberut. Sekarang kamu istirahat dikamar."
Setelah mencium pipi Ajun sekilas, Lia langsung berlari ke atas.
Berbeda dengan kamar ketiga saudaranya yang ada ada di atas, justru kamar Ajun berada di lantai bawah. Alasannya cuma satu, dia tidak suka mendengar suara Echan yang seringkali berisik.
•••
Sesampainya di kamar, Lia segera membaringkan tubuh di atas kasur. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan sendu.
Selang beberapa menit gadis itu kembali bangkit. Dia menatap meja, kemudian mengambil sebuah poto figura yang selalu disimpan terbalik.
Saat melihat gambar dalam poto tersebut, tiba-tiba hati Lia berdenyut sakit. Karena di sana terlihat keluarganya sangat lengkap, tersenyum bahagia melihat ke arah kamera.
"Aku kangen banget sama Bubun," lirihnya tersenyum sedih saat mengingat beberapa tahun sebelum Bubun pergia.
"Aku minta maaf udah misahin Bubun sama Papa, sama Abang, sama Mas Jeje, sama Kak Nana dan Kak Echan."
Kata semua kakaknya , wajah Lia sangat mirip dengan Bubun. Memang benar, dia sendiri juga tidak menyangkal karena memang mirip dengan seseorang yang ada di dalam foto itu.
"Kenapa, sih Bubun tega ninggalin mereka hanya karena aku?"
"Emangnya Bubun gak sayang sama Papa? Kasian sampai sekarang dia gak nikah, malah kerja terus."
Lia mengusap matanya yang sudah mulai basah. Dia tidak mau menangis, ia tidak pernah suka menangis, karena dengan menangis hanya akan membuat dirinya seperti orang lemah.
"Kejadin dulu gak pernah bisa dilupain. Rasa sakitnya masih sama ...."
Jika hidup bisa memilih, Lia ingin sekali kehilangan ingatannya. Dia sangat ingin kejadian buruk di masa lalu bisa dilupakan begitu saja. Hanya saja tidak pernah bisa.
"Kenapa Bubun harus tinggalin mereka cuma buat nyelametin aku. Padahal aku lebih seneng kalau Bubun gak ngambil keputusan itu."
Dengan lemah, Lia memegang dadanya. Merasakan rasa sesak yang mulai memenuhi rongga pernafasan.
"Aku masih inget. Hari itu hari yang gak bakal pernah bisa aku lupain," lirihnya semakin terasa sesak.
Sampai kapanpun Lia tidak akan bisa melupakan bayangan betapa sakitnya Bubun waktu itu. Saat melihat dengan mata kepalanya sendiri Bubun lebih mengorbankan nyawa.
"Selama ini aku terus ngerasa bersalah ... apalagi sama Abang."
Mungkin semua orang melihat Lia sebagai pribadi yang periang, banyak yang mengatakan dia orang yang sangat beruntung. Namun sebenarnya, Lia terpaksa seperti itu untuk menutupi luka lamanya.
Gadis itu sangat ingin menangis keras, menunjukkan kalau dia sosok yang rapuh. Namun nyatanya tidak pernah bisa.
"Walaupun Bubun gak ada di sini tolong lindungin mereka dari sana. Aku sayang banget sama mereka ...."
Pertahanan Lia semakin runtuh. Dia menangis dengan isakan yang terus keluar. Rasa bersalahnya semakin terasa, bahkan pukulan di dada pun tidak bisa mengurangi rasa sesak itu.
"Bun, sakit banget di sini ...." Lia memukul-mukul dada, berharap rasa sakitnya menghilang.
"Gara-gara aku Papa harus kehilangan Bubun. Gara-gara aku Abang harus jadi orang yang paling rapuh. Gara-gara aku Mas Jeje ikut ngerasain sakit. Gara-gara aku Kak Nana harus dituntut mandiri. Bahkan gara-gara aku Kak Echan kekurangan kasih sayang dan jadi anak nakal."
Gadis itu tertawa. Tawa yang terdengar sangat menyakitkan. "Aku jahat banget jadi orang. Harusnya aku aja yang pergi, bukan Bubun."
Untuk kali ini, Lia membiarkan dirinya menangis.
"Tolong Bun, kasih tahu Papa biar pulang. Kasian mereka butuh dia."
"Lia kangen Bubun, tapi Lia juga kangen banget sama Papa."
Gadis itu terus berbicara sendiri, menumpahkan semuanya yang terasa menyiksa hati. Memang dengan begitu tidak akan mengubah keadaan, namun setidaknya bisa mengurangi rasa sesak.
Namun tanpa Lia sadar, seseorang terus mendengarkan perkataanya dari depan pintu kamar.
Sekarang Ajun tahu, jika Lia lebih terluka daripada dirinya sendiri.
"Maafin Abang ...," Lirih lelaki itu terdengar putus asa.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Because, Only Brother's
Teen FictionMenurut Lia, mempunyai saudara laki-laki itu rasanya nano-nano. Tidak tahu harus senang atau sedih. Apalagi sampai mempunyai empat sekaligus Namun, di sisi lain banyak orang yang bilang hidup dia itu beruntung, banyak juga yang mau berada di posisin...