Anfal

14 0 0
                                    

Nenek Gracia mencemaskan Pedro. Dia takut pria itu akan kembali melakukan perbuatan buruk seperti saat ibu Puspita setelah beberapa hari meninggal.

“Tidak, Bu. Saya sedang mencari pekerjaan. Dan, saya di terima di proyek pembangunan sebuah apartemen. Lumayan jauh sih dari sini. Tapi tak apa lah, dari pada saya harus terus mengandalkan Puspita.” Pedro memberitahu kabar itu.

Pria itu menyusul nenek Gracia dan Puspita ke meja makan. Lalu mengambil gelas yang di isi air minum oleh Puspita, kemudian menenggaknya sedikit demi sedikit. Rupanya Pedro benar-benar haus, dia meminum air itu hingga tandas.

“Syukurlah kalau begitu. Puspita hari ini katanya juga diterima bekerja di kafe.

“Oh, ya? Wah, berarti hari ini adalah hari keberuntungan bagi keluarga kita.”

Mendengar kabar itu, Pedro ikut gembira. Walau pun dia diterima hanya sebagai buruh tenaga kasar. Namun, dia tetap bersyukur masih ada tempat yang mau menerimanya bekerja di saat usianya sudah tak muda lagi.

***

Enam bulan sudah Puspita bekerja di kafe. Selama itu dia sering pulang hingga larut malam. Demi uang yang akan dia dapatkan, gadis itu bekerja tanpa kenal lelah.

Begitu pula dengan Ayahnya. Bahkan sering kali Pedro tidak pulang karena ingin mendapatkan upah lebih dari kerja lemburnya. Dia pun rela tidur di tempat kerjanya, karena jika pulang, kendaraan umum yang akan membawanya pulang sudah tak beroperasi lagi.

Hari ini Puspita pulang lebih awal dari biasanya. Sebab, dia ingin menghabiskan sisa waktunya bersama nenek setelah enam bulan waktu kebersamaan itu tersita oleh kesibukannya.

Akan tetapi, ketika Puspita sampai, rumahnya tampak sepi dan gelap. Tak ada nenek yang menyambutnya. Lampu-lampu yang hanya berpendar dengan watt yang rendah belum juga menyala. Seketika saja perasaan cemas menyelimuti hatinya.

“Puspita, kamu sudah pulang?” Tiba-tiba suara Bu Maria terdengar dari pintu ketika Puspita menyalakan lampu.

“Iya, Bu Maria. Baru saja aku sampai. Tapi, Nenek kok tidak ada ya, Bu? Apakah Bu Maria tahu Nenek di mana?”

Gadis itu mencium aroma yang tidak beres melihat wajah panik bu Maria. Dia mengernyitkan alis matanya. Mencoba menyelidiki keresahan yang tersembunyi di balik wajah wanita berbadan besar itu.

“Nenek kamu Anfal, Puspita. Tadi siang dia terjatuh di kamar mandi. Dan, sekarang dia dibawa ke rumah sakit yang sama saat nenek di rawat dulu,” beritahu Bu Maria kepada Puspita.

“Sampai sekarang dia belum sadarkan diri dan sedang di rawat di kamar ICU.” Dengan suara yang berat Bu Maria melengkapi kalimatnya.

Tanpa menunggu lama lagi, secepat kilat Puspita menyambar tasnya, kemudian berhambur keluar untuk ke rumah sakit menemui neneknya. Dia tak peduli dengan tubuhnya yang letih karena seharian sudah bekerja. Dalam benaknya hanyalah nenek yang selama ini sudah merawat dan membesarkannya dengan rasa cinta yang tulus.

“Nenek,” panggil Puspita dengan suara pelan.

Gadis itu tak tega melihat kondisi neneknya. Wajah tua itu terlihat pasih, tubuhnya terkulai di atas ranjang dengan berbagai selang penghubung ke beberapa alat yang membantu nenek agar tetap bertahan hidup untuk sementara ini.

“Bangun, Nek. Puspita datang untuk Nenek.” Air mata pun tak sanggup Puspita bendung. Mengalir begitu saja tanpa dapat dihalau lagi.

“Puspita minta maaf karena selama ini Puspita tak pernah punya waktu buat Nenek. Puspita terlalu asyik bekerja, sehingga lupa untuk memerhatikan kondisi Nenek,” sesal Puspita.

“Ayo lah, Nek, bangunlah. Jangan biarkan Puspita sendiri, Nenek.”

Puspita memeluk nenek Gracia, seraya merebahkan kepalanya di samping tubuh renta dan lemah itu. Seolah-olah dia tak ingin neneknya pergi meninggalkannya.

“Maaf, Nona. Anda tak bisa berlama-lama di sini. Silakan Nona menunggu di luar saja.” Tiba-tiba seorang perawat mendekati Puspita dan menegurnya.

“Tapi, Suster. Saya ingin menjaga Nenek.” Puspita memohon dengan kedua telapak tangannya menangkup di depan dada.

“Percayakan kepada kami saja, Nona. Biar kami yang menjaga Nenek Anda. Karena ini sudah menjadi tugas kami. Silakan Nona berjaga di luar saja. Nanti, kalau ada apa-apa kami akan segera memanggil Anda,” jelas perawat itu dengan tegas.

“Ba-baik, Suster. Ta-tapi tolong jaga Nenek saya ya, Sus.” Akhirnya Puspita menurut. Walau dengan hati yang sangat berat dan wajah yang masih dibasahi air mata, Puspita melangkah keluar. Sesekali dia menengok ke belakang, seakan-akan tak rela meninggalkan neneknya. Tapi, dia harus percaya bahwa para perawat itu bisa menjaganya dengan baik.

Lima belas menit kemudian saat Puspita duduk di ruang tunggu, setelah dia sedikit bisa menguasai emosinya. Gadis itu mengambil sebuah kertas yang dia simpan sebelumnya di dalam tasnya.

Puspita membentangkan kertas itu. Sebuah kuitansi biaya perawatan nenek Gracia untuk tiga hari ke depan di ICU yang sudah dibayarnya. Dengan jumlah yang sangat besar untuk ukuran Puspita.

Beruntung saja dia masih mempunyai sisa upah dari Tuan Muda Andreas enam bulan yang lalu. Ditambah setiap bulan dia selalu menyisihkan gajinya, juga pemberian dari Pedro untuk ditabung, sehingga saat ini Puspita tak lagi bingung untuk mencari biaya rumah sakit ini.

Akan tetapi, Puspita harus berpikir keras lagi, dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk biaya perawatan nenek Gracia selanjutnya? Dia tak pernah tahu sampai kapan nenek harus dirawat di rumah sakit ini. Sedangkan saat ini saja nenek Gracia belum sadarkan diri.

Tuhan, bantu aku untuk menemukan jalan agar bisa dengan muda mendapatkan uang sebagai biaya perawatan Nenek. Doa Puspita dalam hati. Dia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya, berharap ia bisa membuang semua kekalutan yang sedang dipikulnya.

Semalaman Puspita berada di rumah sakit tanpa ada seorang pun yang bisa menggantinya. Gadis itu tak bisa tidur. Wajahnya tampak letih. Kesedihan masih terukir jelas di sana. Sedangkan Pedro, tampaknya semalam tak pulang, sehingga dia belum mengetahui jika mertuanya Anfal.

“Bagaimana dengan perkembangan Nenek, Puspita?” sebuah suara yang sangat dikenal Puspita, bertanya.

Puspita menoleh dengan lemas ke arah sumber suara itu. “Bu Maria? Entahlah, Bu. Belum ada kabar dari Perawat maupun Dokter,” jawab Puspita. Membuat isakannya kembali pecah.

“Yang sabar ya, Neng. Mudah-mudahan Nenek baik-baik saja,” hibur Bu Maria seraya memeluk Puspita dan mengusap-usap punggungnya agar Puspita dapat kembali tenang.

“Iya, Bu. Terima kasih sudah peduli dengan kami.” Puspita mengangguk dan bersandar di bahu Bu Maria. Tampaknya dia merasa nyaman di sana. Seperti menemukan tempat di mana ia bisa mencurahkan keluh kesanya dan dapat berbagi sedikit beban yang tengah dipikulnya.

“Sepertinya, kamu terlihat lelah.” Bu Maria menangkupkan telapak tangannya ke kedua pipi Puspita. Dia menatap lekat wajah gadis itu. Membuat rasa ibanya seketika muncul.

“Bagaimana kalau seandainya kamu pulang saja dulu. Mandi, istirahat sebentar di rumah. Biar Ibu yang menjaga Nenekmu.” Usul Bu Maria kemudian.

“Tidak. Tidak perlu, Bu. Puspita tidak apa-apa ....”

“Puspita, kamu juga harus bisa menjaga kondisi badanmu. Supaya nggak jadi sakit. Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga dan mengurus nenekmu?” potong bu Maria.

Puspita terdiam sebentar. “Tapi, bagaimana dengan anak-anak ibu di rumah? Siapa yang akan mengurus mereka nanti kalau ibu ada di sini?” tanya Puspita ragu dengan kondisi Bu Maria yang sudah mempunyai anak dua yang kecil-kecil dan masih membutuhkan perhatian dari seorang single parent ditinggal mati suaminya.

“Tenang saja. Mereka bersama nenek dan tantenya. Jadi saya juga tenang meninggalkan mereka.”

Mendengar jawaban Bu Maria, akhirnya Puspita menyerah, dia ikuti saran dari wanita berbadan besar itu. “Baiklah, Bu. Tapi, mungkin Puspita agak lama kembali ke sini. Puspita harus ke kafe dulu untuk meminta izin ke Manajer. Karena tidak enak kalau harus tak masuk begitu saja tanpa ada pemberitahuan.”

“Ya, nggak jadi masalah. Atur saja.” Melihat Puspita akhirnya menyerah, Bu Maria sangat senang, karena telah diberi kesempatan oleh Puspita untuk membantu menjaga Nenek Gracia.

Puspita mengusap air mata yang masih mengalir membasahi pipinya, kemudian bersiap-siap pulang. “Puspita titip Nenek ya, Bu.”

“Kamu bisa mengandalkan Ibu, Puspita.”

“Sekali lagi, terima kasih, Bu. Puspita pulang dulu,” pamit gadis itu, kemudian pergi meninggalkan ruang tunggu yang di sediakan di ruang ICU.

Sampai di rumah, Puspita segera membersihkan tubuhnya. Kemudian menukar baju yang dari semalam belum ia ganti.

Bersyukur hari ini Puspita mendapatkan sift siang, sehingga dia bisa istirahat sebentar. Agar bisa segar kembali saat dia berangkat ke kafe nanti.

“Huft!” Puspita mengembuskan napasnya kasar. Seakan ingin membuang semua beban yang menumpu di atas pundaknya. Kini dia sudah bersiap untuk berangkat ke kafe setelah sekitar setengah jam dia beristirahat.

Sampai di halaman kafe, Puspita melihat sebuah mobil mewah berhenti di sana. Mobil itu sedang dikerumuni oleh pemuda-pemuda iseng yang biasa berkeliaran di sekitar lokasi kafe. Orang-orang sekitar tak ada yang berani mencegah perbuatan para pemuda itu, karena sudah pasti mereka pun akan terkena imbasnya. Sehingga pengemudi mobil mewah itu tak ada yang membantunya untuk mengusir mereka.

Awalnya Puspita pun tak mau peduli. Namun, rasa empatinya lebih besar mendorong dia untuk menolong pengemudi mobil itu.

“Woi! Berhenti! Jangan ganggu pemilik mobil itu!” teriak Puspita sambil mendekat.

Seketika para pemuda itu menoleh ke arah Puspita. Detik kemudian, mereka tertawa hampir bersamaan. Seakan meremehkan kedatangan Puspita yang seolah-olah menantang mereka sendirian.

“Hai, Perempuan. Ngapain kamu ke sini. Ini urusan laki-laki. Kamu nggak usah ikut-ikutan,” sahut seorang pemuda yang menggunakan anting di bagian telinga kirinya dengan gaya tengilnya.

“Sudah, sana pergi. Urusan kamu, ngangkang di atas kasur saja sana,” timpal salah seorang lagi yang disambut gelak tawa temannya.

Mendengar kata-kata yang tak pantas diucapkan dan didengar itu, Puspita seketika menatap tajam pemuda-pemuda itu. Dilihatnya satu per satu yang ternyata di antaranya adalah tetangganya.

Gadis itu yakin dan hafal betul dengan mereka. Sebab mereka pun sering nongkrong dan suka bermabuk-mabukan di sekitar area pemukimannya.

“Apa kamu bilang? Belum pernah kan kalian makan es kepalku?” ancam Puspita sambil menunjukan kepalan tangannya dan memasang kuda-kuda bersiap untuk melawan para pemuda itu.

Lagi-lagi mereka tertawa melihat tingkah Puspita yang bagaikan pendekar. Mereka tak peduli dan meremehkan ancaman itu.

Tanpa basa-basi lagi, Puspita menyerang keempat pemuda iseng itu dengan bekal bela diri seadanya dan sebuah kayu yang dia ambil saat melihat benda itu tergeletak begitu saja di halaman kafe.

Dengan keberaniannya, satu per satu dari mereka pun bisa dia lumpuhkan dan membuat mereka lari menjauh dari mobil mewah itu tanpa ada perlawanan lagi.

Melihat situasi sudah aman, Puspita pun memutar balik tubuhnya menuju kafe, tanpa mencari tahu keadaan pemilik mobi itu yang dianggapnya pengecut yang hanya bisa berlindung di dalam mobilnya dan tak berani menghadapi pemuda-pemuda iseng tadi.

Akan tetapi, ketika baru beberapa langkah ...,

Bersambung ...!

PUSPITA (Mencari Cinta Sejati)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang