Jadi Perempuan itu...

9 3 2
                                    

Sejak Sabtu kemarin aku semakin penasaran dengannya, perempuan yang selalu memakai jilbab merah muda, dengan gamis yang selalu sama berdiam diri di dermaga. Entahlah, perasaanku saja atau memang itu adalah favoritnya.

Sabtu pertama aku melihatnya pertama kali, tidak ada yang aneh. Biasa saja.

Sabtu ke dua dia menyapaku.

Sabtu ke tiga dia menawariku coklat panas.

Dan Sabtu ke empat ini, aku memberanikan diri mengajak dia berkenalan, lebih-lebih bisa bertandang ke rumahnya.

'hai' , 'siapa namamu' atau 'sedang apa kau di sini'. Berbagai macam kalimat pembuka sudah aku siapkan. Barangkali dia mau menjawab sapaanku.

Tapi, sebelum rencanaku terlaksana, dia sudah tidak ada ditempat. Padahal, besok adalah hari terakhir aku di sini.

***

Sepertinya hari ini takdir berpihak padaku, saat bibi mengajakku ke pasar, entah mengapa aku begitu bersemangat. Biasanya malas hanya membuatku selalu rebahan di kasur, meskipun tujuanku datang ke sini untuk liburan.

Dia, wanita itu ada di pasar.
Dengan jilbab merah muda dan gamis yang sama. Sedang menyesap coklat panasnya, lagi-lagi hanya sendiri. Ada apa dengan orang-orang, kenapa perempuan secantik dia dibiarkan sendirian. Tapi, biarlah. Toh dia juga menikmatinya. Dan, kesempatan untuk berkenalan dengannya sepertinya akan terkabul sekarang. Yes!!! Batinku bersorak.

"Bi, An mau ke sana sebentar," pamitku pada Bibi. Dia hanya mengangguk, sibuk dengan sayurannya.

Langkahku kian dekat, dan kini mata indahnya melihat kehadiranku.

Sebelum membuka percakapan, dia menawariku coklat panasnya. "Mau?" tanyanya singkat.
Aku hanya menggeleng.

"Siapa namamu?" aku mulai membuka percakapan.

"Ningsih," dia menjawab. Hatiku bersorak riang.
Sepertinya, setelah ini aku akan lebih sering berkunjung ke sini.

"Jangan katakan namamu, aku sudah tau. Namamu kentang goreng kan," dia menambahkan.

Aku sedikit bingung tapi juga tertawa.

Dia hanya mengedipkan matanya, lucu.

"Aku pergi," katanya kemudian. Selanjutnya berlari ke arah selatan. Dia terlihat begitu ketakutan.

Kenapa?
Apa yang terjadi?
Apa aku melakukan kesalahan?

Isi kepalaku riuh mempertanyakan. Dan jawabannya ada pada perempuan itu.

Kemudian Bibi datang.

"Di cari ternyata di sini, ayo balik," aku hanya mengangguk.

***
Di perjalanan pulang, lagi-lagi bertemu dengannya.
Di depan rumah pak Santoso, yang anaknya seorang perawat di puskesmas desa ini, kata Bibi.

"Dia Laila," ucap Bibi tiba-tiba.

Tapi bukannya dia Ningsih. Dia menipuku.

"Dia gila," ucapnya lagi, yang sukses membuatku menoleh padanya.

Jadi selama ini, aku menyukai perempuan gila?

"Dua tahun terakhir ini dia mendadak stres, sebelumnya dia adalah gadis yang ceria, pintar, cantik. Liat, meskipun dia gila, tapi auranya masih terpancar. Masih terlihat cantik."

Aku setuju dengan ucapan Bibi.

Dan ini terakhir aku melihatnya. Dia tersenyum padaku, setelahnya, mobil rumah sakit jiwa membawanya pergi.

-----
End.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ruang CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang