•••
Hari sudah petang. Warna jingga mulai mendominasi langit sore ini. Semua saudara Lia terkecuali Jeje belum ada yang pulang. Sedangkan di atas ranjang, gadis itu hanya termenung menikmati rasa bosan tanpa melakukan kegiatan lain. Hanya saja, semenjak kedatangan Daniel, dia sudah mulai sembuh. Keadaannya tidak separah tadi pagi. Walaupun begitu, Jeje tetap memanggil dokter ke rumah.
"Ada yang masih sakit?" tanya dokter itu. Namanya Pandi. Keluarga Lia sudah mengenal Dokter Pandi dari lama.
"Cuma pusing sedikit. Terus kalau digeleng-gelengin kaya ada yang ikut, berat," jawab Lia mengundang tawa kecil dari bibir Dokter Pandi.
"Tapi gak ada keluhan lain 'kan?"
"Gak ada."
"Seharusnya kemarin dibawa ke rumah sakit dulu," jelas Dokter sembari melirik Jeje yang berdiri tidak jauh dari ranjang Lia.
"Lia emang gitu, Dok. Keras kepala. Gak bakal pernah mau ke rumah sakit," cibir Jeje kesal.
"Pastiin makannya teratur, jangan biarin dia mikirin hal yang berat-berat. Nanti malem boleh dilepas perbannya."
Jeje mengangguk, tidak lupa mengucapkan terimakasih karena dokter Pandi sudah mau repot-repot datang ke rumah.
"Jangan lupa juga Minum obatnya, takut nanti demam lagi. Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati
Jangan sampai terbentur lagi, ya!"Giliran Lia yang mengangguk. Kali ini dia sudah menyesal, tidak akan melakukan hal konyol lahi.
"Kalau gitu saya pergi dulu."
Setelah kepergian Dokter Pandi, Jeje langsung membuang nafas kasar seraya menatap lelah adiknya.
"Mas bilang apa, jangan kebiasaan ngeremehin luka. Kamu, tuh kalau sakit gak pernah bilang. Pasti aja bilangnya gak papa-gak papa. Liat, kan sekarang akibatnya. Jangan karena udah ngerasa baikan kamu pecicilan. Kalau masih ngeyel Mas bilangin Abang."
Lia cemberut. Padahal dia hanya tidak ingin merepotkan saudaranya. Apalagi selama ini mereka sudah bersusah payah menjaga dia.
"Kenapa sama Lia?"
Lia dan Jeje serentak melihat ke arah pintu kamar. Di sana sudah ada Ajun yang menatap mereka dengan tatapan datar. Apalagi saat kakak pertamanya itu mendekat, Lia mulai ketakutan.
"Jadi Lia gak sekolah?" tanya Ajun menatap Jeje yang hanya diam.
"Jawab, Je!"
"Tadi pagi aku demam, Bang. Tapi sekarang udah baikan, kok."
Ajun langsung mengalihkan pandangan. Dia memegang dahi Lia yang masih terasa hangat. Terlebih warna bibir gadis itu terlihat pucat.
"Kenapa lo gak ngasih tau gue?"
"Gue takut ganggu kuliah lo, lagian Lia yang larang," jawab Jeje tanpa berani membalas tatapan Ajun.
"Terus kenapa panggil dokter ke rumah? Seharusnya langsung bawa ke rumah sakit." Ajun bisa tahu karena tadi mobilnya berpapasan dengan mobil Dokter Pandi yang baru keluar dari gerbang.
"Aku yang gak mau. Aku udah gak papa, Bang. Mas Jeje juga udah rawat aku dari pagi."
"Lo istirahat aja, Je. Gue mau ngomong dulu sama Lia."
Jeje menurut. Terlebih dia sudah merasa lelah daritadi. Apalagi tugas kuliahnya masih banyak, besok pun harus masuk pagi. Sedangkan Lia yang ditinggal berdua dengan Ajun mulai was-was. Biasa dipastikan dia akan diceramahi lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because, Only Brother's
JugendliteraturMenurut Lia, mempunyai saudara laki-laki itu rasanya nano-nano. Tidak tahu harus senang atau sedih. Apalagi sampai mempunyai empat sekaligus Namun, di sisi lain banyak orang yang bilang hidup dia itu beruntung, banyak juga yang mau berada di posisin...