Chapter 11

2.4K 127 32
                                    

Naruto melempar tatap tajam pada siapapun yang menghalangi jalannya. Ada banyak amarah perlu disalurkan. Terkhusus menghantamkan tinju pada Koharu dan Hamura. Wajah panas itu kelam. Rautnya menjanjikan kematian. Penghakiman terhadap siapa saja yang berani memnoreh luka pada lelaki Uchiha.

Serentak, semua kegiatan di tempat itu terhenti. Lantaran mendapati rupa Hokage teramat kacau dengan bercak darah di sana-sini. Beberapa mulai berbisik mencari tahu kiranya apa yang terjadi. Sebagian lain mencoba tidak peduli meski penasaran setengah mati. Satu per satu, dari mulut-mulut itu muncul bermacam spekulasi. Gerangan apa sampai Hokage bertandang ke tempat investigasi. Sadar tidak sadar, berpuluh rupa itu menampilkan satu ekspresi.

TAP.

Langkah Naruto tersendat. Seorang rekan dengan sangat berani menghadang. Lelaki pucat menjabat kaki tangan. Dengan tenang menatap tajam pada biner samudra.

"Sai?", suaranya dalam. Naruto memanggil dalam penekanan.

"Sudah kukira kaudatang ke sini."

Satu hembus nafas lolos dari sosok lelaki yang menghalang satu-satunya pintu di sana. Memboikot akses masuk untuk orang nomor satu Konoha. Sai memang tidak tahu apa jelasnya. Ia hanya ingat Naruto lari setelah Ino datang membawa berita tentang rencana tetua. Pun dirinya tidak ikut serta dalam pencarian Naruto terhadap kekasih hatinya. Guru Kakashi sudah memberinya perintah untuk mengamankan remua aktifitas ANBU di bawah pimpinan Koharu dan hamura.

Namun begitu, ada satu hal ganjal dalam perasaannya. Naruto bukan orang bodoh sepetri dulu Sai mengenalnya. Lelaki itu sudah bertransformasi menjadi lebih dewasa. Akan tetapi, mungkin juga ini hanya firasat. Jika memang sesuatu terjadi pada Uchiha, tidak menutup kemungkinan kalau-kalau Naruto kalap dan menghajar tetua. Oleh karena itu, setelah semua teratasi dan Ne sudah dibekuk bawahannya. Sai segera menuju tempat di mana para tetua berada. Benar saja, setelah bosan menunggu, akhirnya sosok itu datang berlumurkan darah. Serta penuh dengan amarah.

"Minggirlah. Jangan menghalangi jalanku."

Nah, kan? Lihat bagaimana iris biru itu menajam. Dirinya sampai harus merasakan gentar. Walau hanya sedikit, tetap saja seorang Sai tidak mungkin bisa memadamkan rasa marah pada pemimpin desa.

"Aku tidak berniat menghalangimu. Hanya saja, ada hal yang kupikir harus kukatakan padamu. Percuma! Apa yang akan kaulakukan nanti tidak akan mengubah fakta bahwa saat ini Sasuke tengah terbaring meregang nyawa. Kauhanya akan jadi seperti mereka jika melampiaskan amarahmu sekarang.", katanya –mencoba tenang. Yah, berdoa saja Naruto masih bisa diajak kompromi sekarang. bagaimanapun juga, sang kapten ANBU tidak mengharapkan keributan. Namun jika ia harus turun tangan demi mencegah Naruto berbuat onar, apa boleh buat, kan?

Makin membaralah ia. Binar matanya memicing, menantang. Seolah siap adu pedang jika Sai berani menghalangi jalannya. "Kautidak berhak mengaturku!"

Hela nafas si pria pucat mengudara. Untuk saat ini, ketenangan adalah lawan yang pantas bagi bara amarah dalam diri Hokagenya. Sai tahu, mendebat pun percuma. Hanya saja, sungguh, pantaskah seorang Naruto, ninja nomor satu itu tenggelam dalam murka. "Bukankah lebih baik, menunjukkan pada mereka bahwa Sasuke baik-baik saja. Kurasa itu teror yang pantas bagi para tetua."

.

.

.

"Jadi? Bagaimana keadaan kekasihmu, tuan Hokage?"

Adalah pertanyaan pertama yang Naruto dengar sesaat setelah ia menginjakkan kaki di tempat penahanan para tetua. Suaranya penuh akan sindiran. Seolah merasa menang atas apa yang telah terjadi pada kekasih hati orang pria di hadapannya. Tanpa perlu lagi dirinya melihat atau mendengar, Koharu dan Hamura sudah bisa menebak. Dari raut wajah lelaki itu, bahwa sang Uchiha kini hanya tinggal nama.

LUKA |EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang