Hari kedua puluh sejak Eren menghilang dan masih belum ada kabar. Mereka sudah mencari ke banyak tempat, setidaknya di wilayah tempat mereka menetap saat ini. Nihil. Pemegang Attack Titan itu tidak ditemukan di manapun.
Mikasa menutup mulutnya, menahan perutnya yang lagi-lagi bergolak. Tapi dia tetap menghabiskan kopi di depannya yang sudah mulai dingin. Rasanya pahit, hanya saja dia agak adiktif pada cairan itu. Salah satu tanda pola makan gadis itu rusak karena kepergian Eren.
"Aku akan cari udara segar," kata gadis itu pada Sasha sambil beranjak pergi. Dia mengambil mantel dan syalnya.
Mikasa berjalan sambil melamun, tahu-tahu sudah sampai di pelabuhan—tempat dia dan Eren pernah membeli es krim. Gadis itu menggeleng cepat, mencoba tidak memikirkan apapun yang berkaitan dengan pemuda itu.
Dia mengatur napasnya pelan-pelan dan mendekat ke tepi, mencengkram pembatas besi yang dingin. Lautnya terlihat tenang dan lengang, kabut sewarna mata Mikasa membatasi jarak pandang. Angin bertiup semilir, menyapu pipi dinginnya yang bersembunyi di balik syal.
Di mana dia sekarang? Pikirannya tidak mau mengabaikan Eren. Apa dia baik-baik saja? Ke mana dia pergi, apa yang sedang dia lakukan? Kenapa dia harus pergi? Tiap pemikiran hanya semakin membebaninya.
Seseorang tiba-tiba menarik ujung lengannya. "Nona?" Seorang bocah lelaki, dia memakai topi baret coklat dan mantel juga.
"Ya?" Mikasa memberikan perhatiannya.
Anak itu mengambil tangan Mikasa dan memaksa dia menerima setangkai mawar.
"Untukku?" Anak itu mengangguk dan langsung berlari. "Hei, tunggu!"
Tidak terkejar. Dia hilang di dalam kerumunan. Mikasa melihat ke bunga di tangannya. Mawar merah, sama seperti syalnya. Ada sesuatu digulung di tangkainya, selembar kertas berisi pesan.
—Belakang toko kue.
Begitu katanya.
Toko kue? Toko kue yang mana? Tidak, tunggu. Yang lebih penting, siapa yang mengirimnya? Apa ada musuh mengenalinya?
Mikasa celingukan, panik sesaat. Tapi tidak ada yang aneh. Jika itu musuh, mereka pasti akan langsung datang padanya.
Atau anak itu mungkin hanya menyobek halaman kertas secara acak. Itu lebih mencurigakan. Kenapa ada anak random yang tiba-tiba datang dan memberikan bunga?
'Tulisan tangan,' batin Mikasa saat meneliti lagi surat di tangannya. Tebal dan tertekan, kesannya terburu-buru.
Sebentar.
Gadis itu lagi-lagi celingukan, lalu memutuskan menghampiri seorang pria tua yang duduk di bangku sambil membaca koran.
"Permisi, Tuan." Pria itu menoleh pada panggilan Mikasa. "Maaf mengganggu, tapi apakah kau tahu di mana toko kue terdekat?"
"Di sana, Nona," dia menunjuk ke arah sebuah gang di belakang Mikasa, "ada di dalam sana. Kau akan tahu jika melihat bunga merah muda di depan pintunya."
Mikasa mengangguk hormat. "Terima kasih, Tuan. Semoga harimu menyenangkan!" Mikasa memisahkan diri sambil melambai pada si pria tua itu.
Bunga merah muda, katanya.
Mikasa harus menelusurinya agak dalam. Saat mengira dirinya tersesat, gadis itu dengan beruntung menemukan toko kue yang dimaksud. 'Di belakang toko kue'. Jadi bukannya mampir, Mikasa masuk ke gang di sebelah toko. Mulai gelap, bangunan-bangunan di sana menutupi cahaya untuk gang sempit ini.
"Hmph!" Sepasang tangan membungkam Mikasa. Tubuhnya berontak.
"Ini aku, Mikasa," ucap suara dalam itu. "Ikut ke sini." Pria itu menyeretnya ke gang yang lebih gelap dan sempit. Mikasa tidak lagi melawan, dia tahu siapa itu.
"Eren." Jadi itu benar tulisan tangannya, Mikasa sama sekali tidak salah mengira.
"Mikasa." Dia balik memanggil.
Saling menatap, netra abu dan zamrud itu setelah dua puluh hari penuh terpisah. Saling meneliti penampilan mereka, sama-sama sadar ada yang berubah.
"Mikasa," panggilnya lagi. "Kau jadi kurus, apa kau tidak makan dengan benar?"
"Kau sendiri?" Gadis itu balik bertanya. Mikasa tidak akan mengatakannya, tapi memang penampilan Eren sedikit berantakan. Setelannya sudah berganti, hanya saja terlihat tua. Rambutnya meski sedikit, terlihat lebih panjang dari sebelumnya. Kumis yang sangat tipis mulai memperjelas diri.
"Kenapa kau pergi?" sewot Mikasa. "Tidak mengatakan apapun, membuat orang-orang kebingungan. Komandan Hange sangat khawatir, kau tahu?"
"Dan kau? Tidak khawatir?"
Bibir Mikasa terkatup. Bisa-bisanya dia bertanya seperti itu. "Kau masih bertanya?"
Ini tidak benar. Mereka sudah tidak bertemu cukup lama, tapi malah berdebat.
"Pulang," kata Mikasa sambil menunduk dalam. "Ayo pulang."
Dia masih tertunduk. Tanpa melihat pun Eren tahu mata gadis itu berkaca-kaca. Air matanya akan tumpah jika dia menyerangnya sekali lagi.
Tangan Eren terulur sebentar, tapi dia menariknya kembali dan tersenyum pahit. "Aku harus menyelesaikan sesuatu," mulainya. "Ada yang harus aku lakukan, dan ini bisa kacau kalau kalian terlibat."
Mikasa langsung mendongak. "Tapi kita s—"
"Pergilah." Dia berpaling. "Kau harus tetap bersama yang lain. Aku akan membutuhkan kalian, tapi tidak sekarang. Aku harus pergi dulu untuk memastikan." Eren maju melangkahi Mikasa, dan menepuk bahunya. "Kau juga harus menjaga dirimu, jaga pola makanmu."
Dan kemudian sentuhan itu hilang, disusul gema langkah kakinya yang semakin samar.
"Hmm." Air mata jatuh setetes. Dia langsung menghapusnya.
Dia tidak boleh lemah, harus kuat. Dia tidak boleh egois.
Setidaknya, mengetahui Eren baik-baik saja sudah cukup bagi Mikasa. Untuk sekarang.
Ah, harusnya ia susul saja dia saat itu.
»◇◆◇«
Solivagant (adj.): wandering alone.
No cafuné 🙅🏻♀️ Lihat judulnya saya coret?Dan untuk yang merasa di-prank, saya minta maaf. 'Kan saya nulis di hp jadi kepencet. Hehe~
Kepala saya pusing sepanjang siang kemarin, dan saya juga tidur lebih awal.
Mungkin saya salah nulisnya dari cerita ini mulai di mana ya. Harusnya mulai dari Eren, mungkin? Dia yang pergi sendirian. Tapi tadi tanggung setengah jalan(๑•﹏•) Hmmm, kalau nemu alternatif lain mungkin judulnya akan saya ubah saja. Ini mungkin?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafuné
FanfictionAn EreMika fanfiction by me to celebrate #eremikaday Cafuné (n.): Running your fingers through the hair of someone you love. You are free to read. Tetapi bagi anime only, ini (mungkin) berisi spoiler. . . . All characters belong to Isayama Hajime