Judul: Papan
Tema: Rumah Kosong
Genre: Komedi
Penulis: CandleMitsDebaman cukup kencang terdengar saat Adji terjatuh karena kehilangan pijakan. Ia mengaduh sambil mengusap tangan kanan yang terlebih dahulu mencium tanah. Matanya memicing, menatap batas tembok yang beberapa saat menjadi tempatnya berdiri.
"Gila, tinggi juga. Untung bawahnya bukan jurang," ucap Adji setelah ia duduk.
Hari sudah cukup sore, cahaya di halaman luas yang menjadi tempatnya duduk mulai sedikit remang, tak ada penerangan apa pun di sekitarnya. Adji lantas berdiri dan mulai menyusuri tempat itu.
Tangannya mencoba memasangkan earphone wireless yang sengaja ia bawa dan mengkoneksikan benda itu pada ponselnya. Adji segera menghubungi seseorang.
"Gue udah masuk, nih. Nanti bayar, ya, gue cedera," ucapnya.
"Alah, belum juga ke dalem," jawab seseorang yang Adji hubungi. "Gue di lantai dua."
Tanaman bunga yang telah layu menambah unsur seram bagi Adji, ditambah dengan dedaunan kering yang tidak pernah disapu untuk sekedar ditumpuk di sudut tembok. Ia mulai merutuki idenya sendiri untuk melakukan hal ini.
"Bener-bener … halamannya bisa dibangun lapangan basket, voli, badminton sama tempat karambol."
Langkahnya terhenti saat ia sampai di teras rumah itu, Adji menatap pintu yang sepertinya disentil saja akan langsung jatuh.
"Asem, tau gini gue makan bakwan anget aja sambil nonton film Salman Khan."
"Mirip ibu-ibu."
Ia memberanikan diri untuk masuk dengan cara mendorong pintunya terlebih dahulu.
Sulit, pikir Adji. Ia telah meremehkan pintu rumah itu tadi.
Setelah dorongan ketiga, Adji berhasil membuka pintu tersebut dan segera berlari menuju tengah ruangan hingga langkah kakinya menimbulkan gema.
"Seperti mati lampu, ya, Sayang …."
"Jangan nyanyi, Panjul!"
Adji terkekeh, ia berjalan menuju tangga secara perlahan. Matanya hampir tidak bisa melihat apa pun mengingat di luar sudah gelap, ia akhirnya mengandalkan flash dari ponselnya.
"Eh, copot!"
Adji mundur perlahan saat melihat ada bangkai tikus di anak tangga pertama.
"Ojan, lu yakin di atas?"
"Iya, emang kenapa?"
"Gak ada niatan buat bersihin rumah ini dulu gitu?"
"Malih, lu kira gue OB? Cepet, ah! Gue udah siapin papan sama pensil."
"Dih, jangan nekat."
Kembali melangkah, Adji mencoba mengesampingkan hal-hal negatif di otaknya.
Lagian baru lima tahun ditinggal, batinnya. Adji berhenti sejenak saat merasa ada sesuatu yang melintas di sampingnya.
Adji kembali mencoba berpikir normal.
Paling kelelawar, batinnya lagi.
"Ngomong-ngomong, Jan. Yang punya rumah bayar PBB gak?"
"Huh? Perserikatan bangsa-bangsa? Ngapain bayar organisasi dunia? Emang punya mereka?"
"Ih, bukan … itu …," Adji menjeda perkataannya setelah sampai di lantai dua.
"Apa?"
"Pajak bumi bangunan," jawab Adji.
"Teu nyaho! Lagian, buat apa, sih, nanya gitu?"
"Gak apa-apa cuma pengen tau. By the way, lu di mana?"
"Pintu ijo, sebelah kiri dari tangga."
Adji mengikuti arahan kawannya. "Lu gak ngelakuin hal aneh, kan?"
Semilir angin dingin menggelitik bulu-bulu pahanya hingga Adji sedikit gemetar.
"Ojan, balik, yuk, ah!" ajak Adji yang sekarang memilih diam mematung. "Serius, gue pengen be'ol!"
Terdengar helaan napas dari panggilan itu. "Koko Ji, gue udah jauh-jauh COD papannya dan elu seenaknya mau balik? Gue sumpahnya ada kepala melayang sama pisau terbang ngikutin elu."
Panik, ia mengarahkan kembali flash ponselnya ke penjuru arah. "Duh, aduh … jangan nyumpahin gitu dong, Mon--Fau …."
"Hm?"
Adji terdiam, ia mengarahkan alat penerangan itu ke arah jendela. "Tadi kayaknya gue liat sesuatu di luar."
"Apa?"
"Gak tau, sekelebat, di jendela," ucapnya. Ia berjongkok. "Mending lu jemput gue deh."
"Duh, apa sih, Ji? Gue gak bisa pergi, nanti kalo pensilnya tiba-tiba ilang, gimana? Berabe!"
"Ya mana mungkin ilang?"
"Bisa aja diambil sama tuyul, kan?"
"Astaga, Fau! Cepet sini! Aduh …." Adji meremat perutnya yang tiba-tiba bergejolak tak karuan.
"FAU! KASIH TAU GUE TOILETNYA DI MANA, TAKUT CEPIRIT!"
Tak ada jawaban.
"Fau?"
Tiba-tiba hening.
Adji melihat layar ponselnya. "Jaringan aman, masih terkoneksi juga … Fauzan!"
Ia kembali berdiri dan memberanikan diri untuk berjalan menuju tempat yang Fauzan beritahukan sebelumnya. Adji mencoba memikirkan sesuatu yang menurutnya tidak menyeramkan.
"Lingsir wengi pernah ada versi rem--astaga, Adji!" serunya, "bego … astaga bego, mampus nanti kalo terngiang," lanjutnya.
"Fauzan, jawab …."
"Koko Ji …."
"Iya?"
"Gue gak sengaja …."
"Kenapa?"
"Iseng coba papannya …."
Terdengar suara jatuhan sebuah benda, cukup nyaring hingga membuat Adji merasa jantungnya pindah ke sisi lambung.
"Ke-kenapa?"
"Gak beres, Ji … gak! Adji! Aduh … Adji! Pensilnya jatoh!"
"Bentar, lu coba papan, kenapa tiba-tiba pensil--"
"Adji gawat, udah gak beres!"
Suara kursi terdorong menambah kadar kepanikan pada Adji, ia mundur perlahan, padahal hanya sekitar dua meter lagi menuju pintu yang ia tuju.
Debaman terdengar dari dalam sana, Adji makin ciut. Suara beberapa benda jatuh juga membuatnya semakin gemetar.
"Ji … tolong gue …."
Suara temannya membuat bulu kuduk Adji meremang hingga ia mengambil langkah seribu untuk keluar dari sana.
"SORRY, FAU! GAK! GUE OGAH MAIN OUIJA!"
Fauzan segera bangkit dari bawah meja setelah mendapat beberapa poin catur dan juga pensil yang jatuh. Ia menghela napas setelah mendengar suara Adji yang terdengar sangat kencang, dari luar serta dari earphone wireless-nya.
Ia menekan tombol merah di layar ponselnya. "Kalo gitu, duit gocapnya buat gue, dong."
Fauzan memilih membereskan papan catur yang ia bawa agar bisa segera keluar dari rumah kosong itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Tugas Member BA
De TodoIni adalah kumpulan tugas yang diberikan dengan tujuan menyeleksi kesungguhan member. Dari hasil penyaringan ternyata hanya ini yang lolos.