Lima Puluh

49 15 3
                                    

50.

"DEARNI!"

Gianita berteriak kencang di lorong koridor kelas sebelas. Kedua tangannya merentang dengan kaki berjingkrak-jingkrak senang. Sedikit memalukan sebenarnya karena sebagian atensi terarah oada mereka. Saat Dearni telah sampai di depan kelas, Gianita langsung menghambur ke dalam pelukan Dearni.

"Aaa.... Kangen..."

"Sakit apa si lo?!" tanya Gianita.

"Ha?!"

Mendengar pertanyaan dari Gianita. Dearni menautkan kedua alisnya. 

'Pasti Disnika yang bilang gua sakit.'

***


Hati Dearni mencelos mendengar ucapan Davindra. Ia sangat terkejut. Davindra masih saja tersenyum melihat Dearni. Dengan kedua tangan mengusap punggung tangan Dearni.

"Dearni?"

"Eh apa, Kak?"

Ucapan yang terdengar bodoh itu Dearni ucapkan. Dearni mengigit bibir bawahnya. Malu bukan main rasanya. Dan sepertinya wajah Dearni sudah seperti Cepot kalau kata Sambara—merah menyala. Davindra tersenyum.

Bodoh banget gua!

Dearni menyeka keringat dengan tissu yang tersedia. Udara saat itu rasanya terasa makin panas. Apalagi Dearni saat itu baru saja selesai makan bakso dengan tiga sendok sambal. Sementara itu, Davindra masih tersenyum menatap Dearni menunggu jawaban dari gadis itu.

"Lo, mau gak jadi pacar gua?" ulang Davindra menatap Dearni dalam.

Dearni melepaskan tangan Davindra yang sekarang sedang mengengam tangannya. Davindra mengangkat sebelah alis melihat Dearni yang terdiam. Davindra pun mengulangi ucapan untuk yang ketiga kali.

"Lo, mau gak jadi pacar gua?"

Dearni mengigit bibir bawahnya udara di sekitarnya terasa berhenti saat Davindra kembali mengulangi kalimat itu.

"Jangan bercanda kak, hehe..."

Davindra menarik napas sejenak. Tangannya kembali meraih tangan Dearni. Davindra menatap Dearni lekat. Mereka saling bertatapan pandang, namun buru-buru Dearni menundukkan mata. Jantungnya tidak kuat jika harus menatap senyuman Davindra yang terasa sangat masih. Dearni rasanya ingin meleleh.

"Gua serius. Gak bercanda apalagi bohong sama lo," kata Davindra dengan wajah serius. Dearni tidak merasakan adanya aura kepalsuan dari Davindra.

"Dear. Jadi gimana? Lo mau dipacar gua?" tanya Davindra penuh harap.

Dearni menerima Davindra. Ia hanya menganggukkan kepala. Terasa sulit untuk berkata-kata, tenggorokan terasa tersekat. Ia terlalu terkejut dengan pernyataan cinta dari Davindra. Kebahagiaan terpancar di wajah Davindra, ia tersenyum semringah. Mengenggam kedua tangan Dearni di atas meja. Posisi duduk mereka saling berhadapan membuat Davindra bisa melihat jelas raut wajah Dearni.

"Lo beneran mau jadi pacar gua?" tanya Davindra kembali. Karena ia masih tak percaya.

"Iya, kak. Aku mau," kata Dearni yang terlihat malu-malu. Rona pipinya sekarang tampak memerah. Davindra tertawa melihat wajah lucu Dearni. Dengan pelan ia mencubit pipi kanan Dearni.

"Gemes banget sih!"

Setelah selesai makan Davindra membayar makanan yang telah mereka makan. Dearni ingin ikut membayar, tapi Davindra menolak mentah-mentah. Dengan dalih 'kan gua yang ngajak lo, udah gua aja yang bayar.'

Usai membayar Davindra bergegas mengajak Dearni 'tuk pulang.

***


"Apa?! Lo sama Mahera saudaraan?!" pekik Hafi tak percaya.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang