27 •• Pencarian ••

11 8 1
                                    

Pria berambut perak itu melangkah dengan lunglai keluar dari kastil tempatnya tinggal. Hari sudah semakin gelap ketika ia melangkah pergi. Sudah beberapa bulan lamanya dia mencari tabib yang bisa menyembuhkan penyakitnya. Namun hingga kini, setitik pun hasil yang diinginkannya sama sekali tak tampak.

Saat kedua kakinya tiba di depan bangunan lapak tempat tabib itu biasa bertugas, bunga mawar yang sebelumnya hanya memenuhi jendela kini sudah penuh hingga berserakan di lantai. Ia memegangi dada kirinya yang terasa begitu sakit. Dan kemudian tubuhnya terduduk lemas.

Nafasnya yang sebelumnya tenang, kini terdengar keras. Bahunya pun naik turun begitu jelas menandakan betapa tersiksanya dia saat ini.

"Minumlah... Ini hanya air putih biasa."

Mendongak. Memperhatikan seorang wanita tua yang memeluk buket bunga mawar merah. Mengulurkan padanya sebotol air.

Menerima botol itu, ia segera menegak habis air yang diterimanya. Berusaha melegakan tubuhnya yang terasa begitu sakit. Sesaat, ia terbatuk. Namun kemudian ia merasakan sedikit lega.

"Kau masih sering kemari, ya? Pasti sulit untukmu berjalan sendiri sampai disini." Wanita itu menerima botol yang sudah habis dari Philips. Menyimpannya di kantung pakaian.

"Daripada itu... Kenapa tabib itu sampai sekarang belum juga kembali?! Apa dia mati?!" Nada suaranya meninggi setelah menahan sakit di dadanya. Rasa nyeri dan menusuk begitu terasa di tubuhnya.

"Kau bisa tanyakan itu pada kelompoknya. Sepertinya pekan depan mereka datang. Tanyakan saja obat untuk keluhanmu." Wanita itu menjelaskan dengan senyuman.

Keningnya berkerut. Memperhatikan buket bunga yang tampaknya begitu bagus disusun. Kelihatannya itu sama sekali bukan bunga yang akan dia letakkan di depan bangunan lapak.

"Kau akan menaruh rangkaian bunga sebagus itu di lapak?" Keningnya berkerut.

Wanita tua itu tertawa kecil. Lalu menggeleng. "Aku ingin memberikan ini pada cucuku... Mungkin dia kesepian sekarang. Kau ingin mengunjunginya bersamaku?"

***

Seharusnya, Philips bertanya lebih dulu tentang dimana cucu wanita tua itu tinggal. Jadi, dia tidak akan setakut ini saat menyadari di pemakaman lah cucunya terbaring.

Aroma tanah basah dan juga wewangian bunga yang menyengat begitu menusuk penciumannya. Langkah kakinya masih terus menuju ke lokasi yang ditunjukkan oleh wanita itu.

Dan berhenti tepat di depan makam yang berada jauh di ujung pemakaman. Tangannya yang membawa obor menyorot ke tanah makam tempat dimana wanita tua itu meletakkan bunganya. Tanah makam yang berukuran kecil. Mungkin cucu wanita itu meninggal saat masih berusia muda.

"Cucuku ini... Dulu merantau untuk berjualan bunga hasil tanaman kami... Tapi kemudian dia mendengar istana sedang membuka lowongan pekerjaan ahli tanaman. Jadi dia ikut mendaftar dan lolos." Wanita itu tersenyum melihat batu nisan di hadapannya.

"Istana?"

Berjongkok. Philips kemudian mengulurkan obor di tangannya ke arah batu nisan. Membantunya melihat ukiran nama di batu nisan itu.

Atashia Velove Hallington.

Kedua matanya membulat sempurna.

"Beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar jika dia melanggar satu peraturan berat di sana. Hingga raja menghukumnya dengan penggal." Wanita itu tersenyum tipis. "Tapi... Kenapa ya? Yang dipulangkan hanya potongan kepalanya saja? Dimana tubuhnya?"

My Empress | CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang