Episode 7

816 57 14
                                    

Sang ayah duduk di hadapan anak laki-lakinya. Melihatnya dengan mata mengidentifikasi. Dia menatap wajah anaknya datar, tak kalah datar juga dengan anak berambut pirang itu. Sesekali sang ibu, Uzumaki Hinata mencairkan suasana yang tegang di antara ayah dan anak.

"Ada apa denganmu dan Tsubaki? Katanya, kau selalu membuat dia menangis," ucap ayahnya–Uzumaki Naruto.

"Tch, gadis pengadu itu ..." Boruto mengepalkan tangannya gusar. Ia berdecih beberapa kali mendengar nama Tsubaki.

"Kau tahu bahwa dia adalah tunanganmu. Kenapa kau tidak bersikap baik di depannya? Kau mau persahabatan antar kota yang sudah terjalin sejak lama ini hancur begitu saja karena kecerobohanmu? Dia anaknya teman ayah. Dia menitipkan anaknya kepada ayah untuk bersekolah di sini karena mengikutimu. Kenapa kau tidak bisa mengerti juga, Boruto." Naruto menghela nafas dengan kelakuan anak laki-lakinya.

Boruto menyentakkan kaki. "Perlu ketahui satu hal ... Aku sangat-sangat tidak peduli tentang pertunangan ini!" Setengah mengatakan itu, Boruto berlalu pergi meninggalkan Naruto yang masih terduduk bersama Hinata.

"Maafkan Boruto, Naruto-kun. Aku akan menasehatinya." Naruto mengangguk sembari tersenyum kepada istrinya.

"Tidak apa-apa, Hinata. Dia belum cukup dewasa. Di pikirannya hanya tau bermain-main saja saat ini. Ya ... masa-masa remaja sepertinya pasti susah untuk menerima pertunangan politik." Berselangnya kepergian Naruto dan Hinata dari Rumah karena ada urusan mendadak, Boruto kembali lagi mendatangi tempat mereka mengobrol.

Boruto ditemani oleh Himawari—adik perempuannya yang sekarang berusia 13 tahun di ruang tamu. Himawari memerhatikan Boruto yang sedang bermain game dihandphone dengan tangan yang ditekuk-tekuk. Himawari melihat bosan ke Boruto, dari tadi kakaknya itu tidak mengajaknya berbicara karena fokus bermain game.

"Kakak!" teriak Himawari keras, membuat Boruto yang mendengarnya mengorek telinga.

"Kenapa sih, Hima? Telinga kakak sampai sakit karena teriakanmu itu," gerutu Boruto kepada Himawari.

"Kakak, sih. Aku bosan melihat kakak. Ayo kita jalan-jalan ke luar! Ajak kak Inojin juga!" seru Himawari dengan mata menyala-nyala.

Boruto mengangkat sudut bibirnya, bukan tersenyum miring atau apa, mukanya malah jadi mirip sebuah meme yang hendak berkata 'what?'.

"Ayo kakak! Kakak boleh mengajak yang lain, tapi jangan ada kak Tsubaki ya. Aku nggak suka kalo ada dia. Lebih baik ajak kak Su-..." Boruto memandang Himawari dengan mata melotot. Mengingatkan untuk tidak menyebut kata selanjutnya.

Himawari yang mendapati perubahan kakaknya menjadi diam. Hampir ia melupakan bahwa 'dia' adalah orang yang telah kakaknya lupakan. Dan dirinya dengan tidak sengaja malah mau menyebutkan nama yang sudah menghilang di pikiran seorang Uzumaki Boruto.

"Maaf kakak. Aku lupa." Himawari menundukkan kepalanya, ia takut dimarahi oleh Boruto.

"Aku maafkan. Lain kali jangan ulangi lagi. Anggap saja percakapan itu sudah berlalu. Ah, janganlah menunduk seperti itu. Kepalamu nanti sakit, Himawari." Suara hangat Boruto terdengar olehnya, lantas ia menaikkan kepala lalu tersenyum manis ke arah kakak sedarahnya itu.

"Ya! Jadi ayo kita jalan-jalan!" Himawari mengepalkan tangannya ke atas. Masih kukuh ingin mengajak bepergian.

"Baiklah adikku yang cantik ..." Boruto mengaitkan lengannya ke leher sang adik. Memeluknya erat sembari mengecup pucuk kepalanya.

Himawari membalas perlakuan Boruto sambil tersenyum sampai matanya menyipit. Menyukai saat-saat yang menyenangkan bersama kakaknya. Himawari berkata dalam hati. Andai saja kak Sumire bisa bersama-sama dengan kami seperti dulu. Aku merindukannya.

Maybe I Love You [BoruSara]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang