The Kings I Love

2.1K 421 60
                                    

DUA hari pulang kampung, aku masih belum buka mulut pada Papa tentang alasan berhenti bekerja. Sebetulnya ada banyak kesempatan bicara. Hanya aja, sedari awal Papa nggak memperlihatkan kegusaran seperti yang diceritakan Mama. Jadi ... untuk apa memulainya? Kuanggap Kunyit sudah membuat Papa lupa.

Sore ketiga, aku dan Papa duduk di teras depan. Aku dengan mangkok makanan Kunyit yang telah kosong (agaknya masakan Oma lebih cocok). Papa dengan tangan kosong. Dengan kalimat lain, Mama akan mencekiknya kalau berani merokok di sekitar Kunyit. Sikap Mama ini termasuk kejanggalan yang timbul setelah punya cucu. Soalnya, kan, sejak aku mampu mengingat, Mama nggak peduli tuh Papa ngepas-ngepus asap rokok di mana aja, termasuk ketika menggendongku.

Beberapa meter di depan kami, Kunyit tengah memegangi satu per satu bunga di dalam pot. Dulu, teras ini selalu hanya berisi dua kursi, satu meja, dan berkarung-karung buah kopi. Setelah Mama merasa terlalu lelah untuk menerima pesanan kue, Mama berhenti dan mulai mengisi waktu dengan makin banyak menanam ini dan itu. Jadilah halaman ini berwarna-warni bagai pemakaman berlabur kembang setaman.

"Mengapa kau berhenti kerja, Dek?"

Finally, the question came out.

Nggak ada yang perlu kusembunyikan. Kukatakan semua masalah yang terjadi di rumah dan kantor apa adanya. Setelah aku diam tanda selesai, Papa hanya mengangguk-angguk kecil.

"Mama bilang, Papa gelisah Adek berhenti," pancingku.

"Tadinya saya khawatir kau dipecat karena melakukan kesalahan. Korupsi, misalnya."

Oooh, my fatheeer. "Kenapa pula Papa berpikir sampai ke situ?"

"Apa lagi yang bisa saya pikirkan kalau orang yang biasanya bekerja sampai lupa waktu, lupa suami, lupa anak, tahu-tahu berhenti? Yang bisa menghentikannya cuma kejahatannya sendiri."

Well, logis bin sadis.

"Kautengok di televisi," lanjut papa. "Kasus e-KTP ada di Indonesia, tapi yang bunuh diri ada di Amerika. Dari situ pun saya berpikir, apa ada campur tangan luar negeri dalam maraknya pencurian di negara ini? Kau sering bolak-balik ke luar negeri sama si Kawahara. Ada juga kekhawatiran saya, jangan-jangan kau terlibat konspirasi internasional semodel itu."

Papa membuatku terpingkal-pingkal. "Nggak mungkin gitu juga kali, Pa."

"Hanya dua yang tidak berbatas, impian dan kebodohan. Kalau punya mimpi, pintar, maka segalanya mungkin. Bedanya cuma pada niat; demi kejahatan atau kebaikan."

Benar juga ....

"Memang Adek menghitung uang perusahaan sampai 12 angka di belakang koma," kataku. "Tapi Adek nggak pernah lihat wujudnya karena perusahaan zaman sekarang nggak nyimpan uang dalam kaleng Khong Guan. Adanya di bank, perputarannya online. Kalau memang Adek korupsi, Adek sudah punya lima rumah di Pondok Indah. Satu buat sendiri, satu buat Papa, satu buat Allea, satu buat pelihara kucing, satu lagi buat iseng aja. Adek juga kirim uang banyak-banyak biar Papa ke kebun pakai jas dan cincin yang lebih bagus dari Hotman Paris."

Papa tersenyum, nggak lebar, cuma seiris kayak orang anyang-anyangan. Lalu papa melempar tatapannya ke Kunyit dan diam.

Melihat itu, hatiku tercelus. Papa nggak pernah tahu, salah satu alasan kegilaanku bekerja adalah usaha untuk menjadi anak perempuan seperti yang diinginkannya. Pernah dulu, aku tiba suatu siang di rumah ini dengan hati sepatah-patahnya akibat ditinggal pergi lelaki yang kucintai karena aku lebih memilih komitmen pada pacarku. Malamnya, Mama dan papa duduk berdampingan di sofa sambil menonton televisi. Aku bergelung seperti keluwing di samping kaki Papa, menutup mata, menahan kesedihan yang tak terbagi pada siapapun.

Medium Rare Mom [Elex Media]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang