. ࣪✯ཻ𖦆🎸᭝3

25 11 1
                                    

Sisi kelas lengang, sejak kedatangan Orion, Hima tak lagi bisa hidup dengan tenang. Padahal baginya, sudah cukup mengurus Kira untuk tetap tenang, kini ia harus menjauh dari Orion, meskipun sulit. Setiap jam istirahat, Orion selalu ada di depan pintu kelasnya.

"Ini sudah hari ketiga, Hima. Lu beneran ga ada buat salah sama kak Orion, 'kan?" Kira sekali lagi bertanya, memastikan jika sahabatnya tidak diganggu.

Himalaya menggeleng kuat. "Nggak, Kir. Serius!"

Kira menghela napas kasar, ia merapikan anak rambutnya, dan beralih ke pintu kelas. "Kak, kenapa kakak ke sini terus?" Kira melontarkan kalimat itu tanpa basa basi.

Orion terdiam kaku. Di sebelahnya. Arga sudah menghela napas menyerah. "Kami mau ketemu Himalaya."

"Teman saya nggak ada ganggu kakak-kakak, 'kan?"

"Lu ikut juga dah, biar lu dengerin sekalian apa yang mau kita bahas." Arga menambahkan kalimatnya.

Kira menimbang kalimat itu, tidak ada salahnya untuk mendengarkan apa maksud para kakak kelas tersebut. Kira kembali ke hadapan Hima. "Hima, dengerin aja dulu, ya? Gua ikut sama lu, tenang aja."

Hima sejujurnya ingin menolak karena sudah tahu pasti apa yang akan dibahas oleh seniornya. Tapi Hima tidak enak dengan Kira, dan memutuskan meng-iyakan apa yang dibilang sahabatnya itu. Ia dan Kira keluar dari kelas dan mengikuti Orion dan Arga ke kantin.

Di atas meja mereka kini sudah ada minuman manis yang siap dihisap. "Penyogokan." Hima mengeluarkan suara.

Lagi-lagi Orion hanya cengengesan.

"Saya sudah bilang, 'kan? Saya tidak mau, kenapa kalian begitu memaksa saya?"

"Memaksa apa, Ma?" Hima menoleh ke arah Kira, ia tidak berniat menjawabnya.

"Sebenarnya, kami juga tidak ingin memaksa, dek. Tapi, kita kangen sama Neron, kagak ada yang tau di mana dia. Jadi cuma dengan lu-"

"Kakak saya, dia memang senang bermusik, tapi bukan berarti saya juga begitu. Melakukannya tanpa kakak saya rasanya percuma. Saya tidak memiliki niat apa-apa."

Diam sejenak. Suasanya sedikit canggung, terlebih Kira tidak paham situasinya. Ia ingin bertanya tapi takut itu terdengar mengganggu Hima. Ia takut salah.

"Hima, hari itu-"

"Hari itu, andai saja kakak saya tidak berkumpul dengan kalian dan mendengarkan apa kata ibu, lukanya pasti tidak akan separah itu. Memangnya kalian punya hati?"

"Kalau gitu, gua janji ama lu. Saat Neron bangun, gua akan melakukan apa aja, bahkan jika nyawa taruhannya."

Hima menatap kedua orang seniornya itu kecut. Kesal, tentu saja. Membahas nyawa semudah itu. "Kenapa kenapa kamu menyatakan taruhan nyawa semudah itu? Di rumah sakit, kakak saya sedang berjuang supaya nyawanya tak hilang! Tapi kamu-! Kamu menyatakannya seolah-olah kamu memiliki nyawa sembilan layaknya kucing! Bajingan!"

***

Hima tidak menyangka mulutnya akan mengeluarkan kata kasar seperti itu. Ia berulang kali memarahi dirinya sendiri di depan cermin, dan berakhir dengan wajah yang dipenuhi warna merah.

Hima menarik kursi, dan duduk di sebelah kakaknya. Hima masih terus menunggu untuk kakaknya. Lima bulan bukanlah waktu sebentar, tapi ia berhasil melaluinya dengan baik, bertahan dengan sendirinya.

"Kenapa kakak senang sekali sih berteman dengan mereka? Apa kakak tidak merasa tertekan saat mereka meminta seperti itu? Baru beberapa hari belakangan ini saja rasanya sudah sangat menjengkelkan."

Himalaya And The Broken Band [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang