"Dewa ada dimana-mana Shin, mereka memperhatikan semua yang kita lakukan. Jika kamu baik, Dewa juga akan baik padamu"
****
Suara ambulans memecah keramaian di sore hari, bergerak dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di tempat tujuan.
Nafasnya sedari tadi tersenggal dengan keringat yang terus membasahi keningnya, masker oksigen di mulutnya seolah tak berguna untuk tetap mengatur paru-parunya.
Rasa panas di sekujur tubuhnya pun terasa sangat menyengat dan juga menyekik dirinya, seolah tak membiarkannya bernafas lega.
"Shin.. bertahan lah. Kita akan sampai"
Bola matanya bergerak dengan lambat, di sebelahnya yang kini tengah berbaring terlihat wajah khawatir sang nenek yang terus menggenggam tangannya.
Wajahnya basah akan air mata yang terus membanjiri matanya karena melihat kondisi cucunya yang terbaring tak berdaya di atas bangkar ambulans.
Bola matanya kembali bergerak, kali ini mengintip ke arah jendela mobil yang bergoyang karena pergerakan. Sesekali sinar matahari sore akan menerpa tubuhnya, membuat sensasi terbakar kembali ia rasakan.
Dirinya masih berusaha mengatur nafasnya, sekuat yang ia bisa dan selama yang ia bisa. Ia harus tetap tersadar dalam perjalanan menuju rumah sakit yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahnya.
Telinganya mulai berdengung, suara-suara di sekitarnya mulai menghilang dan rasa sakit di kepalanya kembali menyerang. Penglihatannya pun perlahan-lahan mulai kabur dan juga terasa berat.
Rasa terbakar tadi masih menyertainya dirinya membuatnya seolah terpanggang akan rasa sakitnya sendiri.
Perlahan kelopak matanya tertutup, menghilangkan bola mata dengan warna cokelat keemasan itu dari pandangan orang lain untuk sementara.
****
"Ya, Kita Shinsuke. Dimana kamarnya?"
"Baik, lorong Sakura lantai 3 nomor 101"
"Terima kasih banyak"
Langkah kakinya ia bawa menjauhi lobby rumah sakit, genggamannya pada sebuket bunga tak sedikitpun ia lepas.
Berjalan santai menuju lift yang kebetulan berada di sebelah lobby dan memencet tombolnya.
Tak seberapa lama lift pun sampai dan dengan begitu beberapa orang yang menaikinya pun keluar. Pemuda itu masuk sendiri dan dengan segera menekan nomor lantai 3 dimana kamar Kita Shinsuke berada.
Suara lift yang telah sampai di lantai tujuan menyadarkan pemuda itu, ia segera keluar dan bergantian dengan orang lain yang hendak menggunakan lift. Langkah kakinya ia bawa menuju kamar dengan nomor yang seperti Jersey keduanya, 101.
Papan dengan nomor 101 kini telah ada di hadapannya, nafasnya ia tarik sejenak sebelum mengeluarkan dengan perlahan juga.
Knop pintu dibuka dan yang menyambut dirinya adalah ruangan semi gelap dengan lampu khusus yang menyala redup.
Di atas ranjang rumah sakit itu, duduk seseorang yang sedari kemarin ia cari. Senyuman ia tunjukan kala orang itu menoleh ke arahnya, buku yang sedang ia baca pun refleks ia tutup guna menyambutnya lebih.
"Konnichiwa Suna, Genki ya nen?"
Walau ruangan itu semi gelap Suna masih bisa melihat dengan jelas senyum lebar Kita Shinsuke yang jarang ia tunjukkan pada siapapun. Dia segera menutup pintunya dan melangkah lebih dekat ke arah ranjang sang kekasih.
Di letakkannya buket bunga kesukaan Kita ke pangkuan pemuda itu, tak lupa juga ia memberikan satu buah kecupan singkat di atas kepala dengan surai abu terang tersebut.
"Genki, Kita-san sendiri bagaimana? Sudah lebih baikan? Apa Kita-san butuh sesuatu?" Pertanyaan yang keluar itu di balas dengan sebuah kekehan kecil khas seorang Kita Shinsuke.
"Aku sudah baikan Suna, lusa aku akan pulang dan untuk saat ini aku tak membutuhkan apapun"
Suna menarik senyumnya, di pandanginya paras sang kakak kelas yang nampak sedikit pucat di hadapannya, tangannya terangkat mengelus pipi pemuda itu.
Kita Shinsuke adalah satu-satunya orang yang ia cintai di dunia ini, terlepas bagaimana pemuda itu bersikap tiap harinya, ia selalu bisa menemukan alasannya tersendiri untuk terus jatuh cinta padanya.
Tak pernah ia bayangkan sebelumnya Kita akan benar-benar menerimanya saat ia mengungkapkan perasaannya beberapa bulan lalu.
****
Flasback Suna.
Semuanya telah pulang, bahkan si kembar yang katanya ingin menemaniku juga pulang.
Jam di dinding telah menunjukkan pukul 7 malam dan sepertinya di luar sudah gelap yang artinya dia akan keluar tak lama lagi.
Suara pintu terbuka di iringin dengan langkah kaki yang mendekat, aku menoleh ke belakang dan menemukan sosok kapten team kami yang juga menatap ke arahku.
"Suna?"
Aku menarik nafasku pelan, aku hanya punya satu kesempatan untuk mengatakan hal ini.
"Kita-san, aku menyukaimu"
Ah wajahku memanas, ada rasa lega yang kurasakan setelah mengatakan hal itu namun tak bisa kupungkiri kalau ada setitik keraguan Kita-san akan membalas perasaanku.
"Suna, aku hargai perasaanmu itu tapi kamu tahu sendiri kan kondisiku bagaimana?" Dia mendekat ke arahku, berjinjit sedikit agar pandangan kami sejajar.
"Aku tak bisa bertahan di bawah sinar matahari, aku sakit-sakitan. Jika kita memiliki hubungan waktu yang kita habiskan akan sangat sedikit"
"Aku tahu itu, tapi aku tak peduli. Aku tetap ingin bersama Kita-san"
Aku menatapnya dalam, manik matanya yang indah itu terus kutatapi dalam-dalam.
"Kamu hanya kasihan padaku, ban—"
"Tidak! Aku benar-benar menyukai Kita-san"
Tanganku menangkup kedua pipinya, membuat jarak kami begitu dekat satu sama lain. Bisa kurasakan hembusan nafasnya yang samar-samar menerpa wajahku.
Dirinya tersenyum lebar, matanya pun turut tertutup kala dirinya tersenyum dan harus kuakui itu adalah kejadian langka bahwa Kita-san tersenyum.
"Aku menerimamu"
¹Genki ya nen = bagaimana kabarmu (dalam dialek Kansai)
²Genki = baik (dalam dialek Tokyo)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunburn (SunaKita)
Historia CortaSengatan panas yang di rasakan Kita saat itu membuatnya lupa akan rasa sakit yang ia derita dalam 18 tahun hidupnya.