"Suna? Apa yang kamu lamunkan?"
Tangannya yang tak terinfus turut menangkup tangan Suna yang ada di wajahnya, memandang dengan khawatir apa yang sedang di lamunkan pemuda sipit di hadapannya.
Suna tersentak kecil, dia menggeleng lantas melepaskan tangkupan tangannya dari wajah Kita. Memori manis itu tiba-tiba saja masuk ke ingatannya.
"Bukan apa-apa Kita-san, oh iya aku membawa tahu goreng untuk Kita-san. Kita-san suka itu kan?"
Di lepaskannya tas miliknya dari bahunya lantas membuka resleting dan dengan segera mengeluarkan kotak bekalnya.
"Kamu yang membuatnya?" Kita bertanya dengan antusias, nampak binar kesenangan yang terlihat dari manik matanya kala melihat tumpukan tahu goreng tersebut.
Suna mengangguk, di sumpitnya satu buah tahu tersebut dan mengarahkannya ke depan mulut Kita.
"Ayo bilang 'aaaa' Kita-san"
Kita terkekeh kembali, dia membuka mulutnya tanpa ragu membiarkan Suna menyuapi dirinya dari sebelah ranjang.
"Enak"
"Tentu saja enak! Karena untuk Kita-san semuanya harus sempurna begitu kan?"
Tawa kecil dari keduanya terdengar, Suna benar-benar tahu bagaimana cara membuat Kita menjadi manusia normal seperti orang lain. Mengajarkan pemuda itu cara untuk lebih menikmati hidupnya dengan beberapa perhatian kecil yang selalu ia berikan.
Di saat itu lah, Suna sangat ingin menghentikan waktu di sekitarnya untuk sejenak agar bisa membuat Kita bahagia.
****
"Kamu bolos lagi?"
Pertanyaan yang keluar dari bibir Kita barusan hampir membuat Suna tersedak minumannya sendiri.
Dia melirik ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 12.00 tepat tengah hari.
Ditaruhnya botol minum ke nakas di sebelahnya, tangannya mengelus kembali pucuk kepala Kita dengan perlahan.
"Aku begitu khawatir pada Kita-san saat tahu Kita-san masuk rumah sakit lagi jadi saat pelajaran ketiga aku pamit pulang untuk menjengukmu" tuturnya dengan nada yang begitu lembut, Kita menatap ke arahnya dengan pandangan datar.
Ada begitu banyak cinta yang terpancar dari manik abu kekuningan tersebut. Manik yang seolah bisa menghipnotis siapapun yang melihat ke arahnya.
"Terima kasih telah khawatir padaku" Suna mengangguk, di dekatkannya wajahnya kembali ke wajah Kita. Sepintas rona merah tipis terlihat di wajah Kita membuat Suna tak tahan untuk tak mengumbar kembali senyumnya.
Satu kecupan kembali mendarat di kening pemuda yang lebih tua, menyalurkan secara nyata seberapa besar rasa sayang serta cintanya pemuda sipit itu pada pemuda di hadapannya.
"Kita-san! Eh sepertinya kami menganggu"
Pintu yang tadi dibuka kembali tertutup di susul oleh seruan-seruan kecil dari Atsumu yang kaget dengan apa yang barusan ia lihat.
Suna menjauhkan dirinya, berjalan dengan segera menuju pintu dan membukanya kembali.
"A-aku tak lihat apapun kok! Aku tak melihat kau yang mencium Kita-san tadi! Sumpah!"
Osamu memutar bola matanya, begitu pula anggota volly lain yang nampaknya juga jengkel dengan ucapan Atsumu tadi.
"Masuk saja, Kita-san sepertinya akan suka dengan kehadiran kalian" ajaknya lantas berbalik kembali menuju sofa yang ada di ruangan tersebut.
Satu persatu dari mereka mulai masuk menemui kapten mereka yang kini terduduk di atas ranjangnya.
"Kita-san!! Apa kau sudah sembuh? Kenapa Kita-san bisa masuk lagi ke rumah sakit? Apa Kita-san semakin parah? Bagaimana rasanya di cium oleh Suna?" Berbagai pertanyaan terus menerus di lontar si sulung Miya tersebut membuat adiknya yang di sebelahnya spontan menyikut tulang rusuknya.
"Bertanya lah pelan-pelan bodoh! Tak semua pertanyaan yang kau ucapkan itu penting!" Sentak Osamu lalu mendengus kasar karena sikap sang kakak.
Kita hanya mengangkat sedikit ujung bibirnya, sudah terlampau biasa melihat pertengkaran si kembar yang seperti itu.
"Aku tak akan bisa sembuh Atsumu, kondisiku sudah cukup parah walau aku masih bisa melakukan aktivitas lain tapi sekali lagi aku terkena sinar matahari aku akan pergi" ucapnya dengan nada serius yang mana membuat anggotanya yang lain justru terdiam akan ucapannya.
Mereka menunduk dalam, suasana suram mendatangi keheningan mereka. Ada setitik rasa tak rela saat kapten yang selalu mereka banggakan itu mengatakan hal tersebut di hadapan mereka.
Kita yang menyadari hal itu menoleh, tangan di tepuk sekali guna menyadarkan lamunan mereka.
"Sudah lah jangan bersedih, setidaknya aku masih disini bersama kalian"
Mereka mengangguk lalu mulai kembali membuka pembicaraan walau suasana suram masih lah mengelilingi mereka semua.
****
"Hon ja"
"Kii tsukete"
Kita melambai saat mereka semua keluar dari ruangannya, setelah hampir 2 jam mereka berbincang mereka pun memutuskan untuk kembali ke sekolah untuk latihan.
Suna sendiri membereskan kekacauan yang ada, keadaan yang tadinya ramai kembali menjadi hening sama seperti saat Suna masuk ke ruangan Kita.
"Pulang lah Suna, kamu pasti lelah kan?"
Suna membuang bungkus terakhir makanan ke tempat sampah, di usapnya dahinya yang meneteskan keringat lalu berjalan menuju wastafel untuk membasuh mukanya.
"Suna, pulang lah"
"Iya Kita-san, nanti aku pulang" Suna menghampirinya dengan handuk kecil yang kini terkalung di lehernya. Tangan besarnya mengenggam lembut tangan Kita yang lebih kecil dari tangannya lantas mengelusnya dengan perlahan.
"Saat Kita-san mengatakan Kita-san tak bisa sembuh tadi, entah mengapa aku marah" jemarinya masih setia mengelus kulit tangan yang memutih tersebut. Tatapannya yang tadinya mengarah ke lawan bicara kini berpindah ke atas menatap lampu khusus yang menerangi ruangan tersebut.
"Aku ingin menentang takdir, mengatakan sekeras-kerasnya pada semesta bahwa aku tak menerima hal ini. Bahkan jika bisa aku ingin menemui Kami-sama dan berbicara dengannya supaya menghilangkan penyakit Kita-san"
Suaranya tertahan di tenggorokan, Suna jelas menahan tangisannya saat mengatakan hal itu. Bahkan matanya sekarang pun telah berkaca-kaca sesaat setelah mengatakannya.
"Kenapa dunia tak adil pada Kita-san? Kita-san orang yang baik kenapa Kami-sama ingin mengambil Kita-san dariku lebih cepat?"
"Suna..."
"Aku rela menukar posisiku agar aku saja yang merasakannya! Aku—"
Lelehan air mata mulai menuruni sisian wajahnya, genggaman pada tangan lawan bicaranya ia eratkan seolah sangat takut kehilangan dirinya.
"Aku ingin bersama Kita-san seumur hidupku"
¹Hon ja = sampai ketemu besok (dalam dialek Kansai)
²Kii tsukete = hati-hati di jalan (dalam dialek Kansai)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunburn (SunaKita)
Historia CortaSengatan panas yang di rasakan Kita saat itu membuatnya lupa akan rasa sakit yang ia derita dalam 18 tahun hidupnya.