"Jika perempuan sudah berani memulai pembicaraan pada seorang lelaki, berarti dia berhasil menurunkan gengsinya."
—alzenainsly—
...
Kembali ke rutinitas pulang sekolah, di Senin sore ini pastinya anak kelas dua tingkat atas selalu diisi oleh ekstrakurikuler. Apalagi untuk klub seni dan voli SMA Starla. Pada pukul empat, mereka pasti sudah menghamburkan diri ke lapangan dan ruang seni.
Sean yang tidak mengambil apapun selama hampir empat bulan ini menjadi yang paling terlihat bodoh ketika melihat teman-temannya yang asik mengobrol tentang kegiatan masing-masing. Dia hanya melihat kanan dan kiri sambil sesekali menguping.
"Jim, kamu ikutan apa?" celetuk Sean.
Mendapat pertanyaan di tengah suatu kegiatan, memang hal yang sedikit malas untuk dijawab. Jim yang sedang mengobrak-abrik kolong bangkunya jadi harus menghentikkan dirinya sebentar hanya untuk sekedar menjawab, "Voli."
Rasa bahagia dan penasaran Sean meningkat secara drastis. Mendengar kata 'voli' sintak saja mengingatkannya pada Ega. Dia jadi senang. Bangku yang tadinya menghadap ke depan kini ia paksa berputar dan menciptakan suara ngilu yang menyakitkan.
"Whoa, yang benar? Jim bisa main voli?" tanya Sean memastikan.
Jim mengangguk. Suaranya tak keluar karena merasa tak perlu. Dan lagi, dia tengah sibuk melakukan yang lebih penting, mencari tali sepatu.
Di mana ya? Perasaan aku simpan di sini terakhir kali.
Semua benda yang bersemayam di kolong bangku, semut, rayap, plastik milkita, kaleng kopi, kertas contekan, lipatan kertas berbentuk hati, sampai debu dan jaring laba-laba pun keluar. Alhasil lantai jadi kotor dan Jim menggeram kesal.
"Sen, kamu lihat tali sepatuku di sini?" tanya Jim pada akhirnya.
Dia menyerah. Sudah lebih dari lima menit ia mencari dan masih tidak menemukannya. Tentu saja itu membuat perasaan putus asanya meningkat. Kekesalannya begitu terasa menguar di hati.
Sean menggelengkan kepalanya keras. Senyuman lebar masih terpampang ceria, dan dengan rasa yang menggebu-gebu dia membalas, "Pakai aja punyaku. Nih!"
Saat ini pergerakan tangan mencari sesuatu Jim berhenti seutuhnya. Bahkan sekujur tubuhnya pun berhenti melakukan sesuatu. Otaknya buntu, pikirannya tersendat. Hanya jantungnya saja yang masih bekerja normal.
"Terus nanti kamu bagaimana? Tidak pakai sepatu?" tanya Jim dengan penuh keheranan.
Rasa heran memang sering kali mampir di otaknya atas kelakuan dan jalan pikir Sean. Tidak hanya Jim, bahkan setiap orang yang mengenal atau melihat Sean pasti akan selalu seperti itu. Sean memang tidak bisa dipresiksi akan sesuatu kecuali kebodohan dan kelambatannya.
Sean terkekeh lembut. Tidak ada nada tertekan di sana. Rasa bahagia pun selalu mengiringi. Sean seperti tidak pernah merasa keberatan atau memiliki beban. Tawanya selalu berhasil membuat orang berpikir bahwa Sean adalah makhluk bumi dengan kebahagian yang terus hidup.
"Tenang aja, aku bisa menunggu kok," jawab Sean.
Ini adalah jawaban yang paling mengejutkan daripada tawaran meminjamkan tali sepatu sebelumnya. Jim sampai melongo dibuatnya.
"Heh, heh, latihan voli itu lama. Yang ada nanti kamu bulukan kalau sampai menunggu," dumel Jim.
Dia kesal untuk keputusan Sean. Untuk kebegoannya pun sama. Bagaimana cara berpikir Sean yang hanya sekali, itu sungguh membuatnya sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Teen FictionWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...