BAB 3

14 3 0
                                    

Warisan

Sebab tertahan ciput, aku tidak menyadari jika ikatan rambutku terlepas. Entah di mana juga ikat rambut itu terjatuh. Aku mengurai rambut seraya berdiri di hadapan cermin. Mendesah dengan lagi-lagi merasa bingung, apa aku harus kembali ke sekitar stadion dan mencari ikat rambutku atau tidak.

Kali ini dengan mencoba berpikir logis, aku terpaksa memilih yang kedua. Sekitar 90% kemungkinan, benda itu diambil orang yang melintas, sangat bisa terjadi, iya, kan? Jadi, kalaupun aku kembali di jam sekarang, aku harus bersiap pulang tanpa hasil. Lalu, ada 9% kemungkinan benda itu tersepak atau terlindas motor-motor yang mulai datang meramaikan suasana. Sisanya adalah 1% kemungkinan lain yang entah apa. Ketimbang kecewa, aku mencoba merelakan. Walaupun, mengingat itu satu benda yang cukup berarti bagiku, sekian kali sehari aku mungkin bakal menghela napas panjang.

Haaah, tahu akan hilang, seharusnya tadi aku pakai ikat rambut biasa saja. Tetapi entah mengapa, aku malah mengikuti perasaan melankoli dengan kenangan bersama Mama. Dan, tahu-tahu memakainya.

Sekarang, pikiranku jadi beralih ke sekian bulan lalu, saat huru-hara dimulai. Berlanjut ke sekian pekan setelahnya, ketika kemudian aku memutuskan tinggal sendiri, di rumah yang Mama persiapkan untukku. Rumah sederhana yang dibiarkan kosong dalam waktu cukup lama. Dan, akhirnya aku tinggali. Sendirian, tanpa siapa-siapa yang menemani.

Tadinya kupikir, dengan menjauh dari segala hiruk pikuk dan keluar dari rumah utama orangtuaku segalanya akan lebih mudah. Lebih tenang dan kehidupanku bisa berjalan normal. Tanpa harus lagi bersitegang atau memendam kesal yang sesungguhnya sudah sampai ubun-ubun.

Saras, kakakku, menelepon saat baru saja aku hendak keluar menuju tempat bekerja. Tidak bisa kusebut sebagai bekerja dalam pengertian semua orang secara umum, apalagi keluarga besarku. Aku hanya membantu mengsisi kekosongan di sebuah sanggar yang dikelola secara mandiri oleh Nilam, teman masa SMA hingga kuliah. Sanggar itu sebagai tempat sekumpulan anak-anak yang tidak mampu. Kegiatan di sana pun beragam, dari belajar menulis, membaca, berhitung untuk anak usia sekolah. Hingga belajar menggambar dan membuat kerajinan tangan yang sekiranya nanti dapat dijual. Kami juga bahkan memberikan pelajaran bahasa Inggris, kadang-kadang saja sebagai selingan.

Nilam didukung oleh Pongki, sang suami, untuk mendirikan sanggar yang bahkan sangat jarang ada di zaman sekarang. Saat semua orang menjadikan apapun sebagai ladang penghasil uang, bisnis atau apapun sejenisnya. Mereka berdua berjuang tanpa mendapatkan apa-apa darinya. Tentu saja itu dari pandangan orang-orang. Sebab bagi Nilam dan Pongki, pendapatan itu bukan sebatas memperoleh harta. Jauh melewati dari pikiran kebanyakan orang.

Nilam pernah juga bercerita, kalau apa yang mereka berdua lakukan sangat ditentang terutama oleh orangtua dan keluarga sang suami. Namun, meski begitu Sanggar Cahaya Ceria tetap bisa bertahan. Ah, ya, tentunya disokong Pongki yang sudah memiliki perusahaan sendiri plus mandiri. Lepas dari keterlibatan orangtuanya yang juga pengusaha. Hanya saja, jalan mereka dalam memilih bidang yang digeluti berbeda. Orangtuanya terkenal di bidang furnitur. Sedangkan Pongki lebih tertarik dengan mendirikan usaha di bidang yang berkaitan dengan herbal; makanan, minuman dan obat-obatan, yang telah dia rintis sedari masih mahasiswa baru. Uniknya, meskipun orangtua dan keluarganya tidak menyetujui cara sepasang suami istri itu mengisi waktu selain menjalankan usaha, yaitu mengurus sanggar, mereka tetap memberikan bantuan. Ya, menurut Nilam memang baru-baru belakangan ini. Itupun tidak dalam bentuk uang, tapi berupa alat-alat, pelengkap sarana dan prasarana untuk belajar anak-anak. Dan itu sudah sangat cukup membantu mereka.

Seharusnya aku sudah ada di sanggar. Akan tetapi telepon dari Saras yang berlanjut obrolan menahanku. Dan akhirnya, aku terpaksa memberitahu Nilam jika aku tidak bisa hadir hari ini diiringi permintaan maaf. Usai mengirimi Nilam pesan aku melanjutkan obrolan dengan kakakku di seberang sana.

“Memang urusan apalagi, yang belum selesai, Kak?”

Aku memijit-mijit kening. Kapan semua urusan dengan nenek sihir itu benar-benar tuntas. Untuk selamanya.

“Ada sebuah temuan. Yaaah, bisa disebut temuan warisan.”

Hampir saja tawaku lepas mendengar istilah yang disampaikan Kak Saras barusan. Temuan warisan macam apa yang bisa mengguncang kembali dunia kami? Setelah sekian bulan, terlebih aku, bisa tenang menghirup udara segar. Oh, barangkali kalimat yang seharusnya adalah BARU beberapa bulan saja, kami bisa menjalani kehidupan normal, yang santai.

Aku diminta kakakku satu-satunya itu agar datang ke satu tempat. Melanjutkan obrolan di sana, sekalian ketemuan. Kami tinggal terpisah jarak sekitar satu setengah jam. Aku di kotamadya, sedangkan dia di ujung kabupaten. Lagipula, jadwal ngantornya memang libur katanya. Ah, iya, ini kan, memang hari Sabtu.

“Ternyata Papa-Mama pernah menaruh saham di sebuah perusahaan. Sejak lama, sejak kita masih kecil, Sendang. Dan sekarang, setelah bertahun-tahun kemudian perusahaan itu masih berdiri bahkan sukses. Kamu jangan tertawa … ahh, terserahlah, sepertinya kamu memang akan terbahak. Tapi, sebelum kamu tanya dan kujawab perusahaan apa itu, kuberitahu kalau ini serius.”

Saras mengaduk jus alpukat yang bercampur krimmer cokelat, sembari memandangku yang kini sudah berada di hadapannya. Kami sudah saling peluk dan cium pipi kanan-kiri tadi. Aku lebih dulu sampai, sebab meskipun disebut berada di tengah-tengah antara kotamadya dan kabupaten, tetap saja jarak dari rumahku lebih dekat.

“Baiklah, apa itu?” Aku berusaha mengimbangi ekspresi serius Saras. Dan menatapinya justeru malah membuatku mengulum senyum.

“Alat masak,” ujarnya. Lalu menyebut salah satu brand skala nasional sekian detik selanjutnya. Matanya masih menatapku, sementara bibirnya condong ke arah gelas, menyedot isi di dalamnya.

Aku sampai-sampai teringat, jika akun instagramku mengikuti akun perusahaan itu. Bahkan sering, yah… bolehlah dikatakan AKTIF, sebagai peserta kuis atau giveaway yang mereka adakan secara berkala.

“Serius?” pertanyaan itu terlontar.

“Ya, kaaan. Aku bahkan sudah menjawab bahkan sebelum pertanyaanmu keluar dari bibir, Sendang sayang.”

“Tahu begini, aku gak perlu repot dan sibuk ikutan giveaway akunnya, dong, Kak. Jadi, bisa dicairkan dalam bentuk barang langsung atau voucher belanja selama seumur hidup?” aku berkelakar.

Jika didengar, mungkin aku sudah dapat cap anak durhaka. Karena menjadikan bahan becanda perihal yang menyangkut mendiang Mama. Usai mengatakan itu dan raut wajahnya seolah membayang di depan mata, aku menarik kembali garis bibir yang tadi membentuk senyuman.

Saras kemudian menyebutkan di bagian mana, warisan itu menjadi sesuatu yang kembali membuat hidup kami pelik. Ya, nenek sihir itu, yang bahkan bukan siapa-siapa keluarga kami, lagi-lagi berusaha mengobok-obok ikan yang sedang asyik berenang dalam aquarium indah. Usai Mama tiada, kesehatan Papa menurun. Segala urusannya, yang memang sejak dia masih bugar pun, dibantu oleh sekretarisnya. Lalu, tahu-tahu nenek sihir itu menjadi istri Papa. Dan, bocah yang selalu mengintil di belakangnya, menjadi anak lelaki Papa.

Saras dan aku yang telah memiliki kehidupan masing-masing, tidak bisa berbuat banyak soal perubahan status yang mendadak tersebut. Bahkan kami masih berduka saat itu terjadi. Aku sendiri sempat merasa kecewa dan berujung bersikap tidak peduli pada Papa. Lalu memilih menyingkir. Nyatanya, aku tidak seberani pikiran dan hati yang menggebu-gebu untuk menuntut hakku. Tetap saja, Saras-lah yang melakukan semuanya dengan rapi. Untuk kemenangan kami.

#SebelumTerlanjur
#KiranaWinata

#POVSendang

Sebelum TerlanjurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang