3

85 7 0
                                    

"Kau yang membuat ini, Guin?" Tanya Wanwan. Guin mengangguk.

"Apa rasanya aneh?" Tanya Guin khawatir.

"Omong kosong apa itu? Kue jahemu sangat amat enak! Granger beruntung bisa merasakan kue ini setiap kau berkunjung. Dan dia juga beruntung karena memiliki kekasih yang setidaknya bisa membuat kue dengan baik, tidak seperti dirinya." Ucap Wanwan dengan sedikit menurunkan volume di kalimat akhir.

"Aku tetap mendengar apa yang kau ucapkan." Ucap Granger dengan nada datar. Wanwan tersenyum lebar.

"Wanwan benar, Guin. Kue jahemu enak, lain kali ajak lah kami untuk membuatnya juga." Ucap Ling.

"Kalian ingin main ke rumahku?" Tanya Guin. Wanwan menatap Guin penuh harap.

"Apakah boleh?" Tanya Wanwan.

"Tentu saja boleh. Aku senang mendapat teman baru. Tapi...rumahku agak jauh dari sini. Kita harus naik kendaraan. Tenang, aku selalu membawa kendaraan ke sini." Ucap Guin.

"Bagaimana aku pulang nanti? Aku kan tidak punya kendaraan." Tanya Wanwan.

"Kau dan Ling bisa pakai kendaraanku, supirku nanti akan membawa kalian pulang dengan selamat." Ucap Guin.

"Supir? Kau punya supir? Apa kau orang kaya?" Tanya Wanwan. Ling menyenggol lengan Wanwan.

"Tidak sopan bertanya begitu." Bisik Ling. Wanwan hanya terkekeh.

"Kurasa tidak juga...." Ucap Guin ragu. Ia tidak bisa berkata 'iya' karena semua hartanya kini adalah warisan dari mendiang ibunya, Selena. Guin bahkan tidak memiliki harta benda apapun.

"Ajak aku juga, Guin. Aku sudah lama tidak menyapa Alucard dan Miya setelah mereka menikah." Ucap Granger.

"Miya sekarang tengah mengandung anak yang pertama." Ucap Guin.

"Wah, benarkah? Syukurlah kalau begitu." Granger tersenyum mendengar kabar bahagia tersebut.

"Kalian bisa datang saat pesta ulang tahunku nanti. Seminggu lagi, aku akan mengirim kendaraan ke rumah Granger dan kalian bisa ikut kendaraan tersebut menuju rumahku. Berpakaianlah senyamannya, karena kita akan pesta di malam hari. Tak akan lucu bila kau terpeleset gaunmu sendiri saat jamuan nanti." Tutur Guin kemudian disambut dengan tawa Ling dan Wanwan.

"Kau benar mengundang kami? Maksudnya, kau kan baru kenal denganku dan Ling? Apa tidak terlalu berbahaya mengundang orang asing begitu saja ke pestamu?" Tanya Wanwan. Guin menggeleng.

"Kurasa kalian orang baik. Iya, kan?" Tanya Guin memastikan. Wanwan dan Ling mengangguk bersamaan.

"Baik, aku akan datang seminggu lagi. Terima kasih atas undangannya, Guin." Ucap Ling diiringi anggukan dari Wanwan.

"Kau mau makan malam di sini, Guin?" Tanya Granger, ia melihat ke luar rumah dan hari mulai gelap.

"Kalau tidak merepotkan, boleh saja. Tapi kurasa kau harus memasak dulu, ya? Bagaimana kalau aku bantu?" Guin bertanya antusias.

Ling dan Wanwan saling pandang. Seperti mengerti maksud satu sama lain, mereka berdua sontak berdiri dan berpamitan pada Granger.

"Terima kasih, kue jahenya enak sekali. Aku akan datang seminggu lagi dengan gaunku yang bagus. Sampai jumpa Guin, Granger." Ucap Wanwan. Ling juga ikut berpamitan. Mereka berdua meninggalkan Guin dan Granger, memberikan waktu khusus untuk pasangan kekasih itu.

"Coba tebak, apakah Guin akan menginap di sini malam ini? Apakah akan terjadi hal-hal yang romantis?" Tanya Wanwan jahil. Ling menyentil dahi kekasihnya itu.

"Jangan berpikir macam-macam. Sudahlah, lebih baik kuantar kamu pulang." Ucap Ling. Wanwan hanya mengusap dahinya yang memerah.

"Huu, payah!" Hardik gadis itu dan memasang muka kesalnya. Ling hanya tertawa melihat ekspresi Wanwan.

°°°

"Granger." Ucap Guin saat tengah sibuk memotong sayuran.

"Hm?" Granger tetap asyik dengan masakannya, walaupun ia tetap mendengarkan panggilan Guin.

"Kau ingat Lancelot?" Tanya Guin ragu-ragu. Terakhir kali membahas Lancelot, Granger seperti orang yang sangat marah. Ia menjadi sangat dingin dan enggan bicara dengan Guin.

Granger terhenti sejenak dari pekerjaannya, kemudian dia lanjut mengaduk sayuran di panci.

"Ya, aku ingat. Kenapa?" Tanya Granger.

"Kau tahu kan dia saudara jauhku?" Tanya Guin lagi. Granger mengangguk tanpa memalingkan wajahnya ke Guin.

"Sekarang dia tinggal di kerajaanku. Dia juga yang mengatur kerajaanku selagi aku tinggal di Land of Dawn." Ucap Guin. Ia tahu Granger mungkin akan kembali marah, walau ia tak tahu alasannya.

Granger menghela napas panjang, "Guinevere." Ucapnya.

Guin gugup mendengar panggilan tersebut dari Granger. Pasalnya, jika Granger sudah menyebut lengkap namanya, berarti ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu yang berbahaya.

"Kau yakin dengan tindakanmu? Kau belum lama mengenalnya, bukan? Jangan ceroboh, ini perkara kerajaan, bukan mainan." Ucap Granger.

"Aku yakin. Lancelot itu baik kok, dia saudara jauhku. Jadi kupikir tindakanku ini sudah tepat. Aku sudah sering bertemu dengannya, aku juga sudah paham sifatnya." Ucap Guin.

Granger menghela napas dan mengangguk.

"Lanjutkan pekerjaanmu, agar kita segera makan malam." Ucap Granger dan kembali fokus pada pekerjaannya.

Guin menatap punggung kekasihnya yang kini tampak sedang marah. Guin bingung, kenapa Granger sangat sensitif bila ia membicarakan tentang Lancelot? Apa ia cemburu? Tak mungkin, ia kan tahu Lancelot adalah saudara jauhnya.

Guin kemudian mendekat ke arah Granger dan memeluknya dari belakang. Ia memeluknya dengan erat karena takut Granger akan berbalik dan marah padanya.

"Lepaskan, Guin. Aku kesulitan bergerak." Ucap Granger dengan suara beratnya.

Guin menggeleng keras.

"Guin...."

"Tidak mau!" Seru Guin. Ia semakin mengeratkan pelukannya.

Granger menghela napas dan melepas paksa pelukan kekasihnya. Kemudian, ia berbalik dan mendapati wajah Guin yang murung serta ketakutan.

Granger berinisiatif untuk memeluk kekasihnya itu. Sesekali, ia menepuk punggung Guin menenangkan.

"Aku tidak apa-apa, jangan pasang ekspresi takut begitu." Ucap Granger kemudian tertawa kecil. Hatinya luluh melihat ekspresi Guin yang begitu manis, sekalipun sedang merasa takut.

"Maafkan aku, aku hanya merasa harus memberitahumu tentang hal ini." Ucap Guin di dalam pelukannya. Granger mengangguk.

"Iya, aku mengerti. Aku hanya....sedikit sensitif mendengar namanya. Lain waktu, aku akan menceritakan alasannya padamu. Aku janji." Tutur Granger.

"Terima kasih, Hun." Ucap Guin kemudian tersenyum manis. Ia melepas pelukannya dan secepat kilat mendaratkan sebuah ciuman di pipi Granger. Wajah Granger langsung memerah.

"Jangan tiba-tiba begitu, aku bisa jantungan." Granger berbalik dan kembali fokus pada masakannya.

"Bilang saja kau hanya malu." Ledek Guin dan kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

The New KingdomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang