Semua Yang Tertinggal Di Masa Lalu P1.

1.2K 297 26
                                    

Ah.

Dara tidak tau lagi takdir brengsek apa yang sedang terjadi sekarang. Atau ia sedang kena prank? Atau mungkin dia dihipnotis orang asing tadi? Bagaimana, bagaimana bisa dia yang tidak bodoh-bodoh sekali, justru duduk berhadapan dengan Banyu. Mantan kekasihnya dua tahun lalu.

Begini cerita sebelumnya, Dara baru saja selesai melakukan rapat dengan Mapala untuk mulai persiapan pendakian berikutnya. Sampai Bang Pongki mengajaknya ke kantor asuransi. Memang meski tampak berantakan, Bang Pongki cukup bisa diandalkan mengenai hal administratif. Tapi di kesempatan ini Bang Pongki meminta Dara menemaninya untuk mengurus asuransi kakak perempuannya yang sakit.

Tapi, Dara tidak habis pikir dengan cara kerja dunia. Ia merasa seperti pemeran utama di sebuah sinetron berepisode ratusan yang ceritanya sudah tidak jelas. Di sana, Banyu, ia bertemu dengannya secara tidak sengaja.

Mata bertemu mata.

Dara ingin sekali mengacuhkan, tapi Banyu dengan sangat tidak peka justru menghampiri Dara. Hingga di sinilah mereka, di cafe seberang kantor dengan dua cangkir kopi hampir dingin karena sama-sama tidak disentuh. Dara bahkan tidak mau ambil pusing apakah Bang Pongki menunggunya atau meninggalkannya sambil merengut.

"Jadi, gimana kamu bisa ada di sana?"

"Aku kerja di sana."

"Oh."

Setidaknya satu pertanyaan di pikiran Dara terjawab. Ia sudah berencana akan menolak permintaan Bang Pongki selanjutnya jika berhubungan dengan kantor asuransi ini. Dara bahkan berniat mem-blacklist area ini agar tidak ia datangi lagi.

"Iza."

Dara menahan napas, bisa-bisanya laki-laki di depannya masih menggunakan nama 'kesayangan' untuk memanggilnya.

"Dara, panggil Dara," koreksinya dingin.

"Maaf, Dara."

"Apa?"

"Apa kabar?"

"Baik, jauh lebih baik."

Dara berusaha sekeras mungkin memotong percakapan agar mereka cepat berpisah. Sungguh, bahkan duduk di sini saja rasanya seperti siksaan paling menyakitkan.

"Syukur kalo begitu."

Di sisi lain, Banyu harus menelan sikap dingin Dara. Ia secara sadar mewajarkan sikap gadis itu saat ini, ia tidak berhak protes. Tidak berhak.

"Kalo udah ga ada yang diomongin, aku mau pulang."

"Tunggu."

Banyu refleks menahan tangan Dara. Tangan yang dulu selalu terbuka dan menerimanya, tatapan yang dulu sendu dan menyenangkan, senyuman yang dulu menghangatkan seperti matahari pagi.

Banyu tidak boleh mengharapkan itu lagi. Dadanya seketika terasa nyeri.

"Kenapa lagi?"

Dara membuang napas kasar. Entah karena ia harus bersabar, atau untuk menahan tangis yang sudah di pelupuk.

"Maaf, aku minta maaf."

Tidak, bukan itu yang Dara ingin dengar.

"Maaf, udah nyakitin kamu separah itu. Maaf, udah jadi laki-laki paling jahatㅡ"

"Cukup, jangan dilanjutin."

Dara menggigit bibirnya sebagai cara terakhir agar ia tetap waras dan tidak lepas kendali. Tangannya bergetar, pertanyaan-pertanyaan seperti untuk apa dia ada di sini, kenapa ia masih bertahan di sini, dan kenapa ia tetap mendengar omong kosong itu terus berkeliaran di otaknya.

"Iza."

Banyu meraih tangan Dara. Dingin, seperti sikapnya sekarang. Banyu menangkup kedua tangan Dara, kepalanya tertunduk hingga keningnya menempel pada tumpukan tangan mereka.

"Kamu harusnya ngga begini, Banyu. Kamu harusnya sadar sejahat apa kamu."

Tidak, Dara sebenarnya ingin meneriakkan sumpah serapah. Tapi kenapa justru suaranya bergetar hebat?

"Kamu pasti paham ngga ada yang berubah dari ini. Ngga ada."

"Iya, makanya aku minta maaf. Aku ngga berdaya, Iza. Aku tenggelam dalam rasa penyesalan."

"Ya, itu bahkan belum cukup."

Tenggorokannya sesakit menelan segenggam duri. Perih, hatinya ngilu seolah luka sayatan yang kembali dibuka.

Tolong, siapapun tolong keluarkan Dara dari tempat ini. Dari situasi ini.

"Iza," Banyu mengangkat kepala, matanya yang merah menahan tangis itu menatap dengan penuh memohon pada Dara.

"Tolong, aku bisa tinggalin segalanya sekarang demi kita bisa kembali kaya dulu. Semuanya, Iza. Semuanya."

Dara menarik tangannya kasar, tanpa pikir panjang ia menampar Banyu. Suara keras itu cukup membuat pengunjung cafe menoleh dan berbisik.

Dara marah, seluruh tubuhnya bergetar. Ia marah dan terluka, lagi dan lagi.

"Brengsek. Sekali bajingan tetap bajingan."

Banyu terdiam, panas di pipinya tidak sebanding dengan tatapan benci Dara yang ia dapatkan sekarang. Seharusnya bukan begini, seharusnya tidak begini.

"Izaㅡ"

Dara segera berdiri, bahkan meski kakinya tidak memiliki kekuatan, ia tetap memilih pergi dari tempat itu. Tanpa mau menoleh ke belakang, mengabaikan panggilan Banyu yang frustasi.

Sial.
Sial.
Sial.

Bisa-bisanya Banyu bicara begitu. Bisa-bisanya.

Dara tiba di stasiun terdekat, suara bising dari pengeras informasi atau bahkan kereta tidak sanggup mengganti isi pikirannya yang dipenuhi kejadian tadi. Ia duduk di kursi tunggu, tangisannya kini pecah. Beberapa orang di sekitar Dara menoleh untuk melihat gadis itu kacau balau dan kesedihan.

Bahkan badannya belum berhenti bergetar.

Di antara sesaknya pikiran Dara, sekelibat ia memikirkan Satrio. Dorongan itu semakin besar, ia butuh mendengar suara Satrio, laki-laki yang sudah empat hari tidak ditemui.

Suara panggilan tersambung, Dara menunggu dengan gelisah. Terlalu gelisah hingga rasanya ia ingin menceburkan diri ke kolam yang dalam.

"Halo, Dara?"

"Kak Satrio..."

"...."
"Kamu nangis?"

"Kak..." Dara harus meremas dada kirinya yang begitu sakit. "Cepet pulang, aku butuh kamu."

☆☆☆☆☆

TRIPLE UPDATE HARI INI, YAY OR NAY?????

[1] 2958 MdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang