Suasana belakang rumah yang tenang dan sejuk, selalu menjadi pilihan terbaik untuk menemani bacaan buku kali ini. Dengan kacamata menggantung di atas hidung, aku memusatkan diri. Tenggelam pada sebuah buku tebal, yang sedang menceritakan kisah pembunuhan sadis.
"Orion ...!"
Aku menoleh. Teriakan kencang tapi terdengar begitu mendayu dan lembut, selalu sukses mengalihkan pikiranku. Dan tentu saja akan terus begitu. Gadis itu menghampiriku dengan raut kesal.
"Kau ini!" rajuknya dengan mengerucutkan bibir tipisnya. Bukannya takut, aku malah terpesona.
"Sudah berapa kali kukatakan, wahai pria kutu buku! Aku memintamu menemaniku mencari WO terbaik. Kenapa kau tidak juga menyusulku?!"
"Shela--"
"Kau menyebalkan sekali, Orion! Kau tau aku menunggumu lebih dari dua jam. Bahkan ponselmu sengaja kau matikan?!" hardiknya tak terkontrol. Aku menghela napas pasrah.
"Bisakah kau duduk dulu? Marah-marah hanya akan membuatmu cepat tua." Kuberikan senyuman termanis yang kupunya.
"Berhenti tersenyum! Kau pikir aku sedang apa, bercanda, hah?!"
Tanpa pikir panjang, kutarik lengannya dan ia pun jatuh terduduk di atas pangkuanku. Seketika raut kesalnya berubah drastis. Ia pasti terkejut.
"Jangan marah, Shela. Calon pengantin harus banyak tersenyum." Kuelus pipinya dengan penuh cinta.
"Tapi kau yang membuatku meledak begini!"
"Aku tau. Aku memang salah. Jadi bisakah kau memaafkanku?" Memiringkan kepala. Mencoba mencuri hatinya yang sedang bergelora amarah.
"Berhenti memasang wajah seperti itu! Kau pikir aku akan luluh?!" Tangannya bersedekap mengancam.
"Kalau tidak mempan, apa aku harus melumat bibir manis yang begitu candu ini?" godaku sembari membelai bibir bawahnya.
"Jangan coba-coba! Aku akan segera menikah." Ia menunjukkan jari manisnya yang telah tersemat sebuah cicin berlian dengan bangga.
"Apa bedanya? Kemarin kita masih bercumbu." Tersenyum miring.
"Orion!" tegurnya. Aku hanya tersenyum maklum.
"Baiklah. Anything for you, Princess." Kubawa tubuh bak model itu ke dalam pelukan terhangat.
"Sepertinya kau sedang merindukanku," celetuk Shela menggoda.
Tentu saja. Mengapa aku tidak merindukan wanita yang kucintai sepenuh hati ini?
"Setiap waktu," jawabku.
"Merindukanku?" Tersenyum sinis.
"Tentu saja, Princess."
"Hmm ... karena kau tidak menepati janjimu untuk menemaniku hari ini, kau harus melakukan sesuatu untukku." Shela berucap sensual. Kubelai pipinya dengan mesra.
"Katakan, apa yang kau inginkan?"
"Kau," tunjuknya manja pada dadaku.
Sempat terkejut sejenak, tapi aku langsung tersenyum tenang.
"Jangan membangunkan singa yang sedang tidur."
"Aku memang berencana membangunkannya." Tiba-tiba Shela menggoyangkan pinggangnya.
"Emmhh ...," gumamku.
"Suara beratmu begitu candu, Orion. Sadarkah kau akan hal itu?"
"Jika memang candu, semestinya kau menikah denganku." Membelai lengannya lembut.
"Kau sahabatku. Mustahil hal itu terjadi." Ia kembali menggesekkan bokongnya yang tepat berada di atas juinorku.
"Sahabat macam apa yang selalu punya kesempatan untuk bercumbu di atas ranjang?" Mataku mendadak sayu.
"Padahal, kau punya calon suami," lanjutku dengan tatapan seduktive.
"Aku hanya tidak ingin kehilanganmu." Jemarinya sedang berkeliaran di dada bidangku. Segera saja kutangkap tangan nakal itu.
"Shela, jangan menggodaku," seruku serak.
"Kau menginginkanku, Orion." Tersenyum miring.
"Lantas, apa kau tidak menginginkanku juga?"
"Menurutmu?" godanya. Ia mencoba mengangkat kausku. Dan aku segera mencegahnya.
"Kau menolakku?" imbuhnya.
"Bukankah kau yang menolakku, dengan alasan cincin di jarimu itu?"
"Benar." Jari lentiknya mengelus rahangku. Hal itu menciptakan denyutan listrik yang menggairahkan.
"But i want you so bad. Always." lanjutnya lirih.
Hatiku senang mendengarnya. Aku tersenyum hangat membalas tatapan sedihnya.
"I'm yours, Princess. Lakukan apapun yang kau mau."
Shela mengangkat kausku hingga kini benar-benar bertelanjang dada. Gadis nakal itu mencumbu bibirku penuh tuntutan.
Namun, sebelum berlanjut lebih, dering ponsel miliknya begitu nyaring. Pangutan kami terlepas. Aku merasakan kehampaan. Aku tak suka jika Shela membuatku kehilangan seperti ini. Aku tidak rela.
"Dari Wiliam," katanya dengan lesu.
"Jawab saja. Dia calon suamimu," sindirku.
Shela menghela napas. Kupikir ia akan menjawab panggilan tersebut. Tapi nyatanya, benda itu ia matikan. Dan dilempar begitu saja entah kemana. Aku menatap bingung akan ulahnya.
"Aku akan berpura-pura jika ponselku hilang."
"Dasar kau ini." Senyumku merekah indah.
Gadis itu kembali menyerangku. Melumat hingga bunyi decapan memabukkan yang terus menglingkupi pendengaran kami.
"Emmhh ...," geramku tertahan.
Tangan gadis itu sudah sibuk membelai ke dua putingku. Sialan! Aku susah payah menahan diri agar tidak menerkamnya detik ini juga.
"Hmmhh ... kau nakal sekali, Shela." Lalu kukulum bibir yang telah bengkak karena ulahku itu.
Secara naluriah tanganku mencekik lehernya tanpa tekanan sama sekali. Meraba leher jenjang dan mulusnya itu.
"Enghh ... Orion," desahnya.
Kucumbu telinganya. Meniup sensual lubang telinga itu. Sebelah tanganku meremas pelan dada bulatnya dari luar dengan nafsu memuncak.
"Orion ... shh aaahh!" Meremat rambut belakangku.
Aku sengaja menghisap kuat di cekungan lehernya. Supaya ada tanda kepemilikan di sana.
"Aw!" adunya meringis tapi masih memejamkan mata.
Setelah puas mencetak beberapa noda kemerahan nyaris keunguan disekitar lehernya, sengaja kutatap wajah meronanya dengan intens. Hingga akhirnya Shela tersadar.
"Orion, please ...." Telapak tangannya yang mulus sibuk meraba dada sampai ke perut kotak-kotakku. Aku makin dibuat mabuk kepayang dengan raut terangsangnya.
"Orion ... Orion ...," pintanya memohon.
Kali ini gadis itu memelukku erat. Suaranya bergetar, ada linangan air mata di sana. Layaknya balita merengek meminta sesuatu untuk dikabulkan.
"Kita ke kamar?" tawarku sembari menenangkan birahinya. Pujaan hatiku ini menggeleng pelan. Ia membalas tatapanku.
"Di sini," ujarnya manja.
"Jangan nakal, Shela." Kukecup mesra bekas cupang buatanku.
"Ssshh ... emmhh."
"Kita ke kamar sekarang." Baru saja ingin kugendong, gadis itu lagi-lagi merengek hampir menangis.
"Di sini, Orion. Aku ingin di sini."
Menghela napas pelan. Dasar keras kepala. Susah sekali membuatnya mengerti.
"Baiklah. Tapi aku ingin melihatmu masturbasi sekarang."
"Apa??"
"Sentuh dirimu seperti biasanya jika aku tidak sampingmu. Aku ingin melihatnya." Kulumat kembali bibirnya dengan remasan-remasan kuat pada bukit kembar itu.
"Aaah ... nyeri. Shh enak." Ia meringis kemudian kembali mendesah.
"Shela?" panggilku serak.
"Enghh ... ba-baiklah. Asal kau berjan-ji, kali ini jangan menahannya lagi," jawabnya disela desahan.
"Aku ingin kau perkosa tubuh ini dengan keras dan kasar. Lampiasakan dengan benar padaku, Orion," lanjutnya dengan sayu. Aku hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.
"Orion ... uuuhh!" desahnya ketika mulai beraksi.
____________________
TBC