"Shela! Oh, shit!!"
Aku menghujam tubuh di bawahku ini dengan seenak yang kumau. Sesekali kutatap tajam dirinya yang sibuk mendesah sekaligus merintih pilu. Atau mungkin aku terlalu kasar padanya.
"Orion ... i-ini terlalu ... ssshh aaah." Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Aku gemas melihatnya tak berdaya seperti ini. Desahan menggairahkan darinya menambah kegemasanku.
"Fuck you, Shela!" Lalu kuhisap putingnya secara bergantian. Meremas kuat saking tak tahannya. Napasku memburu hebat.
"Aah, aahh, aaahh ...!" rengeknya kencang.
"Kemana Shela-ku yang binal itu, hmm? Sshh ... aaahh. Kemana perginya gadis nakal tadi?" ujarku berbisik sensual di telinganya.
"O-Orion ... a-aku mau keluar," rintihnya. Sudut matanya berair. Sepertinya ia menangis kembali.
Detik itu juga aku berhenti. Kami berdua tersengal-sengal kehabisan oksigen. Ini adalah momen bercinta yang paling berkesan bagiku.
"Uuh! Kenapa berhenti?" rajuknya.
"Ride me please, Princess," bisikku tepat di depan bibirnya. Lalu melumatnya dengan kasar dan menuntut. Kugigit gemas bibir bawahnya.
"Ooh ... aaahh. A-aku menyukai dirimu yang liar seperti i-ini, Orion," racaunya lagi untuk kesekian kali.
Aku hanya tersenyum miring, lalu mengangkat tubuhnya menjadi duduk di atasku. Sekarang, seorang tuan putri tengah menunggangi kudanya. Dan bersiap melakukan perjalanan panjang.
Kutampar kuat pantat kenyalnya. Sebagai tanda waktunya bergoyang. Aku yakin cap lima jari tengah tercetak kemerahan di sana.
"Aww! Aaahhk!"
Shela menggerakkan pinggulnya maju-mundur. Ke dua tangannya bertumpu pada dada bidangku. Melihat bukit kembarnya berguncang, membuatku gemas dan akhirnya meremas dan memainkan puting ranumnya.
"Oh yesshh! Uuh ... sexy," pujiku.
"I can't-- Orion! Aaahh ...!" jeritnya.
"Damn it!!" Shela mencapai puncaknya. Dan sialnya vaginanya menghisap juniorku dengan luar biasa. Lalu terasa ada yang mengalir keluar dari sela vaginanya.
Shela tumbang dalam pelukanku. Ia tak mampu menahan gejolak klimaksnya yang ke dua kali ini. Ia terkapar lemas dalam dekapan.
"Lelah?" tanyaku dengan suara serak. Ia menggeleng pelan.
"Boleh aku melanjutkannya?" lanjutku lembut sembari mengecup puncak kepalanya dengan penuh cinta.
"Kau kembali menjadi Orion kutu buku," kekehnya.
Aku tak menggubris lagi. Kubalikkan posisi seperti semula. Aku tepat di atasnya, mengukung dan akan menerkamnya sampai puas.
"Shela ... kau benar-benar! Aarghh!!" geramku lantara pinggulnya ikut bergoyang. Bila begini terus, tak lama lagi aku akan keluar juga.
"Ohh yaash! Yeaahh ...!" desahnya. Sepertinya Shela kemabali turn on.
"Menungging!" perintahku tegas.
Napasku memburu tak beraturan. Gairahku sudah berada dipuncak tertinggi. Shela tak membantah. Dengan perlahan menggeser tubuhnya hingga memunggungi tanpa melepaskan penyatuan kami. Gadis nakal ini benar-benar membuatku hilang akal.
Kupeluk pinggangnya erat dari belakang. Menarik rambut panjangnya dengan sedikit kasar, hingga berhasil membuat kepalanya mendongak. Memperlihatkan wajah binalnya dari samping. Tubuh kami sudah dipenuhi keringat. Kutampar lagi bokongnya.
"Aahkk! Aww! Sakit."
Kuremas buah dadanya dari belakang dengan kuat. Aku berharap sehabis ini tidak ada yang lecet atau terluka pada tubuhnya. Pasti aku akan sangat menyesal.
Pinggulku makin brutal menghujamnya. Terlebih, Shela mengerang kembali tak kala organisme ke tiganya telah tiba. Aku menggeram tertahan.
"Aarghh God! Vaginamu menghisap terlalu nikmat, Shela. Kau benar-benar binal."
"Huuuhh, aah!" Ia terus mendesah.
Ujung penisku berkedut. Rasanya batang penisku ini terasa membengkak. Seperti sebentar lagi akan memuntahkan laharnya.
"Shela!" bentakku. "Kau milikku!"
Lalu hentakan terakhir melepaskan terjangan sperma. Shela ambruk menelungkup. Aku kehabisan oksigen. Rasanya lelah sekaligus lega. Karena semua perasaanku telah tumpah dalam rahimnya. Aku tersenyum bahagia.
Kucabut juniorku dari lubang sempit itu. Dan dapat kulihat bagaimana sisa-sisa sperma mengalir keluar. Vaginanya juga tampak kemerahan. Senyum kemenanganku terbit. Lantaran baru menyadari aku tidak sedang memakai pengaman. Akhirnya, aku bisa menumpakan benihku dalam tubuh wanita yang kucintai.
Jahatkah bila aku berharap ia tak memiliki muka untuk melanjutkan pernikahannya. Dan memilih menjadi ratu dalam hidupku selamanya? Kurasa tidak. Atau harus kutunggu hingga benihku tumbuh menjadi bayi?
"Orion ...," panggilnya lemas. Aku tersadar dari lamunan.
"Aku di sini," jawabku dengan senyum menawan. Lalu kuangkat tubuhnya dan berpindah ke kursi. Meski kami sama-sama masih telanjang bulat.
"Tubuhku lengket," rengeknya manja.
"Kita akan mandi sekarang." Kukecup dahinya dalam-dalan. "Terima kasih untuk hari ini," lanjutku berbisik.
"Terima kasih, aku puas sekali. Kau memang sahabat terbaikku." Ia memlukku erat. Tak ada hal lain yang perlu kuucapkan.
"Orion," panggilnya lagi.
"Hmm?"
"Berjanjilah kau akan menghadiri pernikahanku bersama Wiliam. Jika kau tidak datang, aku bersumpah akan lari mengejarmu, lalu akan kupatahkan kakimu."
"Hahaa."
"Aku serius! Kau akan menyesal." Bibirnya mengerucut lucu.
"Ada atau tidaknya aku, kau tetap harus melanjutkan pernikahanmu, Shela." Tersenyum manis.
"Tidak! Aku tidak rela, Orion. Kau mau melihat mayatku? Itu akan terjadi jika kau tidak datang!" serunya mengancam. Kukecup singkat bibirnya.
"Bibir ini harus diajari, supaya bisa lebih sopan."
"Kaulah yang bisa melakukannya. Hanya kau, Orion," rengeknya manja.
"Mungkin sekarang. Kelak, suamimu yang akan melakukannya." Senyum tenangku masih tegar.
"Jangan bicara begitu," lirihnya.
"Tidak ada yang salah dari perkataanku, Shela."
"Aku tidak ingin kehilanganmu." Mendekap tubuhku erat. Aku merasa dadaku basah. Shela menangis.
"Kenapa?" tanyaku memancing.
"Tidak bisakah kau tetap bersamaku? Aku tidak bisa kehilanganmu, Orion."
"Ketika kau menikah, aku pun pasti juga akan menyusulmu. Kecuali ...." Sengaja menggantung.
"Kecuali apa?"
"Kecuali kau menikah denganku." Kutatap lekat bola matanya.
"Orion ...," lirihnya.
"Aku tau kau tidak mungkin bisa. Maka dari itu aku juga tidak bisa menjamin permintaanmu terwujud."
"Kau selalu menuruti keinginanku. Please ...." Sudut matanya berair.
"Ssstt ... jangan menangis. Aku tidak bisa melihatmu sedih, Shela."
"Kau tidak boleh meninggalkanku." Ia mulai sesenggukan kembali.
Menghela napas berat. Aku tak lagi menjawab. Membawa tubuh polosnya dalam kehangatan tubuhku. Mengelus punggungnya agar kesedihannya mereda. Karena aku begitu sadar, aku tak kuasa menolak keinginannya. Tapi aku tidak bisa tetap tinggal, sementara ia bersama orang lain. Aku tidak bisa seegois itu.
"Kita mandi. Aku tidak mau kau kedinginan." Sebelum aku beranjak, tangisnya kian kencang. Aku terdiam sejenak.
"Orion ... tetaplah ada untukku," pintanya.
"Apakah kau sadar, tadi kita bermain tanpa pengaman?"
"Ya, aku sadar." Ia membalas tatapanku.
"Tidakkah itu cukup untuk menjadi alasan kau memilihku?"
"Orion ...," lirihnya lagi.
"Shela, aku akan menjadikan kau ratu dalam hidupku," bisikku di depan bibirnya.
"Orion, kau tau jawabanku apa." Kepalanya menunduk.
"Baiklah." Tersenyum getir.
"Maafkan aku."
"Tidak masalah. Ayo kita mandi."
Kugendong tubuhnya menuju kamar mandi. Shela masih sesenggukan dan tak berani menatapku. Ia bersembunyi pada ceruk leherku.
Maafkan aku Shela. Semoga kau selalu bahagia.
___________________
ENDKelanjutan kisah mereka di sini, ya :)