"Hahaa!"
Tawaku membahan melihat bagaimana munafiknya Yuriko. Bibirnya terus memintaku untuk menghentikan semua ini. Tapi lihatlah pinggulnya berusaha menyambut kocokan jari tengahku.
"Dasar gadis bodoh! Kau mirip jalang saat ini, Yuriko," ledekku.
"Sudah ... sshh, hentikan ini-- ahh!" Tubuhnya tersentak ketika jari telunjukku ikut bergabung.
"Jalang, jalang, jalang!! Hahaa. Kau benar-benar murahan, Yuriko!"
"Aah, ah, ah, yeahh!" jeritnya tertahan.
Jariku maju-mundur makin liar. Aku tahu ia akan segera mencapai punjaknya, tapi aku sengaja berhenti. Dan tersenyum remeh ketika mata sayunya kentara meminta lebih.
"Kenapa? Kau sendiri yang meminta berhenti. Munafik!" semburku sarkasme.
Ia hanya diam sembari menggigit bibir. Aku tahu ia menahan diri untuk bersuara, lantaran umpatanku memang benar.
Aku melepaskan ikatan kakinya. Kini kakinya bisa bebas. Bebas untuk kulebarkan supaya lebih leluasa bermain pada lembah keramatnya. Haha!
Kaki sebelahnya kubawa untuk bertumpu di lututku. Membuat lembah dengan bulu lebat itu sedikit menganga. Kini dengan posisi jongkok, aku mengendus bibir vaginanya. Hal itu memmbuat tubuhnya menggeliat geli. Sesekali kutiup kencang. Tubuhnya pun menegang.
"Bagaimana rasanya jika lubang ini jebol? Atau ... jangan-jangan kau sudah tidak perawan lagi." Tersenyum miring.
"Sshhh," desisnya. Lalu kukecup ringan bibir vaginanya. "Engghh ... geli."
"Katakan, kau masih perawan atau tidak?" tanyaku serak. Hidungku kini menempel di vaginanya. Mencoba mengendus bau khas lembah itu lebih dalam.
"Lepaskan aku ... aku mohon," lirihnya. Dan hal itu kembali menyulutkan emosiku.
"Kau ini! Benar-benar minta dikasari."
Aku berdiri dan menampar wajahnya, hingga kepalanya menoleh ke samping dengan kuat.
"Mati saja kau!" lanjutku kalap. Tali pada lehernya kukencangkan. Matanya melotot karena kehabisan napas.
"To-tolong ... ahkk." Bahkan lidahnya mulai menjulur keluar.
"Habis kesabaranku! Jalang tidak tau diri! Masih untung kubuat kau melayang tadi. Harusnya kau berterima kasih, lalu memohon untuk kumasuki!!" pekikku tepat di depan wajahnya.
"A-ampun ... ehkk am-pun ...," bisiknya tak jelas.
Melihat lehernya memerah, wajahnya pucat pasi, dan bola matanya mulai memutih, langsung kugunting tali itu cepat. Yuriko hampir tumbang ke bawah, tapi dengan refleks kudekap tubuhnya.
Napasnya tersengal. Matanya terpejam sembari terbatuk-batuk. Aku menghela napas kesal. Dari awal niatanku hanya ingin bersenang-senang dengannya. Tapi dasar gadis itu saja yang kelewat bodoh. Dan terus menguji kesaranku.
Dengan perlahan kubaringkan tubuhnya dilantai. Karena terdengar ringisannya lantaran tangannya terikat di belakang, dengan berat hati kulepaskan. Tapi kuikat kembali ke depan. Hehe.
"Yuriko ...," panggilku lembut. Kumainkan ke dua putingnya supaya ia membuka mata.
"Enghh."
"Sadarlah. Aku tidak ingin bercinta dengan patung. Jadi buka matamu, dan mari mendesah bersamaku."
"Ayolah ... ayo kita saling mencumbu. Ayo kita saling bergoyang." Tak lupa menggoda klistorisnya supaya ia kembali terangsang.
"Emmhh, sshhh ...," desisnya panjang. Kini dadanya membusung ke depan.
"Oh yeahh! Kau sexy sekali," seruku antusias kemudian melumat bibir keringnya. Ada rasa amis sedikit. Mungkin karena noda darah bibirnya.
"Emhh ... Yusuke," rintihnya dengan kabut gairah.
"Wow! Akhirnya kau menyebut namaku, setelah sejak tadi kau terus mengelak."
"Ah! Masukan lagi," rengeknya sembari menjepit jariku.
"Wah, wah ... lihatlah dirimu, Yuriko. Kau ternyata bisa menekan harga dirimu menjadi rendah," kekehku mengejek.
Tanpa banyak basa-basi kubuka celana dan bajuku. Kulempar asal hingga kami berdua sama-sama tanpa sehelai benangpun. Tubuhku menjulang di atasnya. Menatap lapar pada wajah yang sudah berantakan, tetapi begitu ekspresif.
"Sebagian wajahmu memang hancur, tapi kau masih cantik, Yuriko," kataku serak.
Kucumbu kembali bibir robek itu. Kini ia membalas lumatanku. Tanganku aktif bermain pada dua bukit kenyal. Penisku sengaja menggoda vagina basahnya. Dengan cara menabrak pelan berulang kali. Apalagi sensasi geli dari rambut kemaluan kami masing-masing ketika menyatu.
"Uuh ... aku tidak sabar," seruku menjilat bibirku sensual. Ia menggigit bawah bibirnya sembari menatap pasrah padaku.
Kugenggam batang penisku. Tidak lupa menuntun ke dua kakinya mengangkang lebar. Sedikit menyibak bulu lebat itu. Membawa ujung penisku menyentuh tepat pada lubang Surga.
"Ooh ... aku masih menahannya," geramku.
"Ah, aahhh ...," desahnya memohon.
Aku sengaja menggodanya. Penisku sibuk menggesek lembut dari klistroris, lubang, dan sekitar bibir vaginanya. Dengan gerakan memutar dan sesekali acak. Jujur saja aku sudah tidak tahan dan ingin segera mencoblosnya.
"Sshhh ... Yusuke," rengeknya manja.
"Kau menginginkanku, Yuriko? Huuhh!" tanyaku tegas.
"Sshh, aahh ...." Tangan terikatnya mencoba meraih payudaranya.
"Kau menginginkan juniorku? Jawab!" Ia hanya mengangguk pelan disela desisannya. Kumasukkan sedikit ujung penisku pada lubangnya.
"Enggh!" Tubuhnya menggeliat gelisah.
"Kau tersenyum setiap kali kita bertemu, karena kau tertarik padaku? Mencoba menarik perhatianku?" Pinggulku bergoyang sedikit untuk membuat tubuhnya tersentak kaget.
"Aww!" ringisnya melebarkan mata.
"Ah ... jadi kau masih perawan." Mengangguk paham.
Kuberikan seringai keji. Tanganku menahan pinggulnya, dan sekali hentakan penisku melesak masuk hingga terbenam seluruhnya.
"Arghh ...!!" Yuriko berteriak kencang. Ia menangis histeris.
"Aahh! Luar biasa," pujiku setelah merasakan sensasi nikmat lantaran terasa ada yang robek di dalam sana. Kurasakan sesuatu mengalir.
"Wah ... keperawananmu sudah hilang sekarang, Yuriko." Aku tertawa bangga melihat darah mengalir keluar dari lubang vaginanya.
"Aku kagum sekali padamu. Bukankah di negara kita hal yang lumrah kehilangan segel? Teman-temanmu saja banyak yang sudah melakukannya. Lantas mengapa kau tidak?"
"Sakit ... ampuuun," rintihnya menangis pilu.
"Sakit sekali, ya? Maafkan aku. Sepertinya karena sejak tadi kau kesakitan, jadi pertanyaan-pertanyaanku tidak terjawab."
Setelah membiarkan penisku terbenam beberapa detik, kucoba menggoyangkan pinggul secara pelan.
"Uuhh ... sempitnya. Aah! Ah, ah, ohh yeahh," racauku dengan mata terpejam dan kepala mendongak ke atas.
"Sshh, enghhh ... e-enak," ucapnya terbata-bata.
"Enak 'kan? Haahh ... sshh memang enak sekali. Kau nikmat! Uhh."
Pinggulku mulai bergoyang cepat. Menatap bangga bagaimana kini kejantananku tengah keluar-masuk pada vagina Yuriko. Kuludahi lubang miliknya.
"Uuhh ... indahnya dirimu, Yuriko."
Mataku berbinar melihat tubuhnya pasrah di bawahku. Apalagi payudara sintalnya terguncang-guncang. Gemas sekali aku melihatnya.
"Aahkk!" jeritnya setelah kutampar sebelah bukit kembarnya lagi.
"Ooh, yeahh Yuriko. Kau menggemaskan sekali," pujiku tidak tahan. Hingga kugigit lehernya dengan beringas.
"Sa-sakit ... ahh!"
"Huuhh ... haahhh. Gemas, gemas, gemas!!" Pinggulku bergoyang lebih cepat.
Lalu jemariku naik memilin putingnya. Kugigit manja, lalu menjepit ganas. Ia mengerang kembali.
"Ahh, ah! Iyahh, iya, di situ, iya! Aahhh!!" Desahnya lebih kencang.
"Aku bisa gila, Yuriko. Uuuhh ... kau menghisapnya!"
Lantaran tidak tahan dengan kegemasan Yuriko, aku kembali mencekik lehernya. Padahal bekas lilitan tali masih membekas pekat. Tapi aku tidak tahan, karena saking geregetannya tanganku refleks menekan titik saraf hingga ia kesulitan bernapas.
"Uhuuk, uhuk! Ahh ... sshhh." Matanya terpejam dengan wajah kembali pucat.
Lihatlah, disaat keasakitan yang ia rasa, bibirnya masih mengeluarkan suara erotis itu. Apalagi dalam keadaan ketidakberdayaannya.
"Bagus, Yuriko, bagus. Tahan!"
_______________
TBC