Tawa renyahku menarik perhatiannya. Kukecup lembut bekas cekikan itu. Bahkan lehernya sudah tampak membentuk garis ikatan yang membiru. Ditambah tekanan dari jariku yang cukup kuat.
Meski ada perasaan bersalah, tapi aku tahu dalam kesakitan Yuriko, ada kenikmatan yang baru ia rasakan. Sensasi kepuasan dari sakit yang ia terima.
"Yuriko ...," panggilku mesra. Kuangkat tubuhnya hingga ia terduduk di atasku. Membawa kepalanya bersandar pada dadaku.
"Jangan menangis, Yuriko." Dekapanku kian erat.
"A-aku ... mi-minta ampun," lirihnya lalu kembali menangis pilu. Kubuat matanya membalas tatapanku.
"Sstt ... lebih baik kau bergerak sekarang. Cari kepuasanmu," perintahku lalu melumat lagi bibirnya.
"Enghh." Ia tersentak ketika sesekali pinggulku bergoyang. Sengaja, agar ia tergoda.
Perlahan Yuriko bergerak atas-bawah. Tangannya bertumpu pada bahuku. Aku benar-benar sedang memangku Yuriko. Dengan kelamin kami saling mencumbu. Ini sangat menggairahkan.
Aku terpana melihat kecantikan Yuriko dari bawah, meski sebelah wajahnya penuh luka. Begitu jelas rahang seksi dan leher putihnya. Tapi jadi lebih aduhai lagi lantaran memar-memar karena ulahku disekujur tubuhnya.
"Aahh ...," desahku pelan. Aku begitu terbuai dengan aksinya sekarang.
"Ah, ah, ahhh sshhh!" Yuriko sudah mendapatkan titik spot kenikmatannya. Dan ia bergoyang mulai tak sabaran.
"Uuhh ... kau menggemaskan, Yuriko." Mataku terpejam dengan tangan mencengkram pinggangnya.
"Sshh ohh! Aahh ...," rengeknya manja. Saking nikmat yang sedang ia rasakan, bulir air mata kembali jatuh.
"Gadis pintar," pujiku dengan memilin puting dan meremas payudaranya.
"Ti-tidak tahan ah! Sshh tolonghh ...." Tangannya melingkar di leherku. Ia mendesah dalam cekungan leherku.
"Yashh! Huuhh ... ini gila, Yuriko. Terlalu nikmat. Kau sangat pintar. Kau snagat menggemaskan!" Kugigit bahunya cukup kuat. Ia kembali berteriak hingga membuat kepalanya mendongak.
"Aahkk! Sa-sakit ...."
"Rasa sakit adalah awal dari kenikmatan, Yuriko. Haahh ... co-coba kau rasakan itu," seruku disela desahan.
"Aahhh!"
Yuriko kembali mengeluarkan suara erotisnya, tak kala pinggulku menyambut hentakannya. Aku tersenyum penuh kemenangan.
"Ohh yeahh ... kau mengerti sekarang 'kan?" Kembali mengulum bibirnya dengan kasar.
"Kau mengerti??" ulangku tegas. Dan ia hanya mengangguk lemah.
"Sial! Kau pintar sekali bergoyang, Yuriko. Aku jadi menahan diri untuk tidak kembali menamparmu. Uuhh!"
"Ohh!!" jeritnya ketika pelepasannya tiba
"Sialan kau Yuriko!!" bentakku geram lantaran batang penisku dihisap habis-habisan. Aku bisa gila sungguhan jika begini.
"Huhh hahh enak," gumamnya lalu bersandar di dadaku.
Meski aku gemas ingin menjambak rambutnya, tapi dalam diriku berusaha mengontrol itu semua. Mengepal kuat tinju. Lalu mengelus punggung polos penuh keringat itu.
"Enak?" tanyaku serak. Ia mengangguk pelan. Kemudian semakin menyamankan diri dalam dekapaku. Hal itu membuat senyumku melebar.
"Pipimu masih terasa sakit?" Dan lagi-lagi ia hanya menjawab dengan anggukan pelan.
"Tapi semua rasa sakitmu sudah terbayarkan oleh kenikmatan Surga dariku. Benar 'kan?" Kuremas pelan bokong bulatnya. Yuriko kembali mengiyakan tanpa suara.
"Jadi tidak ada lagi alasan kau untuk menolakku, setelah merasakan betapa nikmatnya penis ini," kekehku mengejek.
Kuangkat kepalanya. Menatap tajam mata indahnya. Lalu mengecup super lembut pada bibir ranumnya. Luka robekan pada sudut bibirnya mulai mengering. Yuriko kembali mengeluh setelah jari-jariku menjepit putingnya.
"Enghhh!"
"Aku belum mengeluarkan benih ke perutmu." Tanganku mengelus perutnya. Ia menggeliat geli.
"A-aku lelah," bisiknya takut. Senyumku merekah.
"Biar aku yang bekerja. Tugasmu sekarang cukup mendesah. Aku suka dengan suara seksimu." Mengecup leher kebiruannya.
"Emmhh!"
"Hadap belakang!" perintahku.
Yurko memutar tubuhnya menjadi membelakangiku. Kubawa ia kembali duduk bersandar padaku. Tanganku memeluk perutnya, lalu naik ke atas menangkup buah dadanya. Menggoyangkan dua bukit itu seperti bola.
"Sshh ...." Ia mendesis nikmat. Kulumat lehernya dari belakang, lalu sebelah tanganku berpindah ke bawah. Dimana begitu terasa lembah itu banjir.
"Uuhh!" Dadanya membusung ke depan, setelah kugesek klitorisnya.
"Jalang, aku ingin memasukimu dengan kasar!" geramku tepat di telinganga.
"Sshh ... ohhh." Ia terus mendesah karena tanganku semuanya aktif membuat tubuhnya bertekuk lutut. Meremas dadanya tanpa berhenti, dan mengocok vagina basahnya dengan brutal.
"Bahkan pikiran liarku terus meminta kau bersikap adil. Adil pada apapun di ruangan ini." Aku tertawa jahat ketika memikirkan ribuan ide gila di dalam kepala.
"Kau lihat balok kayu itu? Dia seperti ingin merasakan vaginamu yang luar biasa ini." Kocokan jariku memelan.
"Shhh Yusuke ...," panggilnya memohon.
"Lihat kursi rusak itu. Uuhh ... aku ingin tau bagaimana kelihatannya benda itu maju-mundur di dalam sini." Kocokan jariku kembali cepat.
"Uh, ahh, iyahh ... teruus ah! Oh, oh, ya, ohh!!" racaunya tak bisa menahan hujaman dua jariku.
"Atau ... kubedah saja tubuhmu. Aku ingin tau cara kerja vaginamu secara langsung. Kau sangat nikmat, Yuriko." Kuremas kuat dadanya lalu menjambat rambutnya sekuat tenaga.
"Aaaarghhh!! Sakiiiit ...!!" teriaknya begitu panjang.
"Sakit? Apa benar? Kau pasti berbohong." Tiga jariku kini dengan tanpa perasaan keluar-masuk dengan brutal. Tapi jambakan pada rambutnya juga kian kencang.
"Sakiit!! Uhh!"
"Haha! Kau menjerit sakit, tapi kau juga mendesah nikmat. Jadi, kau kesakitan atau keenakan?" tawaku mengejek.
"Uuh ... sakit, enak," racaunya gila.
"Sakit tapi enak? Haha. Sekarang aku akan mulai bekerja. Bersiaplah!"
Kuangkat pinggulnya sedikit, agar penis yang sejak tadi belum tidur siap bertempur kembali. Dan ... masuk! Pinggulku langsung membuat tubunya terguncang hebat.
"Sialan!! Dari belakang lebih terasa ... uuhh aahh!" desahku tak tahan.
"Aahhhh!" Yuriko terlihat sudah tak mampu membendung kenikmatan ini.
"Ayo kita tuntaskan, Yuriko. Ohh yeahh!" Penisku menghujam makin cepat, lebih cepat, kian cepat.
"Ahh, ah, ah, ahh." Tubuhnya terguncang-guncang dengan suara erotis yang hampir membuatku keluar.
"Ayo, jalang! Ayo keluar bersama. Uhh! Jika sampai aku keluar lebih dulu-- ahh! A-akan kupastikan balok kayu itu menyodok vagina nikmatmu ini!"
"Aahhhh ...!" desahan panjang serentak keluar dari mulut kami.
Aku ambruk ke lantai, begitu pula Yuriko. Kami saling berpelukan. Kubuat Tubuh Yuri menghadapku. Lalu kembali kumasukkan kejantananku.
"Uuhh!" Yuriko melnguh.
"Aku hanya ingin tidur, dengan penisku di dalam sarangnya."
Yuriko tak menjawab. Tubuh kami sudah sangat lelah dan lengket dengan keringat. Baru saja akan terlelap, sebuah suara menggema dalam kepalaku.
"Yusuke ... Yusuke!"
Suara itu begitu nyata. Tapi saking lemasnya tubuh ini, aku jadi enggan membuka mata.
"Bangunlah, Yusuke. Yusuke!"
Mataku terbuka secara perlahan. Mengerjap pelan, menyesuaikan cahaya dari jendela.
"Akhirnya kau bangun juga." Seorang wanita paru baya berpakaian serba putih tengah tersenyum keibuan padaku.
"Sepertinya kau butuh mandi," lanjutnya menatap tubuhku.
Aku melihat dengan jelas tubuhku tanpa sehelai benangpun. Aku sedang berada di atas ranjang putih, dengan kain seprainya yang basah. Ternyata tanganku sedang menggenggam penisku sendiri. Dan carian basah itu adalah spermaku.
"Kau onani lagi. Aku sudah katakan padamu, terlalu sering melakukan onani itu tidak baik, Yusuke."
Aku masih bingung dengan apa yang terjadi. Karena aku tidak melihat Yuriko di ruangan serba putih dan pengap ini. Aku sedang berada dimana? Seolah rasanya aku sedang dikurung.
"Ayo, kubantu kau membersihkan dirimu. Karena dokter Yuriko akan datang memeriksamu sebentar lagi."
"Do-Dokter Yuriko?" ulangku memastikan. Wanita yang mirip perawat itu tersenyum lembut.
"Iya, kau bilang ingin cepat sembuh dan kembali ke sekolah. Kau harus patuh padanya, dan tidak boleh lagi membuang obatmu."
"Aku sakit apa?" tanyaku masih kebingungan.
"Oh, tidak-tidak. Kau tidak sakit. Kau hanya perlu sedikit perawatan." Senyumnya penuh arti. Aku jadi curiga.
"Perawatan?" ulangku lagi semakin bingung.
"Sepertinya dia masih berhalusinasi," gumam wanita itu. "Baiklah, kita mandi sekarang. Dokter Yuriko pasti senang jika kau wangi. Ayo!" lanjutnya mengajakku beranjak.
______________
END