16. Sweet Pea (End)

31.7K 436 41
                                    

Pendingin ruangan terasa tak cukup membuat tubuh kami tenang. Banjir keringat, wajah yang memerah, menandakan betapa panasnya adegan ini.
 
"I'm giving all my love to you, Baby. Take it! Its all yours. Haahh ...," ujarku sayu. Kami saling menatap. Kucengkram kuat pinggulnya. Ke dua bukit kembarnya berguncang cepat.
 
"Ahh! You're mine. Sshh uuh!" Jasmine berpegangan kuat pada lenganku. Napasnya putus-putus. Tapi saat ini gadis polosku sudah benar-benar hilang.
 
"Arghh! Aku bisa gila, Jasmine. Tububmu benar-benar-- fuck!"
 
Kembali melumat kasar bibirnya. Meski telah bengkak, tapi entah mengapa bibir manis itu begitu candu. Selalu dan selalu ingin kusentuh.
 
Pinggul kami bergoyang berlawanan arah. Serasa tiap hentakannya benar-benar tembus makin dalam. Bahkan layaknya ujung, penisku menabrak sesuatu. Dan Jasmine tampak sangat kelelahan sekaligus gelisah. Gadis itu mulai menemukan puncaknya.
 
"Huuhh ... melelahkan. Andai bisa setiap hari seperti ini denganmu, Baby. Arggh!"
 
"Ahh, ah, shhh Daniel ... a-aku mau-- ohh yashh!!"
 
"Emhh ... mau apa? Uuhh." Kepalaku mendongak lantaran hujamanku makin cepat. Aku mencoba membagi konsentrasiku.
 
"Iyaahh terus ... di situ. Please, iya, yashh aahh!" rancaunya tak karuan.
 
"Jasmine ... ini luar biasa!" Aku gemas dengan kenikmatan ini. Kugigit lehernya kuat.
 
"Ahhkk! Sakit shhh."
 
"Haahh huuh ...," desahku tanpa perduli ringisannya.
 
Sampai mataku terpejam dan cengkraman pada pinggulnya sangat kencang. Tak kala pelepasan Jasmine tiba. Vaginanya menghisap terlalu nikmat. Hingga membuatku menahan diri dari geram ini.
 
"Aahhh ... ahhh."
 
"Sebentar lagi aku sampai. Uhh!"
 
Aku ingin segera mengejar puncakju juga. Menyusul kepuasan Jasmine. Ritme hentakan yang lebih cepat lagi. Aku tak perduli jeritan Jasmine yang tak siap menerima kebrutalanku. Aku hanya ingin mengejar klimaks dengan segera.
 
"Ahh, ahh ah, Daniel, ahh!"
 
"Shit! Arghh ...!!"
 
Dengan cepat mengeluarkan batang penisku, lalu mengocoknya kembali ke atas perut Jasmine. Karena aku masih waras untuk tidak bertindak ceroboh.
 
"Ahhh arghh!!" Akhinya lahar itu banjir mengotori perut sampai dadanya.
 
"Haahh ...," desahku lega. Menghirup rakus oksigen. Tubuhku lelah sekali. Kupikir Jasmine merasakan hal yang sama.
 
"Lelah?" tanyaku. Ia hanya mengangguk pelan. Matanya terpejam.
 
Aku bangkit. Berinisiatif mengambil tisu dan membersihkan tubuh polosnya. Samar-samar senyum puasku terbit. Pemandangan yang begitu luar biasa ini, mampu membangkitkan libidoku kembali. Tapi aku harus sadar, kami berdua sudah memakan waktu cukup lama di dalam ruanganku.
 
Resiko yang terlalu tinggi. Bahkan rasanya kami terlalu berani melakukannya lagi di tempatku bekerja. Setelah Jasmine tampak bersih, kututup tubuh lengketnya dengan selimut. Ia kelelahan. Pasti butuh tidur.
 
Kupungut pakaianku dan segera memakainya kembali. Merapikan diri dan sisa-sisa kekacauan di ruangan ini. Meski sebenarnya aku butuh air untuk mandi, tapi akan lebih memakan waktu semakin lama.
 
Baru saja ingin membangunkan Jasmine sejenak, untuk sekadar membuatnya berpakaian kembali, sebuah ketukan pada pintu berhasil mengejutkanku.
 
"Tidak sempat lagi," gumamku melihat Jasmine yang terlelap nyenyak.
 
Sebisa mungkin kusingkirkan bukti mencurigakan. Merasa cukup aman, aku mulai mengatur napas. Membenarkan rambut, dan mencoba bersikap santai. Kemudian kubuka pintu tersebut.
 
"Daniel, kenapa lama sekali membukanya? Aku juga meneleponmu, tapi tidak kau angkat," sembur Clara.
 
"Maaf Clara, aku tertidur di meja kerjaku."
 
"Kau tau, aku pikir kau ke-- oh, itu ... Jasmine 'kan?" Matanya menangkap tubuh yang tenggelam oleh selimut.
 
"Ah ... iya, benar. Jasmine tadi ke sini ingin merayakan ulang tahunnya. Setelah selesai, dia malah tertidur," kilahku separuh benar.
 
Karena memang sebelumnya kami sedang merayakan ulang tahun. Bahkan kue yang belum tersentuh itu masih terpajang di atas meja. Jadi tidak ada yang salah.
 
"Kau sangat dekat dengannya." Clara tersenyum tipis.
 
"Tentu. Aku adalah dokter pribadinya," balasku sopan.
 
"Hmm ... baiklah, aku ke sini karena ingin meminta bantuanmu."
 
"Katakan."
 
"Lima belas menit lagi adalah jadwal operasiku dimulai. Aku minta tolong periksa salah satu pasienku yang baru saja sadar pasca operasi. Aku tidak bisa memantaunya."
 
"Baiklah. Akan kuperiksa."
 
"Terim kasih, Danniel." Aku tersenyum ramah sebagai jawaban. Ia sempat melirik Jasmine sekilas, lalu keluar.
 
"Baiklah, kau di sini dulu, ya. Aku harus bekerja sebentar," bisikku lalu mengcup keningnya lembut. Meski aku tahu Jasmine tidak mungkin tahu. Ia sedang tenggelam dalam mimpinya.
 
Langkahku perlahan keluar dari ruangan. Lalu menyusuri lorong menuju kamar pasien Clara. Ketika di persimpangan, entah aku yang salah lihat atau tidak, seperti ada punggung yang baru saja lenyap ke ujung lorong kiri.
 
Tapi rasanya mustahil. Sosok itu belum kembali. Aku pasti hanya salah lihat saja. Dan kakiku pun kembali melangkah.
 
Setelah menemui pasien dan memerimsa keadaannya, aku dengan cepat kembali ke ruang kerjaku. Aku sudah merindukan Jasmine.
 
Namun, bagai petir menyambar, aku terkejut setengah mati setelah melihat kerumunan para karyawan rumah sakit, sedang berada di depan pintu ruang kerjaku yang terbuka.
 
"Dasar jalang! Kau pasien yang tidak punya malu!!"
 
Teriakan itu langsung membuatku berlari cepat, menembus kerumunan. Dan serasa detak jantungku berhenti. Tak kala kudapati Jasmine dijambak dan dipertontonkan seluruh tubuh polosnya pada khalayak ramai. Dengan gerakan cepat kututup pintu ruanganku.
 
"Jalang!! Mati saja kau!" Wanita itu kembali menghajar Jasmine membabi buta.
 
"Stop, Stefana, stop!" Kutarik paksa wanita itu menjauh.
 
"Apa?! Berhenti katamu?? Aku ingin memberi pelajaran pada jalang ini. Berani-beraninya dia tidak memakai sehelai benangpun di ruanganmu, Danile!!" hardiknya.
 
"Tenang, Stefana. Ini rumah sakit!" tekanku.
 
"Tenang?! Kau gila, Daniel. Bisa-bisanya kalian 'tidur' di sini, di rumah sakit milik ayahku!" jeritnya kacau.
 
Kulirik Jasmine. Gadis itu sedang sesenggukan dengan raut berantakan. Ia mencoba memakai kembali pakaiannya. Pemandangan itu membuat hatiku tercabik-cabik.
 
"Stefana, tenangkan dirimu. Jangan seperti ini, sayang ...," lirihku mencoba menenangkannya.
 
"Kau tega padaku, Daniel. Kita sudah tunangan, tapi kau malah mengkhiantiku!" Stefana meraung histeris. Dan aku mengerang frustasi.
 
"Aku ... aku--"
 
"Bukankah dia pasienmu? Lantas bagaimana bisa kau malah bersamanya?! Apa selama ini kau membohongiku, Daniel?? Jawab!" potongnya tegas.
 
"Stefana, tunggu dulu. Biarkan aku menjelaskan semuanya--"
 
"Bajingan! Kau benar-benar tidak punya malu. Bahkan dia terlalu muda untukmu, Daniel!"
 
Satu tamparan kuat berhasil mendarat di pipiku. Perih, tapi tak seberapa dengan sakit yang dirasakan Jasmine tentunya.
 
"Aku tau, aku salah. Tapi kumohon, Stef, tenangkan dirimu. Kau boleh salahkan aku, tapi tidak Jasmine. Aku yang menggodanya, aku yang salah."
 
Aku mencoba memeluknya, tapi gagal. Stefana mendorong tubuhku kuat, lalu satu tamparan lagi mendarat kembali.
 
"Apa aku kurang bagimu? Atau ... kau memang tidak mencintaiku selama ini? Kau menyukai jalang itu?!" bentaknya lagi.
 
Sebelum kujawab, Jasmine berlari keluar dengan deraian air mata. Refleks kakiku bergerak ingin menyusulnya, tetapi Stefana menahanku.
 
"Kau mau mengejarnya, Daniel? Begini caramu membalas pengorbananku selama ini padamu?! Kau tidak tau terima kasih!"
 
Aku menggeram kesal dengan situasi ini. Aku tidak bisa membiarkan Jasmine pergi seperti itu begitu saja.
 
"Daniel!!" panggilnya murka. Aku membuang napas kasar. Mencoba tidak ikut terbawa emosi.
 
"Stefana, Jasmine masih pasienku. Dia harus di dalam pengawasanku. Aku tidak boleh membiarkannya berlari seperti tadi."
 
"Kau--"
 
"Sayang, aku janji akan menjelaskan semuanya padamu. Tapi tidak sekarang. Jasmine dalam bahaya," potongku lembut sekaligus frustasi.
 
"Kau tega, Daniel ...." Tangisnya pecah. Kubawa tubuhnya dalam pelukan.
 
"Tunggu aku, akan kujelaskan semuanya nanti."
 
Kemudian aku memantapkan hati meninggalkan Stefana. Seorang kekasih sekaligus tunangan. Sosok yang selalu ada dihidupku. Tapi sayang sekali, perasaanku sejak dulu rupanya tidak berubah. Bahwa Stefana adalah sahabat yang menyenangkan. Aku ... aku terjebak pada power yang ia punya. Aku selalu merasa berhutang pada kebaikannya.
 
Seolah takdir memang tidak berpihak. Ketika di depan mataku sendiri, kerumunan orang di sekitar jalan menarik atensiku. Di saat itulah, serasa bumi berhenti berputar. Kakiku terasa lemas. Tak kala tubuhnya terkapar di tengah jalan dengan banyak genangan merah yang telah menjalar kemana-mana.
 
"Ja-Jasmine ...."
 
__________
 
END

Sweet Pea merupakan bunga berbentuk mirip kupu-kupu. Cantik dan beraroma manis. Maka disebutlah Sweet Pea.

Sweet Pea memiliki arti mendalam; selamat tinggal, kedatangan, kepuasan, dan bermakna suatu ungkapan ”Terima kasih untuk saat-saat yang menyenangkan”.

Dan Jasmine secantik itu.

LIBIDOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang