29 •• Kabar Yang Terdengar ••

16 10 2
                                    

Menunduk. Benedict memandang bayi mungil yang tertidur di dadanya. Pagi tadi Luna membantunya memasang gendongan kain di tubuhnya. Bersama dengan Brian yang begitu tak ingin berpisah darinya.

Sebelumnya, Benedict menggendong di punggungnya dan benar-benar membuat sekujur tubuhnya sakit. Mencoba mengganti posisi gendongannya ke depan, namun rupanya hal itu justru membuatnya hampir berkali-kali terjatuh saat membungkuk. Bahunya juga terasa seperti patah.

"Itu Brian?"

Menoleh. Ia kemudian mengangguk. Rasanya sudah hampir tak memiliki tenaga lagi untuk menjawab dengan bersuara. Ia benar-benar lelah.

"Manisnya..." Mengulurkan tangannya menyentuh pipi gempal bayi itu, Delsha kemudian tertawa kecil.

"Ada tanda lahir di bawah matanya, ya? Ataukah itu tahi lalat? Mirip seperti Hunus, ya?"

Mengangguk lagi, Benedict kemudian menghela nafas sebagai tanda lelahnya. "Brian memang mirip seperti Hunus. Mungkin karena dia penerusnya?" Ia menaikkan sebelah alisnya sebagai tanda tak mengerti dengan ucapannya sendiri.

"Begitu? Tapi... Jadinya justru tidak mirip denganmu, ya? Padahal kata Luna kau ayah mereka, kan? Haha..."

Sejenak, pria itu menyadari maksud ucapan gadis di sampingnya. Ia kemudian menunduk. Memperhatikan bayi laki-laki di gendongannya.

"Wajahnya sama sekali tidak mirip Hunus. Hanya kebetulan letak tanda lahirnya ada di bawah mata." Ia bergumam pelan menanggapi ucapan Delsha.

'Tapi mereka juga sama sekali tidak mirip denganku.' ia mengeratkan dekapannya pada Brian. Memeluk bayi laki-laki itu dengan begitu erat.

"Begitu? Aah... Baiklah..."

Menoleh. Pria itu memperhatikan wajah kecewa yang Delsha tunjukkan. Gadis yang kembali memperhatikan penduduk desa di hadapan mereka.

"Kenapa tiba-tiba mengatakan hal seperti itu?"

***

Menerima uluran Benedict padanya, Luna kemudian memeluk bayi laki-laki yang tampak merengek kelaparan itu. Memberinya kecupan beberapa kali sebelum ia mendudukkan dirinya di kursi.

"Aku akan istirahat." Ucap Benedict sambil memijit tengkuknya yang pegal.

"Ya! Tadi aku meletakkan Bian dan Billy di ranjang. Sebentar aku—"

"Di rumahku."

Luna terdiam mematung mendengar kata yang diucapkan Benedict padanya. Ada rasa terkejut saat mendengar suaranya.

"Ya?"

"Maksudku, aku akan beristirahat di rumahku sendiri. Jadi... Kau tidak perlu membereskan kamarmu. Aku pulang."

Dan pria itu melangkah meninggalkan rumahnya tanpa ada kalimat tambahan lagi. Hanya pergi begitu saja bahkan tidak kembali menoleh sekedar untuk memberi salam pada bayi di gendongannya meskipun sudah berjalan cukup jauh. Biasanya, Benedict pasti akan menoleh ke arahnya lagi meski hanya untuk sekedar melambaikan tangannya pada bayi yang dia gendong.

Tapi sekarang, bahkan sekedar menoleh. Pria itu bahkan langsung memasuki rumahnya begitu saja.

Benedict biasanya akan bangun dari istirahat setelah setengah jam tidur. Dan kemudian membantunya melakukan apapun.

Mencuci peralatan makan, mengangkat pakaian si kembar yang sudah kering di jemuran, atau mengajak salah satu dari si kembar jalan-jalan berkeliling desa.

Namun matahari sudah tergelincir. Bulan pun tampak begitu terang mengalahkan matahari. Tapi pria itu sama sekali tak muncul ke rumahnya.

Luna melihat Benedict menyiram tanaman di depan rumahnya sendiri sebelum benar-benar gelap tadi. Gadis itu pikir, Benedict akan segera menghampirinya setelah urusan rumahnya rampung.

My Empress | CIXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang