CHAPTER 4 : Family Lunch

9 5 1
                                    

" Nunggu lama ya? Kalian berdua siapa? Dia cewek gue,"

Dika menatap Mutiara dan dua cowok tak dikenal secara bergantian saat ia telah berdiri di samping Mutiara. Dua cowok itu perlahan mundur menjauh ketika Dika mulai menatap garang.

" Santai bro. Kita cuma mau nawarin tumpangan aja," ujar salah satunya. Ekspresi Dika masih tetap garang hingga dua cowok itu menghilang dari hadapan Mutiara dan Dika. Setelahnya, Dika kembali dengan wajah santainya yang tampan.

" Makasih ya Kak,"

" Nggak masalah. Lo ngapain disini sendirian?" tanya Dika santai- berbeda dengan Mutiara yang membeku di tempat.

" Mau cari angkot tapi nggak lewat-lewat,"

" Yaudah gue anterin," Dika langsung menyambar tangan Mutiara dan menariknya. Mutiara yang masih membeku terpaksa berjalan dengan pikiran kosong.a

" Naik," Dika membukakan pintu mobilnya. Mutiara yang masih linglung tidak segera merespon perintah Dika.

" Lo sakit?" karena curiga, Dika menempelkan punggung tangannya di jidat Mutiara. " Nggak panas. Tapi muka lo merah," lanjutnya.

" Ah, nggak lagi sakit kok Kak. By the way, nggak papa nih nganterin aku pulang?" tanya Mutiara ragu.

" No problem,"

" Maaf ya Kak, ngrepotin. Dan makasih juga. Aku masuk ya," izin Mutiara sebelum masuk ke mobil Dika. Biasanya Mutiara tidak malu-malu seperti ini. Dia orang yang banyak bicara dan suka ceplas-ceplos. Tapi dengan Dika, dia sepertinya lebih sering diam membeku.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

" Makasih banyak ya Kak Dika," Mutiara lekas membuka pintu mobil Dika. Bukannya langsung masuk ke dalam rumah, Mutiara malah berjalan ke sisi mobil yang lain.

Tok tok tok!

Kaca jendela terbuka dan tampak jelas wajah Dika lengkap dengan senyumannya. " Hmm?" tanyanya.

" Kak Dika nggak mau mampir dulu? Ibu kebetulan masak banyak,"

" Boleh?" tanya Dika semangat. Mutiara lantas mengangguk mantap.

Langsung saja Dika turun dari mobil dan mengikuti Mutiara masuk ke dalam rumah. Sederhana menurut Dika. Mungkin rumah Mutiara ini hanya sebesar garasi mobil milik Dika. Tapi menurutnya, rumah ini sangat bersih dan nyaman dengan nuansa putih tulang yang klasik.

Dan disinilah Dika sekarang. Duduk bersama Mutiara dan kedua orang tuanya di meja makan. Dika dapat menyimpulkan satu hal yang pasti dari suasana meja makan saat ini.

Ya. Keluarga bahagia.

Dika tinggal sendirian di rumah mewahnya. Orang tuanya lebih sering menetap di luar negeri karena bisnis. Kehangatan meja makan saat ini membuat Dika merindukan kedua orang tuanya.

" Nak Dika kok diam saja," celetuk ayah Mutiara yang menyadari lamunan Dika.

" Masakan tante nggak enak ya?" tanya ibu Mutiara menambahkan.

Dika tersenyum tipis dan mengangkat kepalanya yang tertunduk.

" Enak banget tante. Dika mau nambah boleh nggak?"

" Tentu saja!" ibu Mutiara yang bersemangat dengan segera menambahkan nasi dan beberapa lauk di piring Dika.

Meja makan kembali sunyi. Semua orang menikmati masakan ibu Mutiara yang menurut Dika kelewat enak. Entah benar-benar enak atau Dika yang sudah lama tidak makan masakan rumahan.

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

" Nak Dika gimana sekolahnya?" tanya ayah Mutiara saat mereka berdua duduk di pekarangan rumah Mutiara.

" Baik om. Saya aktif di organisasi," ujar Dika.

" Bagus itu," ayah Mutiara memberikan satu jempolnya. " Terimakasih ya nak Dika tadi sudah menolong Tiara," lanjutnya sambil tersenyum lebar. Hati Dika menghangat. Ia dapat merasakan betapa sayangnya ayah Mutiara kepada putri semata wayangnya itu.

" Sama-sama om. Sudah kewajiban Dika untuk menolong," ujar Dika.

Hening kembali. Antara Dika dan ayah Mutiara tidak ada yang terlihat akan mengawali percakapan lagi. Dika melirik jam tangannya. Hampir jam lima sore. Setelah mengumpulkan niat dan keberanian, Dika membuka suara, berpamitan sewajarnya.

Mutiara dan kedua orang tuanya mengantar Dika hingga depan pagar. Ibu Mutiara membawakan paper bag berisi beberapa kotak lauk untuk Dika. Dengan sorot matahari sore, Dika pulang dengan perasaan hangat. 

.

tbc

POISONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang