Lama aku menatap punggungnya yang semakin membawa Huri menjauh. “Apa Bibi sengaja melakukan hal ini?” tanyaku sambil melirik ke arahnya yang telah berdiri di sampingku.
“Dia tidak akan memahami perasaanmu jika hal yang sama tidak terjadi kepadanya. Bibi hanya ingin memastikan, seperti apa jadinya suamimu itu, saat Anaknya tidak mengakuinya sebagai Ayah di hadapan semua orang-”
“Tapi hal ini dan hal itu, berbeda. Bibi pasti mengetahui hal tersebut dengan sangat jelas.”
Kepala Bibi mengangguk oleh ucapanku yang memotong perkataannya. “Tujuan Bibi membawanya, sama persis seperti yang Bibi katakan sebelumnya. Walau Bibi tidak memiliki anak, tapi Bibi tahu seperti apa rasanya mengkhawatirkan anak kita. Yang Bibi maksudkan, disaat kau dulu sedang hamil Huri … Kepala Bibi terasa kacau, karena Bibi tidak bisa mengetahui kondisimu. Apa Sachi baik-baik saja? Bagaimana kalau dia kesakitan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang terlintas-”
“Bibi memahami perasaanmu, karena itu juga Bibi dengan terpaksa membawanya ke sini. Lagi pula Sachi, bukankah lebih baik kalau kita menikmati semua ini? Kau membutuhkan makanan untuk mengisi perutmu seperti manusia yang lain,” sambung Bibi dengan mengangkat tangan kanannya, seakan memintaku untuk segera berjalan.
Aku berjalan, mendekati barisan makanan bersama Bibi yang turut berjalan di sampingku. “Bibi, jika para Elf tidak terlalu membutuhkan makanan … Kenapa di rumahmu dulu terdapat busur panah?”
“Sebenarnya, itu busur yang aku temukan di hutan. Bibi mengambilnya lalu belajar menggunakannya, karena melihat kalian selalu berlatih menggunakan benda tersebut. Berburu bersamamu, itu menjadi impian Bibi … Jadi kau paham, bukan, kenapa dulu Bibi mengajakmu untuk berburu,” ungkapnya dengan ikutan duduk di tengah-tengah penduduk suku.
Mataku, sesekali bergerak untuk melirik beberapa laki-laki yang diam-diam memandang Bibi saat aku sendiri sudah duduk di sebelahnya. Rambutnya yang panjang terurai itu, terlihat sangat indah tanpa patahan ataupun kerusakan yang menyelimutinya. Kulitnya putih layaknya susu, dengan bibir kecil berwarna merah muda yang terlihat sangat selaras dengan bulu mata panjanganya, meriasi bola matanya yang hijau.
Bibi termasuk Elf tercantik dari sekian banyak Elf yang aku temui. “Bibi, apa Bibi tidak berniat untuk menikah?”
“Jangan seperti Kakekmu, Sachi! Yang sedikit-sedikit memaksaku untuk menikah,” gerutunya sambil mendongak, sebelum akhirnya dia menghela napas yang panjang, “aku tidak ingin kebebasanku terenggut karena menikah. Jika aku menikah, aku akan kesulitan pergi ke mana pun tempat yang aku inginkan. Aku tidak bisa membayangkannya kalau harus menjalani kehidupan abadiku ini seperti itu,” ungkapnya kembali, dengan kali ini sedikit beranjak meraih buah yang ada di depanku.
“Kau menyia-nyiakan kecantikanmu, Bibi.”
“Aku akan tetap cantik seperti ini walau kalian nanti telah menua. Kecantikan ini sudah menjadi milikku sejak beratus-ratus tahun yang lalu,” ucapnya dengan memangku wajah sambil tersenyum menatapku.
Dia tertawa oleh decakan lidahku mendengar perkataannya. “Aku merasakan kehadiran Ibumu mendekat ke sini,” sambungnya, sembari menggerakan kepalanya untuk menoleh ke belakang.
Aku mengikuti arah pandangannya, lalu ikut berdiri seperti Kakek, Paman dan yang lainnya … Menyambut kedatangan kedua orangtuaku dengan barisan puluhan pasukan di belakangnya. Di antara pasukan tersebut, terselip Tsubaru, Tatsuya, Tsutomu, Arata, dan bahkan Daisuke yang berjalan di belakang mereka.
Mereka semua serempak ikut berhenti melangkah, setelah Ayah mengangkat tangan kanannya ke atas. Mataku dengan cepat berpaling ke beberapa Kesatria yang saling bahu-membahu mengangkat dan menyusun kotak-kotak kayu di hadapan Kakek dan juga Paman. Bibirku menganga, disaat satu per satu Kesatria itu membuka kotak-kotak tadi secara bergantian.
“Karena Putraku memberikan kabar pernikahan ini secara mendadak, hanya ini yang bisa kami berikan,” ucap Ayah sambil menoleh ke arah Ryuzaki yang berdiri di sebelahnya.
Ayah meraih sebuah topi dari dalam kotak yang dipegang Ryuzaki. Dia berjalan, membawa topi yang dipenuhi batu permata tadi mendekati Paman. “Ulagan, aku Takaoka Kudou, Raja dari Kerajaan Sora. Sengaja datang ke sini ingin melamar Putrimu, Sarnai, untuk menjadi pendamping Putraku, Pangeran Takaoka Ryuzaki,” ucapan Ayah, dengan cepat membuat bisikan-bisikan mencuat terdengar di sekitar kami.
Aku menjatuhkan lirikan ke arah Tuya yang berdiri di sela-sela kerumunan yang mengelilingi keluargaku berserta pasukannya. Kuikuti lirikannya, yang ternyata mengarah ke kotak-kotak berisikan perhiasan dan tumpukan kain kualitas terbaik yang dibawa keluargaku. “Sachi, apa terjadi sesuatu?” bisikan dari Bibi membuat pikiranku terbuyar.
Aku menggeleng lalu tersenyum membalas tatapannya, “tidak ada, Bibi. Darahku hanya saja selalu mendidih saat melihat sesuatu yang berkilau seperti yang ada di kotak-kotak itu,” bisikku sambil melirik ke ujung mata.
“Sudah lama sekali rasanya, tidak ada benda berkilau yang menempel di tubuhku. Darahku menjadi dingin karenanya-”
“Aku mempunyai banyak sekali perhiasan yang lebih indah untukmu di Yadgar kalau kau pulang. Bahkan memberimu perhiasan yang dapat melilit tubuhmu agar tak bisa bergerak lagi pun aku mampu.”
Aku mengangkat tangan menutupi mata. Bibirku terlipat, disaat bisikan dari laki-laki yang menjadi suamiku itu terdengar dari arah belakang. “Darling, sejak kapan kau ada di sini?” tanyaku sambil melemparkan senyum manis kepadanya.
“Dia ingin digendong olehmu,” ucapnya dengan mendekatkan tubuh Huri kepadaku. Zeki bergerak maju, hingga dia berdiri tepat di sampingku, sesaat Huri sendiri telah berpindah ke gendonganku. “Kalung yang kau pakai itu, memang tidaklah mahal seperti perhiasan-perhiasan tersebut. Tapi kalung tersebut, berisi seluruh perhatianku, berisi seluruh keringatku … Yang aku habiskan bertahun-tahun untuk membelinya, di saat aku masihlah Zeki yang bukan siapa-siapa.”
“Aku tahu, dan aku masih mengingatnya dengan sangat jelas … Seperti apa kebahagiaanku dulu saat menerimanya. Dan aku masihlah merasakan kebahagiaan tersebut, karena itu kalung ini masih kupakai hingga sekarang. Hadiah pertama dari cinta pertama dan terakhirku … Bagaimana mungkin hal itu akan sebanding dari perhiasaan lain yang bisa dengan mudah aku dapatkan.”
“Kemampuan berbicara dan merayumu ini sangatlah membahayakan. Apa kau tidak menyadarinya?” tuturnya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.
Bibirku tersenyum, dengan membuang kembali tatapan ke arah Paman Ulagan yang telah menerima topi berhias batu permata pemberian Ayah. Paman Ulagan berbelok, memberikan topi tadi ke Paman Altan yang berdiri di sebelahnya. Setelah Paman Altan bergerak sedikit mundur ke samping, Kakek melangkah lalu berdiri di samping Ayah dan juga Paman Ulagan, dengan Bibi Nekhii yang berdiri di samping Kakek sambil membawa sebuah nampan di tangannya.
Kakek meraih dua botol kaca yang ada di nampan, lalu memberikan satu botol kaca kepada Ayah sedang satu botol kaca lainnya kepada Paman Ulagan. Aku tidak terlalu persis tahu, dengan apa yang mereka lakukan … Yang aku lihat hanyalah, mereka mendekatkan botol tadi ke hidung, lalu menukar botol yang ada di masing-masing tangan mereka, untuk melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
“Keluarga Pengantin Laki-laki telah datang. Segera persiapkan semuanya!” perintah Kakek, ke beberapa laki-laki dan perempuan yang berdiri tak terlalu jauh darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasyKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...