Canities Subita*

8 0 0
                                    

"Man, kamu yakin tidak sedang dimanfaatkan sama Ratih?"

"Tidak apa-apa, Robi. Aku sendiri yang menyanggupi permintaannya Ratih kok, kebetulan saja setelah ini aku mau ke Kota Lama karena jadwal kelasku kosong." Jawabku yang sedang memasukkan kamera ke dalam tas.

"Kamu itu benar-benar ya. Terlalu baik sama orang yang bahkan tidak begitu dekat denganmu sekalipun. Lagian kenapa kamu tidak mengajak Ratih sekalian saja buat mengambil fotonya? Kan sama-sama kerja buat bahan majalah pers edisi mendatang."

Aku hanya terkekeh mendengar ocehan Robi, "Kamu iri yaaa? Karena tidak dapat tugas barengan sama Ratih, hihi."

"E-Eh?! Bu-bukan begitu! Maksudku itu ya..." Robi menimpaliku dengan 1001 dalih yang keluar dari mulutnya. Aku yang tidak peduli hanya menganggapnya angin lalu. Aku lekas pergi berpamitan dengan membawa tas kameraku keluar kampus UNISSULA.

Ah, sudah setahun lamanya sejak terakhir kalinya aku mampir ke Kota Lama. Aku sedikit teringat akan hari itu dimana aku membagikan secuil kebahagiaan terakhir pada seseorang yang pernah kukenal dulu. Aku menatap langit, "Meski hanya secuil tetapi sangat indah bagaikan intan."

---

Satu tahun yang lalu.

"Fuwah! Akhirnya dapat bus juga setelah menunggu hampir sejam lamanya!" aku terduduk sambil mengibas-ngibaskan bajuku karena kepanasan. Beruntunglah tempat dudukku berhadapan langsung dengan pintu masuk. Kurogohkan saku celanaku hendak mengambil uang. Selang beberapa menit, aku merasa tubuhku bergerak ke arah samping dibarengi suara decitan rem BRT**.

"Ada yang mau masuk lagi ya? Kutebak sekarang berhenti di halte BRT yang berada di dekat jembatan penyeberangan tak jauh dari SMA Sultan Agung 3."

Pintu pun terbuka dan kulihat seorang gadis mengenakan jaket parka berwarna mustard melangkah masuk. Pandanganku terpaku oleh karena raut mukanya terlihat muram dengan tudung jaket yang menutupi kepalanya rapat-rapat.

Dilihat dari penampilan luar, sepertinya gadis seorang siswi. Tu-tunggu dulu, sepertinya aku mengenalinya?

Gadis itu mengambil tempat duduk di sebelahku. Tidak salah lagi, aku pernah beberapa kali bertemu dengannya menaiki BRT Semarang koridor II saat jam pulang sekolah. Aku mengenalinya dari jaket parka mustard yang ia kenakan namun aku tidak tahu siapa namanya.

BRT adalah fasilitas transportasi umum, banyak orang datang dan pergi. Sebagai orang asing yang tak saling mengenal tentu tidak mudah membuka percakapan satu sama lain. Akan tetapi, rasa ingin tahu milikku bergejolak. Hal itu diperkuat kenapa gadis ini memasang wajah muram? Apa dia menyembunyikan sesuatu yang memalukan di kepalanya? Sampai-sampai tudung jaketnya ditutup sangat rapat.

"Permisi, Mas. Tiketnya untuk berapa orang?" sahut seorang kondektur yang tengah berdiri di depanku. Si kondektur sukses membuyarkan pikiranku.

"Tolong tiketnya untuk satu--" ucapanku terpotong karena sudut mataku mendapatkan gadis di sebelahku gelisah tidak tenang merogoh saku kantong jaketnya dan sejenak berhenti dengan ekspresi pucat pasi. "Kelupaan atau tidak bawa uang saku ya?" pikirku.

"Maaf, tolong tiketnya untuk dua orang." Ujarku sambil menunjuk ke arah diriku dan gadis tersebut.

"Tiket umum atau pelajar?"

"Umum."

"Baik." Kondektur tersebut menerima selembar uang kertas nominal sepuluh ribu dari tanganku lalu memberikan kembalian beserta dua buah tiket putih yang keluar dari sebuah alat di tangannya. Ketika aku memberikan satu tiket pada gadis itu, ia menatapku dengan tatapan linglung seraya mengucapkan terimakasih dengan gugup.

CANITIES SUBITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang