Bab 32

532 75 8
                                    

Asalamualaikum teman-temen, sebelum membaca bab selanjutnya. Mohon untuk membaca info ini dulu ya.

Alhamdulillah, cerita pertamaku yang berjudul "Cinta dari Allah" akan segera terbit di akhir bulan ini. Mohon doa terbaiknya ya teman-teman.🤗

Jika berkenan untuk menghalalkan, tunggu info selanjutnya ya. Di ig punyaku @annif_23 dan ig : @Cahaya_publisher

Terima kasih banyak💚💚

****

"Dari dulu kamu akan selalu menjadi Araya yang sama. Egois dan tidak akan pernah memikirkan orang lain."

Ada sesuatu retak di dalam diri Araya. Untuk pertama kali semenjak 16 tahun bersahabat dengan Fahri. Lelaki itu baru kali ini menyimpulkan dirinya di masa lalu.  Tatapan dari netra cokelat gelap itu menampilkan perasaan bercampur padu. Yang baru pertama kali Araya melihatnya.

Satu kali Araya mundur, darah di seluruh tubuhnya seakan berhenti mengalir, tiba-tiba rongga dadanya terasa sesak, sulit bernapas. Seakan-akan ia dijatuhkan batu besar lalu menimpanya dengan kejam.

Sedih, marah, juga kecewa. Mungkin perasaan yang Araya terka dalam netra itu tidak cukup menggambarkan betapa hancurnya lelaki itu. Araya merasa malu pernah berpikir bahwa nanti saat Fahri bangun dan sehat kembali Araya ingin bertukar banyak cerita lagi dengannya. Tentang bagaimana Araya bertemu seorang lelaki dewasa di antara orang-orang yang memaki kala itu. Dan bagaimana kini mereka bersama dalam satu atap padahal Araya sudah tidak menginginkannya sebab yang perempuan itu inginkan sekarang adalah lelaki di hadapannya.

Araya salah? Tentu, tetapi sepertinya kesalahan itu sudah tidak ada artinya sebab kebencian lebih dulu bersemayam di hati Fahri. Juga bagaimana ia telah diikat janji bersama orang lain.

"Maaf."

Bahkan mungkin kata itu sudah tidak ada gunanya. Namun, jika diingat kembali Araya juga tidak salah karena bukan dia yang menginginkannya. Bisakah Araya menjelaskan kronologi sebenarnya sekarang? Atau harus berujung menelan kepahitan saat tangan lelaki itu lebih dulu melempar benda kaca ke sembarang arah.

Prakk!

Suara pecahan itu berhasil membangunkan kebisuan Araya. Bola matanya bergulir pada puingan pecahan gelas itu di lantai. Jika hati  disamakan seperti gelas itu, maka mungkin itulah yang sedang Fahri rasakan. Pecah tak berbentuk. Bentuk kemarahan Fahri yang lagi-lagi pertama kali Araya dapatkan.

"Siapa, siapa dia, Araya?" Fahri menekan setiap perkataannya, menyembunyikan nada gemetar di dalamnya.

Araya membisu, perempuan itu menunduk dalam sedang kedua jemarinya saling bertaut. Tidak menyangka Fahri lebih tertarik mengetahui siapa lelaki yang menikahinya, bukan alasan kenapa sampai pernikahan itu terjadi.

"Fahri, aku nggak akan membela diri aku sendiri karena mungkin ..." Sakit, sakit akan kenyataan bahwa tidak bisa dipungkiri Araya juga menginginkan lelaki yang ia temui 8 tahun lalu itu. " ... aku juga salah."

"Kalau begitu, aku nggak perlu minta penjelasan dari kamu." Suara itu tak lagi terdengar lembut seperti dulu, rasanya, Araya telah kehilangan sosok hangat Fahri. Yang hanya lelaki itu tunjukkan kepadanya.

"Araya, kamu nggak salah." Rani akhirnya membuka suara. Ia berdiri tepat di samping Araya, satu tangannya menepuk bahu rapuh perempuan itu. "Kamu berhak menjelaskan apa yang terjadi, karena ini di luar kendali kamu."

Mungkin tidak ada yang menyadari, bahwa kerutan kecil berhasil tampil di kening Fahri setelahnya. Namun, rasa sakit akan kehilangan berkali-kali telah menelan kepedulian atas apa yang terjadi. Jika Araya saja tidak peduli, lalu kenapa Fahri harus peduli.

Jodoh Yang Dinanti √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang