Melepas kemelekatan tidak perlu dengan banyak berfikir, sehingga membatasi pada kemampuan analisa serta logika. Karena sejatinya, memang seorang mukmin disuruh puasa di dunia dari kemelekatan selain Allah.
Apakah harta, anak-anak, atau perhiasan dunia lainnya lebih ia cintai dibanding Allah?Hakikat puasa sejatinya adalah kosong dari nafsu yang menjauhkan diri dari kemurnian. Karena di dunia saja, para pecinta Allah serta Rasulullah sudah merasakan kebahagiaan dalam iman dan takwa.
Siapa yang sejatinya lebih dicintai: Allah atau yang lain? Apakah lebih banyak muhasabah diri atau tajassus, ghibah, serta menyalahkan orang lain?
Allah Ta'ala berfirman,زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."(QS. Ali 'Imran [3]: 14)Allah Ta'ala berfirman,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
"Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan rizkinya telah ditetapkan oleh Allah." (QS. Huud [11]: 6)
Jika binatang saja mendapatkan jaminan demikian, bagaimana lagi dengan manusia?
Allah Ta'ala juga tidak akan mencabut nyawa kita kecuali Allah telah menyempurnakan bagian rizki tersebut untuk kita. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا
"Sesungguhnya jiwa itu tidak akan mati sehingga sempurnalah rizkinya." (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Ibnu Majah no. 2144)
Baca Juga:
Ketika Allah Ta'ala sudah menyatakan demikian, maka kewajiban kita adalah berusaha untuk mencari dan mendapatkan rizki itu dari Allah Ta'ala dari jalan-jalan yang halal. Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi,
يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ
"Wahai para hamba-Ku, kalian semua adalah lapar kecuali yang Aku beri makan. Maka mintalah makan kepada-Ku niscaya akan Aku beri makan. Wahai para hamba-Ku, kalian semuanya adalah telanjang kecuali yang Aku beri pakaian. Maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya akan Aku beri pakaian." (HR. Muslim no. 6737)
Yang dimaksud dengan "permintaan" di sini bukanlah sekedar permintaan belaka tanpa melakukan usaha apa-apa. Akan tetapi, permintaan di sini mencakup meminta dengan berdoa kepada Allah agar Allah memberikan makanan dan pakaian kepada kita serta terkandung pula usaha untuk mencari rizki dan karunia dari Allah.
Baca Juga:
Allah Ta'ala berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jumu'ah [62]: 10)
Allah Ta'ala juga berfirman,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan." (QS. Al-Mulk [67]: 15)
Inilah hakikat tawakkal. Karena tawakkal adalah kita bersandar kepada Allah Ta'ala dengan penuh kepercayaan kepada-Nya untuk meraih apa yang kita cari dan menolak apa yang kita benci disertai dengan mengambil sebab-sebab yang diizinkan oleh syariat. (Lihat Al-Qaulul Mufiid, 2: 87)
Baca Juga:
Dan bukankah Allah sendiri telah menjanjikan, bahwa barangsiapa yang bertawakkal hanya kepada Allah pasti Allah akan menjamin urusan-urusannya?
Allah Ta'ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3)
Oleh karena itu, ketika kita berusaha untuk bertakwa dengan menjalankan ketaatan kepada-Nya kita tidak perlu khawatir apalagi takut kalau-kalau rizki menjadi sempit. Janganlah kita berburuk sangka kepada Allah Ta'ala bahwa Allah akan menelantarkan dan membiarkan kita begitu saja hidup di dunia ini. Kita juga tidak perlu merasa berputus asa dari rahmat Allah yang sedemikian luas kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah mensifati hamba-hamba-Nya yang berputus asa dari rahmat-Nya sebagai hamba-Nya yang tersesat.
Allah Ta'ala berfirman,
قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya, kecuali orang-orang yang sesat." (QS. Al-Hijr [15]: 56)
Hal ini karena kalau kita berputus asa dari rahmat Allah maka kita termasuk ke dalam orang-orang yang berburuk sangka kepada Allah Ta'ala.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah berkata ketika menjelaskan ayat di atas,
"Berputus asa dari rahmat Allah itu tidak diperbolehkan. Karena hal itu termasuk berburuk sangka kepada Allah. Yang demikian itu bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, karena mengandung unsur celaan terhadap kekuasaan Allah Ta'ala. Karena barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu, maka tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kekuasaan-Nya. Ke dua, karena hal itu mengandung unsur celaan terhadap rahmat Allah. Karena barangsiapa yang mengetahui bahwa Allah itu Maha Penyayang maka tidak ada sesuatu pun yang terlepas dari rahmat-Nya. Oleh karena itu, berputus asa dari rahmat Allah itu termasuk kesesatan." (Al-Qaulul Mufiid, 2: 103-104)
Referensi:
https://muslim.or.id/50751-jangan-risau-dan-khawatir-dengan-jatah-rizki-kita-bag-2.html