Berapa lama waktu yang telah berlalu?
Puluhan tahun. Shiganshina sudah banyak berubah, begitupun syal merah itu masih setia menghangatkannya. Seiring waktu tubuh itu menua. Otot-otot yang dilatih mulai mengendur. Tubuh tegap tentaranya semakin rapuh, berjalan saja harus memakai tongkat. Dan bersama hilangnya masa muda itu, helaian jelaganya berubah putih. Pun kedua kakinya tidak lagi bisa setiap hari membawanya ke makam orang tercintanya.
Hanya saja dia kembali ke sana hari itu. Belum lama ini memang sudah berkunjung bersama yang lain, tapi rasanya kurang. Seorang anak—dia rambutnya gelap, memiliki poni yang hampir menutupi mata—bersedia mengantarnya.
Sementara Mikasa duduk di samping nisan Eren, bocah lelaki itu bermain dengan anjingnya. Wajah keriputnya menarik senyum, sesekali mengelus batu nisan di sampingnya.
'Aku merindukanmu,' katanya dalam hati. 'Aku ingin melihatmu.' Ingatannya semakin hari semakin memudar. Mikasa bahkan tidak yakin, apakah wajah Eren yang dia ingat adalah wajah sebenarnya atau bukan.
Tangannya bergerak menyentuh syal di lehernya. Sudah tua dan usang, tapi Mikasa tidak pernah bersedia menyingkirkannya. Seberapapun ia dibujuk, meski suatu hari syal itu ditukar, Mikasa masih mengenalinya. Dia tersenyum saat merasakan sebuah tangan mengelus kepalanya. Hangat, seperti miliknya.
"Eren?" Dia memanggil, terkejut menyadari sosok itu ada di hadapannya. "Kau kembali?" Sosoknya masih terlihat muda.
"Ayo ikut aku, Mikasa." Satu tangannya terulur untuk mengajak, yang lain masih menelusuri rambut dan pipinya. Mikasa bisa melihat kulitnya sendiri diremajakan. Keduanya terlihat seumuran lagi sekarang. "Setelah ini, kita bisa bersama selamanya."
Mikasa mengangguk tanpa keraguan. Wajahnya senang, tapi air matanya berlinang. Eren yang gagah membantunya bangun dan entah bagaimana caranya, mereka melayang. Rasanya ringan, seakan semua luka telah tersembuhkan. Dalam pelukannya yang tercinta, Mikasa merasa tidak ada lagi tempat yang lebih nyaman. Ini sempurna, inilah yang dia inginkan, yang dia nantikan.
Di belakangnya, bunga-bunga yang merekah dijadikan alas tidurnya.
»◇◆◇«
Quietus (n.): An end; death
Dengan kata lain, saya hanya menyebut kematian dengan estetik? Ya, ini cerita kilat. Bagaimana rasanya?
Saya menulis ini lagi-lagi sambil menangisi Mikasa yang menua. Umur panjang yang didoakan Eren terwujud. Dia meninggal, tapi setidaknya satu mimpinya tercapai.
Entahlah. Di luar perpisahan EreMika, meninggalnya Mikasa (dan tentu saja Eren) adalah sesuatu yang banyak saya tangisi. Isayama sudah cukup menyiksa dengan dua bab terakhir, tapi tetap memilih untuk merilis halaman tambahan. Masternya bikin orang stress memang. Entah apa yang beliau pikirkan.
Judul alternatif, saya rasa:
Dan ada fanart yang menginspirasi cerita ini, hanya saja saya lupa menyimpannya. Maaf. Tapi sekedar petunjuk, itu komik tanpa dialog tiga panel (atau empat?). Yang main Twitter/Pinterest mungkin tahu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafuné
FanfictieAn EreMika fanfiction by me to celebrate #eremikaday Cafuné (n.): Running your fingers through the hair of someone you love. You are free to read. Tetapi bagi anime only, ini (mungkin) berisi spoiler. . . . All characters belong to Isayama Hajime