7: Melepasmu Pergi

384 68 10
                                    

"Halo?"

Tidak seperti malam sebelum-sebelumnya, perbincangan malam ini dimulai dari kamu yang mengucapkan "Halo" di awal percakapan. Ada nada menggantung yang dingin ketika kamu membuka sesi bincang malam ini dengan satu kata itu.

Tujuh minggu berlalu dari sejak "halo" pertama kita ketika menghubungiku untuk pertama kalinya. Aku masih ingat masa-masa itu, ekspresimu yang canggung dan malu-malu di layar ponsel adalah kanvas wajah yang menyambutku ketika kita pertama kali melakukan panggilan video.

"Kamu orang ketiga yang pernah video call sama aku sepanjang aku hidup di dunia ini," katamu kala itu, memulai prosesi sakral untuk membawaku turut memahami betapa langkanya sesi panggilan video kita malam itu. Aku tersenyum simpul. Barangkali pipiku turut bersemu kemerahan seumpama delima yang baru saja menjemput kematangannya.

Tetapi malam ini, entah mengapa kehangatan yang kurasakan tujuh minggu lalu sirna begitu saja. Tidak ada lagi senyum malu-malu yang terlukis di bibirmu atau raut keramahan di wajahmu yang seringkali mengingatkanku akan rumah. "Halo" yang kamu ucapkan tidak lagi sehangat biasanya. Aku merasa telah pulang ke rumah yang salah.

"How's your day?" tanyaku, memulai dengan rutinitas yang telah begitu biasa kita lakukan selama tujuh minggu belakangan. Aku tahu selepas ini, kamu akan menambal pertanyaan itu dengan jawaban "Hariku biasa aja, cuma kerja, ngerjain tugas S2, dan kuliah. Nothing's special." Kemudian kamu akan menghela napas sembari balik bertanya, "How's yours?"

Aku menyadari itu. Ada kejenuhan dalam nada bicaramu ketika harus menjawab pertanyaan yang sama selama melakukan rutinitas bincang malam bersamaku. Kesenangan yang kamu rasakan ketika larut dalam percakapan bersamaku tidak lagi membuatmu bersemangat. Gelora yang pernah kita miliki di awal mula saling kenal tidak lagi memantik antuasmemu untuk berbincang hingga berjam-jam lamanya.

"Nothing's special. Kayak biasa aja. Kayaknya kamu juga sudah tau jawabannya," sahutmu dingin, melontarkan jawaban yang sudah kutebak bahkan sebelum menyampaikan pertanyaan itu. Kali ini bahkan tidak ada pertanyaan balik. Kamu seperti menjelma menjadi seseorang yang tak pernah kukenal sama sekali.

"Ada yang mau kusampein malam ini." Aku mengucapkan kata demi kata itu dengan tingkat kepasrahan tertinggi yang kupunya. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan. Ketidaknyamanan ini harus diselesaikan malam ini juga. "Tapi kamu harus janji selama aku bicara, kamu nggak boleh mengucapkan apa pun."

Aku bisa menebak bahwa di tempatmu, saat ini kamu tengah mengangguk satu kali. Aku bisa mendengar desahan napasmu melalui pengeras suara di ponselku sebelum kamu akhirnya sepakat dan menjawab, "Okay."

Kali ini, aku yang memiliki giliran untuk mengembuskan napas dalam-dalam. Semua orang tahu bahwa mengakhiri sesuatu yang bahkan belum dimulai itu sama sulitnya dengan memulai sesuatu yang asing untuk dilakukan. Kamu adalah titik mula yang selalu ingin kujadikan tempat untuk pulang. Meski malam ini aku menyadari sepenuhnya, bahwa berpulang ke tempat yang tak pernah menjadikanmu rumah, hanya akan membuatmu merasa berada di tempat yang salah.

"Pradipta," mulaiku dengan pelan dan penuh kehati-hatian, seperti tengah mengucapkan satu kata dalam judul puisi yang mampu memilukan hati seluruh pembacanya, "aku nggak tahu apa yang terjadi sama kita. Aku juga nggak tahu apa yang salah dengan hubungan ini. Tetapi, satu hal yang aku sadari sejak beberapa hari belakangan, bahwa mungkin, kamu sudah nggak betah berada di dalam hubungan ini," mulaiku pada bait-bait pertama. Jika dialog ini adalah sebuah pembacaan puisi, maka jeda yang kuberikan selepas menyampaikan kalimat tersebut adalah spasi yang kusisipkan sebelum masuk ke bait yang lebih memilukan lagi.

"Aku nggak tahu apa alasannya, dan aku juga nggak akan memintamu untuk menyampaikan alasan kenapa semua ini harus diselesaikan. Aku sadar sepenuhnya kalau kamu punya hak untuk pergi—dan aku juga punya hak untuk tinggal. Tapi, kita semua sama-sama tahu, kan, bahwa tinggal bersama seseorang yang selalu ingin pergi hanya akan membuat kita merasa berada di tempat yang salah—dan aku nggak mau terus menerus berada di posisi itu."

Hening. Kamu melakukan peranmu persis seperti yang kuminta di awal percakapan. Tidak ada helaan napas sama sekali, tetapi aku bisa merasakan bahwa kamu masih berada di tempatmu untuk mendengarkan muntahan kata yang keluar dari mulutku.

"Pradipta, aku menganggap hubungan kita seperti ruangan yang aku bangun dengan sangat hati-hati dan sangat indah. Ruangan itu tersimpan bersama ruangan-ruangan lain yang ada di hatiku, menjadi salah satu ruangan terfavorit yang selalu kukunjungi ketika aku merasa lelah menghadapi seisi semesta. Aku nggak ingin ruangan itu mendadak jadi buruk karena kita saling pergi dari ruangan itu tanpa kata-kata perpisahan yang layak. Aku nggak mau kita pergi dengan saling menghilang tanpa penjelasan.

"Aku mengerti sepenuhnya dan nggak akan bertanya mengenai alasanmu pergi. Tapi aku harap, dengan menyampaikan semua ini, sudah cukup menjadi deklarasi yang layak bagaimana kita seharusnya mengakhiri hubungan yang nggak pernah dimulai ini. It's really nice for me to know you, Pradipta."

Tanpa kuperintahkan sama sekali, bibirku membentuk seulas senyum yang jika bisa dikecap, barangkali akan terasa amat pahit. Aku mengucapkan setiap bait demi bait dengan tingkat kepasrahan tertinggi yang kupunya. Aku tahu meski ini adalah fakta yang sulit untuk diterima, aku menyadari sepenuhnya bahwa pada akhirnya, melepasmu adalah satu-satunya cara terbaik untuk membantuku dalam menemukan rumah yang selama ini kucari.

"It's nice for me to know you, too, Alina," sahutmu secara tiba-tiba, tidak lama setelah aku selesai dengan narasi panjang yang kuucapkan kepadamu beberapa saat lalu. "Aku juga pernah ngerasa nyaman saat berada di hubungan ini. Tapi, hubungan yang cuma diisi dengan percakapan lewat telpon atau pesan singkat di chat, bikin aku merasa jenuh. Aku nggak bisa ada di hubungan yang menjadikan percakapan virtual sebagai hidangan utama dan ketemu di dunia nyata adalah pelengkap. Hubungan ini nggak akan bekerja walaupun kita maksa nerusin dengan cara kita sebelumnya, Alina."

Aku terdiam, kamu juga terdiam. Barangkali kita sama-sama mencapai titik puncak pemahaman masing-masing, bahwa kenyamanan yang pernah merengkuh kita selama tujuh minggu belakangan telah mencapai garis akhirnya. Sembari mencerna pahitnya penyataan-pernyataan yang kamu sampaikan sebelumnya, aku kembali berupaya untuk mengulaskan segaris senyuman. Kamu tidak dapat melihat senyuman itu, namun tetap kutampilkan sebab aku melakukannya untuk diriku sendiri.

"Aku paham. Mungkin lebih dari kamu memahami semua ini. Makasih sudah menjadi bagian dari orang yang membangun ruangan indah di hidupku."

"It's my pleasure, Alina."

Kemarin, dalam prosesi sakralku berbincang dengan Tuhan, diam-diam aku menyisipkan bisikan kecil penuh pengharapan.

"Tuhan, jika dia untukku, maka dekatkan kami," desahku saat itu, dengan sisa-sisa pengharapan yang kupunya, "tetapi, jika bukan dia orangnya, maka sisipkan keikhlasan di dalam hatiku untuk melepasnya pergi."

Aku tidak pernah tahu bahwa pesan kepada Tuhan bisa sampai secepat itu. Namun pada detik ini aku menyadari, bahwa perbincangan kita malam ini adalah jawaban dari bisikanku kepada Tuhan kemarin malam.

Dan begitulah awal mula bagaimana akhirnya tuhan memisahkan kita. []

author's note: what do you think about this story?:) let me know through the comment section.


redam-padamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang