padam

602 67 24
                                    

Tanggal enam pada pukul enam petang, gawai itu akan senantiasa melucuti lamunan milik kelam kelimut demi menyeru kesadaran Serindai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanggal enam pada pukul enam petang, gawai itu akan senantiasa melucuti lamunan milik kelam kelimut demi menyeru kesadaran Serindai. Menyambut panggilan pada layar gawai seraya menyulut lilin yang berjejak di sudut meja, gadis itu kuasa mencitrakan dinamika pemuda di seberang panggilannya tengah melantaskan ihwal yang serupa.

Ada sereguk kepelikan yang ditelan Serindai tatkala mengindah sekat embus napas milik Dawai—pemuda di seberang panggilan. Terpenggal-penggal. Terselit-belit. Tersendat-sendat. Dan kegamangannya kian masif sejurus dengan suara parau Dawai yang menyembilu rungu. "Gulita telah merehatkan jingga di pundaknya. Bagaimana kabarmu, Rin?"

Hening. Serindai bungkam. Sudah satu warsa lebih sepasang labiumnya bisu dan Dawai mafhum betul apabila kesintingan duniawi ini telah membegal suara sang gadis. Maka pemuda itu mulai mengisahkan kegetirannya:

"Makin denyut merakus hari, pandanganku serupa dengan ruang ini. Kelam nan aswad," ujarnya getir. "Ketimbang menjelma buta, aku lebih memilih tuli. Aku sudah terlampau lelah mengindah dinding-dinding yang memekik, serpihan cermin yang berarakan, kubangan air di bak mandi yang menggelegak, bahkan aku membenci gaung tetes air keran di malam hari. Menyakitkan, Rin."

Serindai hanya sanggup menggigiti ibu jari. Kalang kabut. Tenggorokannya sekonyong-konyong terasa nyeri bercampur getir penaka tersekat kerakal. Firasatnya meronta risau. Dawai memang terbiasa merinaikan kehampaan melalui suara paraunya, tetapi kali ini ia merasa suara pemuda itu begitu jauh.

Terlampau jauh, sampai ia merasakan suara Dawai menggema.

Melanglang pandang demi meraba kekelaman, atensi gadis itu serta-merta terhunjam pada selembar potret yang melekat di lemari pakaian; selembar potret rel kereta api di kaki kemalaman dirgantara yang nampaknya sahaja diperksaksikan relap lilin. Entah selaku reminisensi memori manis, atau ... sebuah salam perpisahan.

Dalam pagutan milik para remang, kilau lampu kereta yang terbit dari timur laut mengantar memori Serindai pada sebilah fragmen baka kala ia bersama Dawai menyisir batu kerikil di bibir rel dan menjerit melucutkan seluruh kegetiran saban kereta melintas. Tanpa gemintang. Tanpa semarak lampu-lampu malam. Di sana mereka hanya digauli kabut asap dari pembakaran sampah serta suara lolongan anjing kesepian.

Kendati dibentangi kekumuhan, keduanya merasa begitu bebas melampaui burung bangkai rupell's yang kuasa mengecup cakrawala tertinggi.

Asalkan berdua, mereka akan berupaya mencari rumpang kebahagiaan di antara celah-celah gesekan rel.

Asalkan ia bersama Dawai yang kini tengah memandang lurus ke arah rel; menanti kereta yang akan melintas, Serindai akan menyanggupi sekujur kesintingan duniawi ini. Begitu pun sebaliknya kala selarap obsidian pekat milik Dawai menyambut pandangannya, tersenyum lembut demi memberi jawaban apabila keduanya mampu bertahan, sampai kilau lampu kereta yang terbit dari barat daya menyentak kembali gadis itu pada realitas;

Ruang kelam.

Relap lilin.

Dan gema kegetiran suara Dawai.

"Katanya bentala tengah sekarat. Namun, mengapa justru rawi yang terlelap?" lanjutnya terkekeh miris. "Beliau terlena dalam lelapnya begitu lama, lama sekali, Rin ... sampai jari jemari kakiku mati rasa lantaran membeku."

Serindai serta-merta menggeleng. Segara pada selarap obsidiannya lambat-lambat menggenang, lantas berderai; meruahkan keputusasaan sebab tak kuasa melakukan apa pun sementara suara parau Dawai kian menjauh, hanyut, dan ia sadar pemuda itu telah memadamkan lilin.

"Maaf. Aku menyerah."

Dawai lebih memilih padam.

— selesai —

padam.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang