1. Zaara dan Kotoran Tikus

30 9 38
                                    

Bismillahirrahmaanirrahim.

.
.
.

Selamat membaca🌾
.
.

"Astagfirullah! Zaara, bangun!"

Seorang gadis bergeliat di atas kasur. Ia menguap, sedikit mengintip kemudian menutup matanya kembali. Dia masih ingin tidur, setidaknya berikan ia waktu selama 30 menit untuk mengumpulkan kesadarannya.

"Zaara!" bentak Santi--mamanya Zaara, "mau sampai kapan kamu terus-terusan seperti ini? Kalau sudah pagi itu bangun bersih-bersih, jangan tidur lagi setelah salat subuh."

Zaara masih tidak bergerak.

"Kamu mau dapat jodohnya kakek-kakek karena nggak biasa bangun pagi? Cepat bangun! Udah gede masih aja kayak anak kecil yang harus dibangunin. Suka, ya, kalau mama teriak-teriak marahin kamu di pagi hari?"

Kali ini mata Zaara sudah terbuka. Ia menguap sambil turun dari tempat tidur dan berjalan ogah-ogahan menuju kamar mandi yang berada di luar kamar dengan rambut yang acak-acakan. Zaara tidak mengatakan apa-apa, rutinitas sehari-harinya memang seperti ini. Mendapat asupan berupa omelan di pagi hari dari mamanya yang tercinta.

Tidak ada yang perlu dia lakukan lagi. Semua pekerjaan sudah dikerjakan oleh Santi. Mamanya memang seperti itu, suka mengomelinya di pagi hari agar bangun membersihkan rumah. Tapi saat sudah bangun, tahu-tahu pekerjaan sudah tidak ada yang tersisa. Jadi, menurut Zaara, untuk apa bangun pagi kalau tidak ada kegiatan? Mending dia lanjut bermimpi biar sukses.

Namanya Zaara Zahrani Zaarania. Nama yang panjang bagi orang sependek dia. Tidak ada yang spesial dari wanita yang berusia 21 tahun itu. Tiga tahun setelah lulus SMA, Zaara tidak kemana-mana. Ya, dia menjadi anak rumahan yang penurut. Dia tidak melanjutkan pendidikannya sebab-- ya, apalah daya saat seseorang tidak mempunyai apa-apa. Keluarganya tergolong orang yang kurang mampu. Hidupnya sederhana, sesederhana pikirannya yang tidak mau bangun pagi.

Zaara tidak bodoh, ia termasuk orang yang ingin melanjutkan pendidikannya. Namun impiannya untuk kuliah sudah tidak ada harapan lagi. Selama 3 tahun dia sudah berusaha, tapi sepertinya takdir memang tidak mengizinkan. Ia selalu gagal setiap ingin mencoba mendaftar di perguruan tinggi.

Zaara tidak berdaya, apalagi saat orang tuanya sendiri tidak mendukungnya. Mereka terlalu miskin untuk bercita-cita menjadi orang sukses. Zaara tidak punya pilihan, untuk itu ia hanya menghabiskan waktunya di rumah. Sebagai--beban keluarga.

"Ma, di kamarku kok berisik banget, ya? Kayak ada suara cit, cit, ci ... t," kata Zaara menirukan suara yang pernah dia dengar di kamarnya.

"Itu suara tikus!" pekik Santi. "kamu jadi anak gadis kok jorok banget, sih? Sampai tikus masuk ke kamar. Cepat bersihkan kamar kamu. Pasti sudah banyak kotorannya di sana," kata Santi disertai omelan khas rasa micinnya.

Zaara hanya bisa pasrah menuruti perintah mamanya. Yang dikatakan Santi memang benar, kini kamarnya sudah dihiasi oleh kotoran tikus yang sangat menjijikan di sudut-sudut ruangan kamarnya. Iyuhhhhhh bau banget, hueeek.

"Kenapa hal yang aku lakuin nggak ada yang berguna, sih?" Zaara menangis dalam hati sambil membersihkan kotoran tikus yang sama sekali tidak pernah ada habisnya. Entah kapan tikus-tikus itu akan pergi meninggalkan kamarnya. Dari sekian banyak ruangan di rumah ini, kenapa harus kamarnya?! Kenapa tikus-tikus itu malah betah tinggal di kamar yang jorok ini. Zaara tidak mengerti. Tidak berguna. Sialan!

Saat tengah asik mengumpat sambil membersihkan kotoran-kotoran itu, seekor tikus tiba-tiba saja muncul dan berlari melewati Zaara. Dia hanya ingin menghindar, tapi sayangnnya Zaara sudah terlanjur melihatnya.

"Hei, mau kemana kau tikus sialan! Jadi selama ini kamu yang mengotori kamar aku, hah?! Ayo ngaku. Jawab!" kata Zaara membentak. Sangking kesalnya ia malah bertanya pada tikus itu.

"B-bukan aku," jawab tikus itu tanpa diduga. Zaara mematung, mulutnya sampai jatuh ke lantai sangking terkejutnya. D-dia bisa bicara? Monolognya.

"Maafkan aku karena tinggal di kamarmu secara diam-diam. Tapi bukan aku yang meninggalkan kotoran-kotoran itu. Aku tahu bagaima cara menjaga kebersihan dan aku selalu melakukannya. Maafkan aku, tolong jangan usir aku," kata Tikus itu panjang lebar. Susah payah Zaara menelan zalivanya demi mencerna semua yang terjadi. Apa dia sekarang sudah gila? Apa yang dibilang mamanya selama ini itu benar? Bahwa Zaara memang tidak waras.

Tidak tahu harus bereaksi bagaimana, Zaara langsung membanting alat-alat pembersihnya kemudian lari keluar kamar sambil berteriak.

"MAMAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA! ADA TIKUS YANG BISA BICARA, MAAAAAAAAAAAAAA." Hanya penulis yang tahu bagaimana kondisi rumah Zaara saat dia berteriak histeris seperti itu. Tanah terguncang, para tetangga menutup telinganya bahkan para ular di sawah kembali ke sarangnya tidak jadi memakan anak ayam yang berkeliaran. Suara teriakan Zaara memang sedahsyat itu.

"Mama, dunia sudah mau kiamat. Ada tikus yang bisa bicara, Ma," kata Zaara sesugukan. Ia sudah menangis dengan air mata yang membanjiri rumahnya, eh, pipinya.

"Zaara! Kamu sudah gila, ya teriak-teriak seperti itu? Bikin orang lain budek aja."

Zaara masih menangis. "Ma ... Zaara serius, hiks. Di kamar Zaara, a-ada tikus yang bisa bicara, huwaaaaaa." Kini tangisnya semakin kencang. Santi memijit kepalanya melihat anak gadis semata wayang dan satu-satunya itu menangis. Ada-ada saja anaknya yang satu ini. Mana ada tikus bisa bicara? Kalau sudah tidak sanggup bersihkan kotoran, bilang. Jangan bikin badai sampai buat telinga jantungan, eh.

"Ya sudah, biar nanti mama saja yang lanjut bersihkan. Kamu langsung mandi saja trus lanjut makan," kata Santi. Zaara mengusap air mata sambil mengangguk mengikuti perintah mamanya. Ingat? Zaara itu anak yang penurut.

Setelah menjalani hari penuh dengan rutinitas yang biasa-biasa saja, kini Zaara akan kembali ke inti dari kehidupan yang sesungguhnya, yaitu tidur. Ya, Zaara hanya berasa hidup jika ia sedang bermimpi. Rasanya kehidupan di dalam mimpi lebih indah, begitu pikirnya.

Namun, baru beberapa detik ia memejamkan mata, Zaara langsung terbangun saat merasakan tangannya menyentuh sesuatu yang asing, empuk dan berbulu.

"Ti-tikus? Iii...." Zaara menjerit jijik. Kok ada tikus di kasurnya?

"Heh, ngapain kamu di sini?!" tanya Zaara syok. Ia nggak habis pikir, kenapa tikus-tikus itu suka sekali masuk ke kamarnya? Ya Allah, ampunilah dosa dan salahku. Doanya dalam hati.

"Aku-- mau tidur," jawab tikus itu polos.

"Hah?" Tanpa diduga, Tikus itu mejawabnya lagi. Apa dia tikus yang tadi?

"Enak aja tidur, tidur. Emang ini rumah milik raja kamu, gitu? Udah, pergi sana. Pergi...!" usir Zaara sambil memejamkan mata. Ia masih tidak percaya jika dia sekarang berbicara dengan tikus. Tikus? Ya, tikus.

Segitu menyediakan dirinya sampai-sampai harus ngobrol dengan tikus? Zaara tahu, ia memang anak tunggal tidak punya teman apalagi sahabat. Ia merasa kesepian selama ini. Tapi meskipun begitu, dia tidak harus berbicara sama tikus juga, 'kan?! Zaara rasanya mau menangis saja.

"Baiklah, aku akan pergi tapi dengan satu syarat," kata Tikus itu negosiasi.

Zaara memutar bola mata malas. "Heh, ini kamar aku. Bebas mau ngapain aja termasuk mengusir kamu. Kamu punya hak apa pakai main syarat-syarat segala? Dasar Tikus nggak tahu diri," kata Zaara kesal.

"Tolong bantu aku," lirih Tikus itu memohon. "Aku ingin menjadi seperti kamu. Tolong, hanya kamu yang mampu melakukannya."

"Maksudnya?"

"Cium aku agar bisa berubah menjadi manusia."

.
.
.
.
.
.
.

Minggu, 6 Juni 2021.

Plagiat jauh-jauh.

.

Tolong hargai penulis dengan cara vote dan komen yang sopan. Punya adab, 'kan? Kalau nggak punya, sana jadi tikus aja sekalian. Wkwkwk

Canda:v

Zaara : Ciuman Tikus Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang