Pantai

14 3 1
                                    

****

POV: Rizki

Aku melihat gadis itu menyendiri dipojok teras. Pandangannya melihat kerumunan anak-anak kecil yang sedang bermain. Mungkin dia sedang merindukan masa kecilnya atau dia sedang marah padaku sehingga menjauh dariku. Satu telepon dari Faiz mampu membuatnya menyembunyikan cemburunya di hadapanku. Buktinya dia berubah menjadi dingin, kalem, arogan seperti malam pertama ku dengannya yang sangat gusar. Dia selalu saja marah tanpa sebab dan luluh tanpa alasan logis. Ketika dia marah, aku teringat pada Lia. Sampai detik ini aku tidak menemukan Lia dan anaknya. Tapi, saat dia tertawa aku melupakan rasa sakit yang diberikan Lia. Aku belum bisa mencintainya. Aku berusaha, tetap saja gagal. Perasaan ku memanglah aneh tak dapat menyimpulkan bahwa aku ini mencintainya atau tidak karena aku terjebak pada kehadiran dua wanita. Yang satu membuatku tenang dan dapat merubahku, sedangkan yang satu lagi sangat aku cintai. Tanpa kusadari Naya duduk kembali lagi disamping ku. Aku menoleh ke arahnya, dia juga melirikku. Wajahnya tetap cemberut.

Hari raya kelima, kami masih di rumah nenek. Begitu juga dengan saudara-saudara lainnya. Kami memiliki rencana untuk pergi ke pantai. Bibi ku sudah banyak membuat makanan, dodol juga tidak ketinggalan. Kami berangkat menaiki gerobak milik paman. Biasanya gerobak ini untuk muatan hewan ternaknya, tapi tenang saja sudah dibersihkan. Naya memilih menaiki gerobak, kecuali aku, Bunda, dan adikku serta nenek. Kami naik mobil. Ya aku sedikit mual di dalam gerobak.
Di pantai, semuanya berhamburan ketepi pantai. Seperti bebek yang dilepaskan. Naya dan kak Yasmin berjalan bersama membawa makanan. Aku berjalan di belakangnya bersama Aasyila yang merengek terus ingin minta uang padaku. Dia merangkul ku terus.
"Mas... cuma seratus saja. Aku mau naik speedboat itu." rengeknya. Aku yak menghiraukan. Aasyila selalu menghamburkan uangnya. Bukan pelit atau irit. Tapi anak ini satu jam sekali terus minta uang padaku jika aku sekali memberinya pasti dia ketagihan minta terus. Padahal sudah SMA, dia tidak mau mandiri seperti teman-temannya.
"Mbak Nay," panggil Aasyila mengejar Naya yang ada di depan. Naya menoleh. Aku sudah tahu pasti dia ingin mengadukannya pada Naya
"Iya, Syil?"
"Mas Rizki pelit. Dia nggak mau bagi uangnya. Cuma seratus saja loh, Mbak." ucap Aasyila.
"Seratus juga uang." sahut kak Yasmin sembari tersenyum.
"Iya, Mbak. Tapikan, gajinya Mas Rizki lebih dari itu. Ini juga hari raya. Dia nggak ngasih thr." jawab Aasyila.
"Jadi, Mbak harus ngapain?" tanya Naya.
"Emm... Mbak kan istrinya pasti di dengarin. Jadi, Mbak yang minta uang Mas Rizki tapi atas nama Mbak. Hehehe..." jawab Aasyila.
"Jangan mau, Nay. Biarin aja. Hahaha..." sahut kak Yasmin yang meledek Aasyila. Naya juga ikut tersenyum. Aku melihat Naya yang sudah ada dihadapan ku.
"Memangnya uangnya buat apa?" tanya Naya lagi sembari memicingkan matanya ke arah Rizki.
"Naik speedboat sama yang lain. Aku dah janji mau traktir mereka." jawab Aasyila. Naya tersenyum sambil mengusap rambut adik iparnya yang terurai sampai berantakan. Lalu dia meletakkan barang-barang yang dibawanya. Aasyila sedikit kesal melihat Naya yang tak meresponnya lagi. Naya dan kak Yasmin meninggalkan Aasyila.

Pukul 12:30 Wib, kami makan siang bersama dan melaksanakan sholat zuhur berjama'ah. Selesai berdo'a, aku melihat Naya mengumpulkan anak-anak kecil yaitu sepupuku. Aasyila dan kak Yasmin juga ikut. Mereka semua pergi ke arah tempat yang banyak perahunya.
"Bunda,,, Naya mau kemana?" tanyaku.
"Mereka mau naik perahu, Ki." jawab Bibi ku. Bunda hanya tersenyum. Aku langsung mengejar mereka tapi sayangnya perahu mereka sudah berlayar. Haem... Terpaksa aku balik lagi. Aku berjalan sedikit kesal, tadi Aasyila memanggilku saat melihatku berlari dan aku sampai disana mereka berlalu sambil menertawakan ku. Aku berjalan sambil melihat perahu mereka. "Brakk..." aku tertabrak dengan badut. Dia melihat ku dan menolongku. Yang membuat ku lebih kesal dia mengikuti ku gerakan.
"Kau bisa pergi tidak!" bentak ku. Aku terkejut badut itu mencubit kedua pipiku. Aku bisa mencium aroma parfumnya yang mirip dengan? Tetapi tidak mungkin. Mana mungkin dia seperti itu. Aku berjalan lagi. Dia mengikuti ku lagi. Aku membentaknya dan dia pergi. Lalu aku duduk bersama keluarga yang lain. Badut itu kembali lagi membawa es krim, memberikannya padaku.
"Terima saja, Ki." kata Bibiku.
"Nanti Naya marah kalau Rizki menerima sesuatu dari orang tidak dikenal." ucapku dengan beralasan atas nama Naya. Jika dia tahu pasti dia marah sekali. Bibi ku menggelengkan kepalanya. Badut itu memaksa. "Aku sudah memiliki istri. Nanti Nayaku marah, kau bisa pergi tidak!" ucapku. Jujur saja aku sedikit ketakutan melihat kostumnya. Aku mendekat ke Bunda. Dia juga mengejarku dan menggelitik perutku. Hal itu sudah melewati batas, aku marah sekali. Saat aku ingin marah, badutnya membuka topengnya dan dengan gesit membuka kostumnya.
"Kau manis sekali." ucap Naya yang tertawa sangat manis. Aku terpesona melihatnya mencubit kedua pipiku lagi. Semua saudara ku tertawa melihatnya termasuk nenekku. Dia memanggil tukang badut yang asli dan memberikan kostum itu dengan uang sewanya. 'Kenapa dia seromantis itu?''batinku yang masih melihatnya. Naya menarik tanganku dan aku mengikutinya. Dia membawa ku ke tempat penjual layangan, kami memborongnya. Dia mengajak sepupu ku yang lain untuk bermain layangan.
"Ayolah, Ki. Kita main. Kau harus membantuku." ucapnya. Aku hanya tertegun saja.
'Ini anak kenapa? Tiba-tiba aneh gini sikapnya?' batinku yang masih berdiri di belakangnya. Dia menyuruh ku untuk menerbangkan layangannya.
"Kamu pintar sekali, Ki." puji Naya karena aku menerbangkan layangannya. Dia pun mengulurkan benangnya. Aku berjalan mendekatinya lagi. Berdiri tepat di belakangnya.
"Eh gimana nih, Ki. Anginnya terlalu kencang." keluhnya. Spontan tanganku membantunya untuk mengulurkan benang. Posisiku yang berdiri di belakang dan kedua tanganku menyentuh tangannya. Naya sudah panik. Tapi aku merasakan jantung ku berdegup lebih kencang. Kami begitu dekat. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

"Ayo, ulur lagi!" perintahnya. Dia melepaskan tangannya dari benang. Naya menoleh ke arah ku. "Kenapa bengong? Ayo, terbang lebih tinggi lagi!" ucapnya. Entahlah aku semakin gemetar saja melihat matanya. Aku menetralkan hatiku dan kembali fokus. Hampir terhanyut oleh pandangannya.

"Hahaha... bagus sekali, Ki. I like that." ucapnya yang berisik sekali.
"Ha? Tadi kamu bilang apa, Nay?" tanyaku.
"I like that." katanya.
"Aku kira i love you. Hahaha..." goda ku. Naya langsung menoleh ke arah ku.
"Lah... Sok-sok an bahasa Inggris. Emangnya kamu tahu apa artinya?"
"Tahu."
"Apa?"
"Hem..."
"Aku mencintaimu." ucap Naya. Tanganku melepas benang yang ku ulur.
"Hei... Lihat benangnya." teriak gadis itu.
"Kamu membuat ku tidak fokus." cetusku yang menyembunyikan perasaan malu karena hampir terhanyut olehnya.
"Baper!" ucap Naya dan meninggalkan aku sendirian dengan layangannya. Aku melihatnya.
'Berbaliklah, aku ingin melihatmu' batinku.
Tujuh belas detik kemudian, Naya membalikkan badannya melihat ke arah ku dengan tersenyum dan berlari menuju kerumunan saudara yang lain. Akupun membalas senyuman itu.

****

Balai RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang