Part 25 - This is not a game

773 52 7
                                    

Kau tidak tahu semenderita apa hatiku jika satu hari saja aku tidak melihatmu.


Pantai Ria Kenjeran, Surabaya.

Tidak ada kata yang bisa menggambarkan isi hati Mario saat ini karena kini cintanya telah kembali. Lelaki itu memeluk wanita yang dihadapannya dengan begitu erat, serasa ia ingin memberhentikan waktu dan tidak akan membiarkan waktu terus berlalu dengan begitu cepatnya. Ribuan rindu bahkan jutaan yang tersimpan dalam hatinya kini berhamburan sebab Lili telah membayar lunas jutaan rindu yang menyelimuti hati lelaki yang telah menyakiti dirinya sedari awal pernikahan.

Untung saja anak buahnya berhasil menemukan Lili, sejauh itukah dirinya pergi? Namun, tetap saja Mario akan berhasil menemukan dirinya. Dengan pesawat pribadinya dia langsung meluncur ke Surabaya.

Lili melepas dengan cukup keras pelukan Mario karena ia kembali bukan untuk ini melainkan untuk membongkar semua kejahatan yang dilakukan oleh mertuanya. Apa yang dilakukan oleh Lili membuat Mario terkejut bukan main, tetapi lelaki itu masih berpikir positif, mungkin saja Lili refleks melepaskan pelukannya karena sebelumnya Mario tidak pernah memeluknya seperti ini.

"Sudah cukup bersandiwara."

"Sandiwara?"

Lili mengangguk, "Aku berpikir semua rindu dan pelukanmu itu terasa palsu." Wanita itu mengalihkan pandangannya yang semulanya menatap lekat mata Mario kini tertuju pada deburan ombak.

"Lili. Apa kamu masih marah dengan diriku? Sudah dua hari kamu menghilang dari hidupku dan sudah dua hari juga aku terus mencari di mana keberadaan dan keadaanmu tanpa lengah."

"Kini aku bahagia karena takdir Tuhan mempertemukan kita kembali tanpa kita sadari."

Mario menangkup wajah Lili dengan kedua telapak tangannya mencoba membuat Lili menatap matanya.

"Jadi, kamu sudah mengeluh, Mas? Untuk mencari diriku yang tanpa kabar dua hari saja dirimu sudah mengeluh, bagaimana jika aku menghilang tanpa kabar selamanya?" Dengan cepat Mario menghentikan ucapan Lili dengan jari telunjuknya yang berada di depan bibir Lili.

"Jangan. Jangan Lili. Jangan pernah mengucapkan sepatah kata pun jika ucapanmu itu berniat untuk memperkeruh suasana hatiku."

Mario mencoba membelai pipi Lili dengan lembut, mencoba menghapus lukanya, mencoba menghilangkan deritanya tetapi wanita itu masih tetap mengabaikan perasaannya.

"Sudah cukup. Aku datang kepadamu dan menetap di kehidupanmu tanpa dirimu inginkan, aku menghancurkan mimpi-mimpimu yang ingin menikah dengan pilihan hatimu. Ibumu berkata bahwa aku datang sebagai malapetaka untuk keluargamu. Kini aku memutuskan untuk pergi, lalu kenapa dirimu mencegahku, Mas?"

"Tidak. Tidak, Lili."

"Sudah cukup semuanya, untuk semua hinaan dan caci maki mu. Aku bukan seperti Amaya yang dengan mudahnya dirayu, tetap bersama dengan orang yang selalu menyakitinya dan mudah diperlakukan seperti boneka. Jika kamu suka maka akan terus bersama dengan dirimu dan jika kamu bosan kamu membuangnya kemudian mencari penggantinya."

Lili berlari menjauhi Mario, wanita itu terus melangkahkan kakinya dengan cepat berharap lelaki itu tidak mengejarnya. Namun, bukan Mario namanya jika mudah menyerah. Lelaki itu terus mengejar Lili hingga wanita itu terpojokkan di ujung gang buntu.

"Kembalilah, Lili. ikutlah bersamaku untuk pulang. Kita akan memulai semuanya dari awal." ujar Mario yang terus mendekat membuat Lili kehilangan cara untuk pergi.

"Tidak. Aku tidak ingin hidup dalam derita."

Mario mengacak rambutnya kasar, matanya memerah sebab ia terus menangis dalam hatinya.

TIRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang