48 Setitik Sesal

1.7K 185 25
                                    

Bismillah,

6 bulan kemudian ...

"Nai, kamu mau ngelamun sampai kapan, sih? Sarapan belum ada, kemejaku juga belum disetrika."

Yoga melipat dua tangannya di depan dada. Menatap tajam pada Naira yang sedang duduk di pinggir ranjang. Perempuan bergaun biru gelap itu sedang asyik dengan ponselnya.

Naira mendongak sedikit dari ponsel. "Sarapan ada roti, tinggal kasi selai beres. Kalo kamu mau sarapan yang lain, beli aja sendiri. Kemeja yang udah disetrika pembantu banyak di lemari," sahut Naira tak peduli.

Mereka sudah menikah tiga bulan yang lalu. Tanpa pesta meriah, hanya akad nikah di masjid dan resepsi sederhana. Ayah Naira tidak mengijinkan ada pesta besar seperti yang diinginkan Yoga. Sepertinya keluarga Naira mulai muak dengan Yoga. Sifat asli lelaki muda itu perlahan mulai terkuak.

Setelah sah menjadi suami istri, Yoga pindah ke rumah Naira. Rumah yang dulu ditempati Naira bersama Alfi. Bayangan tentang pernikahan yang damai dan bahagia ternyata tidak terjadi. Tiga bulan itu dipenuhi konflik kecil yang menumpuk terus.

Benak Yoga mengulang memori ketika Naira masih menjadi istri Alfi. Perempuan itu menatapnya dengan cinta, memberikan banyak perhatian dan selalu nyambung diajak bicara. Tapi sekarang, semua seperti neraka untuk Yoga.

Yoga berjalan mendekati Naira, merampas ponselnya dengan kasar. "Bisa nggak jangan kaya anak kecil?! Kamu itu istri, lakukan tugas kamu sebagai istri!" bentak Yoga.

Naira siap membalas, matanya memelotot marah. Tapi satu tangan Yoga sudah terangkat, siap menampar Naira seperti yang tiga bulan ini sering dilakukannya.

"Jawab lagi aku tampar kamu!"

Mulut perempuan cantik itu langsung mengatup. Matanya bersinar, campuran antara marah dan takut. Kekerasan yang dilakukan Yoga perlahan menggerogoti mentalnya. Apalagi ancaman Yoga tidak main-main. Tidak hanya tamparan, tapi ejekan dan makian sering dilontarkan lelaki itu.

Naira bangkit dari duduknya, merampas ponselnya dengan kasar. Lalu berjalan ke dapur. Suara dentingan kasar cangkir dan sendok terdengar bising. Yoga menghembuskan napas lelah. Rumah tangga yang sedang dibangunnya ini seperti kapal bocor yang dihantam badai besar.

Ada perasaan bersalah yang terselip jauh di dasar hatinya. Teringat pernikahannya yang sepi karena Mamanya dan Amanda menolak untuk datang. Mereka memberi syarat supaya Yoga meminta maaf pada Alfi dan keluarganya. Tapi Yoga terlalu angkuh untuk melakukan itu.

Semua tekanan itu membuatnya kacau. Dengan geram Yoga meraih kunci mobilnya. Tak lama dia melaju meninggalkan rumah yang lebih menyiksa dari neraka itu.

@@@

Naira menghembuskan napas lega mendengar deru mesin mobil Yoga. Dia selalu ketakutan setiap kali Yoga ada di dekatnya. Kemarahan menyesaki dadanya, tapi dia tidak berani melawan. Lelaki yang dulu mencuri hatinya itu, sekarang malah mencuri ketenangan hatinya.

Dengan kaki yang terasa lemas perempuan itu berjalan, membawa cangkir kopi yang tadi diseduhnya untuk Yoga. Tangannya sedikit gemetar ketika mengangkat cangkir dan menyesap cairan hitam itu.

Matanya mulai berkaca-kaca. Entah kenapa dia tiba-tiba teringat ketika dulu masih menjadi istri Alfi. Mantan suaminya itu tidak pernah meninggikan suara walaupun Naira bertingkah menyebalkan. Kesabaran Alfi seakan tidak berbatas.

Ingatannya melayang pada momen ketika Alfi muncul di depan klinik dan mengajaknya menginap di rumah dekat pantai. Bagaimana usaha Alfi untuk berdamai dengannya terpeta jelas di benak Naira. Lelaki itu berkali-kali mendatangi Naira, membujuknya dengan lembut bahkan membawakan kue.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang